Daur Subur #11: Resonansi Tanah, Merajut Asa Budaya Pertanian Solok

Rabu, 02/07/2025 15:23 WIB

 

Solok, sumbarsatu.com--Pertanian bukan sekadar urusan tanam dan panen. Ia adalah napas kehidupan, adab, dan spiritualitas yang menuntun keseharian. Di Minangkabau, bertani mengalir dalam darah gotong royong, menyatu dengan tanah pusaka, dan menjadi kekuatan utuh sebuah komunitas. Ini adalah cara hidup yang merajut erat hubungan manusia dengan bumi. Masyarakatnya berakar kuat pada tanah, mewariskan ilmu, nilai, tradisi, dan praktik bertani dari generasi ke generasi.

Namun, nilai-nilai itu kini terancam. Bayangkan saja, di Solok—kota di Sumatera Barat yang hidup dari pertanian—dalam 14 tahun terakhir, lanskapnya berubah drastis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2010 terdapat 1.258 hektare sawah.

Kini, pada 2024, jumlah itu anjlok menjadi 876 hektare. Ratusan hektare lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi perumahan, toko, kantor, hingga kebun monokultur industri.

Para petani seperti terjebak dalam labirin persoalan di tengah ambisi pembangunan kota. Mereka tercekik oleh bibit dan pupuk kimia, harga pasar yang fluktuatif, bayang-bayang gagal panen, lilitan tengkulak, kemiskinan, hingga ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Tak hanya itu, laju teknologi juga diam-diam mengubah denyut kehidupan warga. Dulu, kerja keras memerlukan bahu-membahu, kini cukup dengan satu sentuhan alat modern. Ruang maya memang memangkas jarak, namun turut meregangkan ikatan sosial di dunia nyata.

Meski demikian, Kota Bareh masih bernapas berkat keberadaan beragam kelompok masyarakat dan etnis di dalamnya—mulai dari petani, peternak, penulis, pelaku UMKM, pegiat wisata, hingga pekerja formal—yang masih terhubung dengan akar budaya pertanian.

Di Solok, terdapat Gubuak Kopi, sebuah komunitas belajar seni dan media yang hadir sejak 2011. Mereka memiliki pendekatan unik: menggunakan seni sebagai metode riset sembari menjembatani seniman, peneliti, penulis, dan warga untuk berkolaborasi membedah persoalan budaya di Solok dan Sumatera Barat.

Gubuak Kopi menjawab tantangan ini melalui Daur Subur—sebuah studi yang memetakan, mengkaji, dan mengarsipkan budaya masyarakat serta keterkaitannya dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik terkini.

"Daur Subur ini, seperti program tahunan kami lainnya, meramu pengetahuan dari peristiwa budaya untuk memahami persoalan masa kini," jelas Albert Rahman Putra, ketua sekaligus pendiri Gubuak Kopi (02/07). "Proses ini terwujud dalam berbagai bentuk: mulai dari lokakarya literasi media, pengelolaan arsip, program residensi seniman, proyek seni, hingga pameran."

Albert menyoroti bahwa ruang percakapan kini semakin sempit. Kesibukan pribadi membuat orang seolah tenggelam dalam dunianya masing-masing, jarang memiliki waktu untuk berjumpa secara bermakna.

Seniman, misalnya, membahas isu sosial hanya di galeri atau studio, sehingga karyanya hanya menjangkau kalangan tertentu. Hal serupa juga dialami oleh petani, guru, penulis, pelaku UMKM, dan pegiat komunitas lainnya.

Karena itu, Daur Subur hadir sebagai ruang temu, di mana setiap orang diajak untuk saling belajar dan mengapresiasi, membuka jalan kolaborasi lintas bidang untuk merespons dinamika kebudayaan.

Kini, jangkauan Daur Subur telah meluas, tak hanya di Solok, tetapi juga Padang Sibusuk (Sijunjung) dan Alai Parak Kopi (Padang). “Biasanya kami mempresentasikan hasil studi Daur Subur kepada warga di lokasi proyek dilakukan,” imbuh Albert.

Program ini telah dipresentasikan dan dipamerkan di berbagai panggung nasional maupun internasional sebagai salah satu model praktik artistik dalam merespons persoalan lokal, antara lain di Palu (Pekan Seni Media, 2018), Parepare (Makassar Biennale 2021), Bengkulu (Festival Komunitas Seni Media), Jakarta (Jakarta International Literary Festival), dan Seoul, Korea Selatan (ARKO Art Center).

Tahun 2025 menandai 11 tahun perjalanan Daur Subur, yang kini menjalin ratusan jejaring di Sumatera Barat, nasional, hingga internasional. Daur Subur #11 kali ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui program Dukungan Institusional untuk Lembaga Kebudayaan.

Gotong Royong ala Gubuak Kopi

Daur Subur #11 mengangkat tajuk “Tidak Kayu, Tangga Dikeping”. Pepatah Minangkabau "Indak Kayu, Janjang Dikapiang" secara harfiah berarti membuat anak tangga dari belahan kayu jika kayu utuh tak tersedia—sebuah metafora tentang berkarya dan memulai dari keterbatasan atau kondisi yang tidak ideal.

"Kami mulai dari merenungkan Solok, dinamika, dan potensinya. Apa yang tersisa? Dan apa yang bisa kita lakukan dengan semua yang ada?" ujar Albert.

Perjalanan Daur Subur kali ini dimulai sejak Februari hingga pertengahan 2025, diawali dengan Forum Grup Diskusi (FGD). Di sana, berbagai pikiran bertemu: dari seniman, pelaku UMKM, petani, peternak, hingga pemangku kebijakan. Mereka saling bertukar pandang, memanen ide tentang imajinasi Solok sebagai pusat kebudayaan pertanian.

Menurut Albert, imajinasi tentang kota itu majemuk layaknya mosaik; warga, komunitas lintas disiplin, dan pemerintah bisa memiliki harapan yang berbeda. Maka, ruang ini menjadi wadah untuk saling mendengar, memahami, dan membentangkan semua persoalan agar dialog dapat tumbuh.

Selama ini, warga Solok telah aktif berkontribusi bagi kota lewat berbagai inisiatif. Sebut saja Mimi, pendiri Batik Tarancak di Solok sejak 2014, yang tak hanya berinovasi dengan pewarna alami dari tanaman pekarangan dan limbah buah, tetapi juga mendaur ulang kertas serta lilin untuk kreasi batik songketnya.

Di sektor pertanian, benih inovasi terus tumbuh. Huma Inovasi merajut pertanian terintegrasi dari hulu ke hilir—mulai dari pakan ternak, pupuk, bibit, pestisida, hingga hasil pertanian sehat bebas kimia—sembari menggandeng petani menuju kemandirian. Senada, Galanggang Raya Farm membangun simpul ekonomi berkeadilan dengan menjual ternak sehat dan berkolaborasi erat bersama petani, memastikan harga yang adil.

Inisiatif juga berkembang di sektor pengolahan pangan, seperti Rendang Hj. Fatimah yang meracik rendang dari daging segar dan bumbu alami, bebas bahan kimia dan pengawet. Sementara itu, Kelompok Badaceh—Kelompok Wanita Tani (KWT) Nangka—menyediakan olahan makanan sehat tanpa pengawet, pewarna, atau pemanis buatan.

Bagi Gubuak Kopi, budaya adalah cerminan keseharian warga. Dari interaksi, pengalaman, dan praktik hidup masyarakatlah terbentuk bahasa, adat istiadat, sistem nilai, kesenian, hingga sistem ekonomi.

Berangkat dari pemahaman ini, Gubuak Kopi mengusung konsep gotong royong dalam community development—sebuah model pembangunan di mana inisiatif warga menjadi akar utamanya.

“Kota tumbuh dari harapan kolektif warga, bukan turun dari langit melalui pendekatan top-down,” tegas Albert. “Inisiatif akar rumput yang telah disemai warga perlu dihimpun pemerintah sebagai fondasi program berkelanjutan. Dengan demikian, pembangunan tidak lagi sekadar proyek sementara yang mudah tergantikan, melainkan kerja berkesinambungan yang melampaui pergantian kepemimpinan.”

Lokakarya dan Residensi: Memperkuat Inisiatif Warga

Setelah FGD, Gubuak Kopi menggelar lokakarya literasi media Daur Subur #11 pada 9–15 Juni 2025. Kegiatan ini mempertemukan 10 individu dari berbagai latar belakang untuk merangkai gagasan dan berbagi pengalaman praktik dalam merespons dinamika kebudayaan pertanian di Solok dan Sumatera Barat.

Mereka adalah Dika Badik (seniman), Sofni (Komunitas Badaceh/Kelompok Wanita Tani), Deni Leo Nardo (guru), Upiak DNR (Pokdarwis Tangaya), Rio Ritu Selah (Huma Inovasi), Elmiko (KBCCN Kabupaten Solok), Hendra Saputra (Galanggang Raya Farm), Mimi (Batik Tarancak), Angelique Maria Cuaca (penulis/Pelita Padang), dan Biki Wabih Amdik (seniman).

Pada sesi awal, peserta mendalami pengarsipan berbasis media. Mereka belajar cara mendokumentasikan keseharian warga—mulai dari tulisan, foto, video, hingga rekaman suara—lalu menyebarkannya melalui media sosial dan platform alternatif.

Selama lokakarya, para peserta menjelajahi berbagai sudut Kota Solok setiap sore, mengabadikan momen, dan menulis narasi dari apa yang mereka saksikan dan rasakan.

Mereka juga berkunjung dan berdiskusi langsung dengan petani dan peternak di Galanggang Raya Farm dan Huma Inovasi, mempelajari sistem pertanian terintegrasi. Kunjungan dilanjutkan ke Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tangaya di Danau Singkarak untuk memahami pengelolaan wisata berbasis masyarakat.

Lokakarya ini semakin kaya dengan kehadiran narasumber tamu: Buya Khairani membentangkan makna mendalam halaman rumah gadang sebagai ruang ketahanan pangan dan pertemuan sosial; Gibran Tragari dari Sendalu Permaculture – Depok memperkenalkan prinsip merawat bumi, manusia, dan keadilan lingkungan.

Penulis Fatris M.F dari Pustaka Steva – Padang membahas jurnalisme warga, disusul diskusi film The Land of the Dragon yang mengkritisi wisata premium dan konservasi komodo yang meminggirkan masyarakat adat Pulau Komodo.

M. Ilham Samudra dari Jatiwangi Art Factory – Jawa Barat berbagi pengalaman memanfaatkan sejarah industri tanah liat melalui proyek Kota Terakota. Avi Chadijah dari Memo Dapur – Makassar menekankan pentingnya dokumentasi pangan lokal, termasuk sejarah dan cara pengolahannya.

Lokakarya ini ibarat benih gagasan yang disemai, memberikan gambaran tentang "peta kerja bersama" untuk menumbuhkan kolaborasi antarkomunitas.

“Selama ini kita merasa berjalan sendiri di padang luas. Ternyata, kita hanya perlu saling menyapa dan berbagi secangkir kopi agar percakapan mengalir, lalu ide-ide bermunculan,” ujar Elmiko dari KBCCN. Diah dari Pokdarwis Tangaya menambahkan, lokakarya ini mempertemukan kita dalam ruang aman untuk bercerita, belajar, dan saling menopang.

Selain lokakarya, juga dilaksanakan residensi seni sebagai laboratorium kreatif. M. Ilham Samudra (Jatiwangi Art Factory – Majalengka), Angelique Maria Cuaca (Pelita Padang), Avi Chadijah (Memo Dapur – Makassar), Rizziq Ramadhan dan M. Reyhan Fauzi (Makmur Djaja – Jakarta) berkarya bersama warga dan tetangga Gubuak Kopi selama sebulan penuh.

Semua ini merupakan bagian dari Daur Subur #11, pemantik menuju Festival Tenggara yang akan digelar pada 1–10 Agustus 2025.

Festival Tenggara adalah panggung warga Solok: tempat pengetahuan lokal dirayakan, imajinasi tentang kota berdialog, inisiatif tumbuh, dan masa depan dirajut dari niat baik. Akan ada pesta ide dan karya: pameran seniman dan warga, lokakarya seni yang membuka mata, pertunjukan jalanan yang menghidupkan sudut kota, hingga simposium yang meramu wacana tentang budaya pertanian dan seni kontemporer di Kota Solok. ssc/like



BACA JUGA