Siswa dan Kepekaan Sosial

SEBUAH CATATAN

Kamis, 04/08/2016 16:47 WIB
-

-

OLEH Rizki Ikhwan, S.Hum (Koordinator Program School of Master Teacher, Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa)

Dalam sebuah ungkapan bijak yang dikutip dari tulisan Baskoro Poedjinoegroho yang mengatakan “non scholae sed vitae discimus”, yang artinya kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan.

Dari ungkapan tersebut, bisa kita tarik sebuah uraian bahwa seharusnya pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menghadapi dan memecahkan problema kehidupan, bukan sekedar untuk menguasai isi mata pelajaran yang pada umumnya merupakan kajian keilmuan.

Berbagai macam mata pelajaran yang diberikan di sekolah, sedapat mungkin mengarahkan siswa dalam mengembangkan potensinya untuk menghadapi berbagai problema, baik itu bagi dirinya pribadi, di lingkungan keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Sehingga nantinya siswa dengan bekal pendidikan yang mereka terima di sekolah mampu mengantarkan mereka menjawab tantangan dimasa depan.

Untuk mampu menjawab segala tantangan yang ada pada masa sekarang, siswa tentunya tidak hanya bisa bermodalkan keilmuan yang mereka dapatkan di sekolah saja, tetapi juga harus mampu membaca kondisi sosial yang ada di masyarakat.

Kondisi sosial yang dimaksud adalah segala problema sosial yang ada dimasyarakat yang berada di luar lingkungan sekolah, apakah itu berupa kebiasaan, perilaku, atau segala kejadian yang terjadi di masyarakat yang tentunya sedikit banyak memiliki hubungan dengan kehidupan siswa tersebut.

Dalam memahami kondisi sosial tersebut tentunya dibutuhkan yang namanya kepekaan sosial. Melatih kepekaan sosial ini memang harus mendapatkan porsi khusus di lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga siswa itu sendiri, yang kita kenal dengan istilah “social learning”.

Pendidikan sosial yang dimaksud, bukan sekedar menekankan materi ilmu sosial yang ada dikebanyakan buku-buku yang ada di sekolah, tetapi porsi materi lebih diberikan pada metode aplikatif dalam penerapan interaksi sosial di masyarakat.

Kepekaan sosial yang dimaksud bisa dicontohkan dalam beberapa hal di lingkungan masyarakat, misalnya: siswa sedari dini dikenalkan dengan kegiatan gotong royong, pergi menjenguk warga yang sakit, membantu warga masyarakat yang kena musibah, dan berbagai bentuk aksi kepedulian yang lainnya.

Di dalam rumah tangga bisa dicontohkan seperti membantu saudara yang lain ketika kesulitan dalam memahami pelajaran, membantu orang tua ketika hendak menghidangkan makanan dan berbagai hal lainnya.

Munculnya gagasan kepedulian dan kepekaan yang tertuang dalam tindakan ini tentunya tidak muncul begitu saja, mesti ada tauladan serta bimbingan yang dimunculkan, baik itu dilingkungan keluarga siswa maupun tindakan nyata yang didapatkan dari bimbingan guru di sekolah.

Ketika pembiasaan sedari dini telah diberikan kepada siswa, maka tentunya nanti secara tidak langsung, siswa mampu beradaptasi lebih banyak lagi dan lebih peduli terhadap segala bentuk problema sosial yang ada di masyarakat.

Tidak jarang hari ini kita melihat diberbagai sekolah, apakah itu sekolah dasar, sekolah lanjutan, maupun sekolah menengah, siswa telah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai bentuk kepedulian, keprihatinan, dan juga bentuk sikap kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada.

Misalnya, aksi kepedulian bagi korban gunung meletus, korban banjir, dan berbagai bencana alam yang melanda Indonesia. Bentuk kegiatan pun beragam, mulai dari kegiatan doa bersama bagi korban dan kelurga yang ditinggal, pengumpulan dana, dan berbagai kegiatan lainnya. Bahkan tidak jarang juga banyak kita lihat hari ini siswa juga ikut andil dalam kepedulian terhadap permasalahan luar negeri, seperti konflik perang yang terjadi di Gaza Palestina, bencana kelaparan di Somalia, dan negara-negara lainnya.

Kepekaan sosial ini tentunya diawal mesti diarahkan dan dicontohkan oleh para guru dan orang tua siswa, sebagai bentuk stimulus bagi peran aktif siswa itu sendiri.

Pada prinsipnya, pendidikan juga memberikan keteladan dalam penyampaian gagasan atau materi kepada anak didik. Namun yang jelas, lingkungan keluarga tetap menjadi tempat awal proses terjadinya pendidikan, maka dalam hal ini peran orang tua dalam keluarga tidak boleh diabaikan.

Sikap hidup dan social skill yang diuraikan di atas seharusnya menjadi budaya dalam keluarga, sehingga setahap demi setahap akan mewarnai sikap hidup dan kecakapan sosial anak.

Pada akhirnya sikap positif yang tumbuh mampu ditularkan di sekolah dan bisa diaplikasikan dalam lingkungan masyarakat. Maka dari sinilah nantinya siswa diharapkan mampu berinteraksi dan menjawab segala tantangan yang ada dimasyarakat.

Kecakapan sosial ini tidak harus menunggu sampai menempuh jenjang perguruan tinggi atau ketika seseorang sudah lulus kuliah dan siap terjun kemasyarakat, tetapi harus ditanamkan sedari dini. Agar tujuan pendidikan yang diberikan terhadap anak itu benar-benar tercapai.

Karena sejatinya pendidikan bukan hanya untuk mengejar kemampuan keilmuan semata tetapi juga mengharapkan tercapainya kemampuan atau kecakapan sosial (social skill). (*)



BACA JUGA