
Pulau Siberut, sumbarsatu.com —Hari ini, Senin 30 Juni 2025, buku fotografi dan film dokumenter Sikerei: Sang Penjaga Tarian Turuk Laggai diluncurkan di Rumah Budaya Fadli Zon, Aie Angek, Koto Baru, Tanah Datar.
Peluncuran ini akan dihadiri Bupati Kepulauan Mentawai bersama dengan jajarannya, tokoh adat sikerei, pemuka masyarakat, budayawan, seniman, dan akademisi.
Buku fotografi dan film yang berjudul sama ini merupakan hasil riset yang dilakukan Sanggar Seni Sikambang Manih yang dipimpin Susas Rita Loravianti di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai atas bantuan program dana hibah Indonesiana-LPDP Kementerian Kebudayaan.
Selain peluncuran buku foto dan film dokumenter, juga dipentaskan koreografi yang berangkat dan terinspirasi dari ritual upacara adat E’eruk Pulaggajat di Kepulauan Mentawai dengan judul Bujai Le' Kai (Mohon Perlindungan) yang diciptakan Susas Rita Loravianti lewat riset mendalam pada tahun 2024.
Narasi kedua dokumen peristiwa budaya ini disusun dan ditulis Dede Pramayoza, peneliti dan dosen ISI Padang Panjang. Berikut ini narasi kedua karya budaya itu.
Tetew Lala dan Warisan Terakhir: Turuk Laggai di Ujung Zaman
Sebuah upacara adat penuh makna kembali digelar di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Di usia senjanya yang ke-78 tahun, Tetew Lala—seorang Sikerei terkemuka dari kampungnya—memimpin langsung Turuk Laggai, ritus sakral Orang Mentawai sebagai bentuk penyucian kampung, ungkapan syukur atas berkah kehidupan, sekaligus perayaan atas renovasi uma (rumah adat) dan kelahiran cucunya.
Dari balik pepohonan raksasa yang membingkai tanah Mentawai, Tetew Lala berdiri di beranda uma-nya, membuka kembali “arsip tubuh” berupa titti—tato sakral yang mencatat perjalanan hidup seorang Sikerei. Di hadapan keluarga besar dan para tetamu, ia menghidupkan kembali tarian dan mantra yang diwariskan turun-temurun. Ia sadar, barangkali inilah Turuk Laggai terakhir yang bisa ia pimpin.
Tiga Sikerei, Satu Ikrar
Di pagi pertama, kesibukan membuncah di Uma Tetew Lala. Keluarga besar telah berkumpul. Tiga Sikerei, termasuk Tetew Lala, menggelar paruak—musyawarah suci para tabib dan penjaga adat. Gong kateuba dipukul, mantra-mantra dirapal, dan daun-daun sakral diberi berkat. Ini adalah prosesi lia, awal dari seluruh upacara punen yang akan dilangsungkan.
Perjalanan ke Hutan: Mencari Daun, Membaca Alam
Sebuah perjalanan sunyi dimulai. Tiga Sikerei menembus hutan Mentawai, bukan untuk berburu, tapi mencari dedaunan suci sebagai syarat ritual. Mereka tak sekadar memetik daun; mereka membaca isyarat alam: kilau cahaya pada permukaan daun, arah angin, hingga getar di ujung ranting. Segalanya harus tepat, karena hutan adalah kitab terbuka bagi mereka yang tahu cara membacanya.
Eeruk Uma: Rumah Disucikan, Babi Didapatkan
Sore hari, dua anggota keluarga memanjat atap uma, mengganti daun-daun lama dengan yang baru. Ini bukan perbaikan biasa—melainkan awal syukur kepada leluhur. Tiba-tiba, seekor babi hutan dipanggul pulang: tanda alam memberi restu. Tetew Lala menabuh tuddukat, genderang gembira dari kolong rumah yang menyampaikan kabar bahagia.
Pasibitbit dan Pasingingini: Mengusir dan Mengundang Roh
Malam merambat masuk. Asap dapur mengantar para Sikerei dalam prosesi pasibitbit, mengusir roh jahat dari sekitar rumah. Kadang mereka jatuh karena roh menolak pergi, tapi satu sama lain saling bantu berdiri. Setelahnya, giliran roh-roh baik diundang lewat Lajo Simagre. Upacara Pasingingini pun berlangsung: doa, genta, dan duduk segitiga membuka gerbang komunikasi dengan dunia leluhur.
Genta, Daun, dan Tubuh yang Menari
Diiringi bunyi gajeuma, tiga Sikerei berdansa dalam lingkaran sakral. Tarian mereka adalah Iba Simagre, persembahan kepada arwah leluhur. Tubuh mereka melayang, mengikuti bunga dan daun di tangan. Lalu datang Turuk Bilou, Turuk Manyang, dan Turugogow—gerakan meniru hewan, dari monyet, burung, hingga ulat. Hingga larut malam, tubuh menari, mantra mengalun, dan roh-roh melintas. Di akhir, mereka makan bersama (ucaai), sebagai penutup sakral malam panjang itu.
Uajab: Memburu dalam Hening
Hari keenam, tiga Sikerei berangkat berburu. Mereka puasa, tak bicara, dengan senjata telah diolesi racun. Tengkorak-tengkorak binatang di atas pintu rumah seolah menyaksikan kepergian mereka. Mereka percaya: Turuk Laggai telah digelar, leluhur pasti merestui. Kini giliran alam membalas.
Tuddukat Berdentang, Daging Dibagi
Buruan telah kembali. Tuddukat kembali bersuara. Bukan sembarang suara, tapi sandi untuk menyampaikan jenis, jumlah, bahkan keberuntungan perburuan. Dalam ritual Pasingingini, hewan dibersihkan secara spiritual. Daging lalu dibagikan kepada anak cucu, agar berkah menyebar merata. Tak lupa, mereka berjalan di bawah hewan sembelihan—sebuah harapan agar generasi baru ikut dilindungi.
Di Ambang Senja, Mata Tetew Lala Menatap Laut
Upacara berakhir. Tetew Lala terlihat lega. Ia menyanyi, lalu menangis, saat harus melepaskan roh mendiang istrinya kembali ke alam. Ia berdiri di beranda, matanya menatap ke laut—ke arah datangnya perubahan.
Kini, hutan makin jarang, babi makin sulit, dan Uma makin dikepung bangunan tembok. Tetew Lala tahu, Turuk Laggai suatu hari bisa saja berhenti. Tapi hari itu, ia telah melaksanakan tugasnya: menjaga warisan, menjalankannya dengan utuh, dan menyampaikannya kepada dunia.
“Titti di tubuh saya akan ikut dikubur bersama saya,” katanya pelan, “tapi semoga ingatan tentang Turuk Laggai tidak ikut terkubur,” bisik Tetew Lala lambat tapi tegas dan sarat makna. ssc/mn