Menuju Reformasi Kelembagaan di Sumbar: Dari Negara Lunak ke Tata Kelola yang Tangguh

Kamis, 03/04/2025 16:02 WIB

OLEH Syafruddin Karimi (Departemen Ekonomi Universitas Andalas)

SUMATERA BARAT menyimpan potensi besar dalam membangun tata kelola pemerintahan yang lebih efektif dan berdaya saing. Namun, potensi itu tidak akan berarti jika kelembagaan di daerah ini terus terjebak dalam ciri khas dari apa yang oleh ekonom Gunnar Myrdal disebut sebagai soft state atau “negara lunak”.

Konsep ini sangat relevan dalam menjelaskan berbagai persoalan kelembagaan di Sumbar yang hingga hari ini masih diwarnai rendahnya disiplin sosial, lemahnya penegakan aturan, dan ketiadaan akuntabilitas kolektif.

Tulisan Alfitri (2025) dengan cermat menyoroti berbagai gejala “negara lunak” yang masih mengakar kuat di Sumatera Barat, dari persoalan kecil seperti sampah yang berserakan setelah salat Idul Fitri hingga kemacetan lalu lintas akibat budaya melanggar aturan yang dibiarkan tanpa sanksi tegas.

Gejala ini tidak boleh dianggap remeh. Kegagalan dalam menegakkan norma dan aturan secara konsisten telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas kelembagaan pemerintah.

Ini menunjukkan bahwa Sumbar membutuhkan perubahan paradigma dalam pembangunan kelembagaan — bukan sekadar reformasi administratif, tetapi perubahan budaya politik dan birokrasi yang mendasar. Paradigma kepemimpinan dan kelembagaan kita perlu bergeser dari yang bersifat permisif dan simbolik menuju yang partisipatif, akuntabel, dan berorientasi pada hasil nyata.

Tulisan Alfitri juga memperkuat tesis Myrdal bahwa meningkatnya tingkat pendidikan belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kedisiplinan sosial.

Dengan kata lain, kelembagaan yang sehat tidak akan lahir dari struktur formal semata, tetapi harus didukung oleh budaya kepemimpinan yang kuat, kejelasan otoritas, serta keteladanan dari pemegang kekuasaan. Maka dari itu, reformasi kelembagaan di Sumatera Barat tidak cukup hanya dengan menyusun dokumen RPJMD atau menciptakan perda-perda baru. Reformasi kelembagaan harus menyentuh akar persoalan: perilaku, kebiasaan, dan komitmen terhadap penegakan aturan.

Disiplin sosial yang rendah, sebagaimana terlihat dalam contoh perilaku warga saat Lebaran atau saat lalu lintas padat, mencerminkan bahwa masyarakat masih belum menjadikan aturan sebagai bagian dari kesadaran kolektif.

Negara lunak, menurut Myrdal, bukan hanya disebabkan oleh rakyat yang abai, tetapi juga oleh pemerintah yang gagal menegakkan aturan secara adil dan konsisten. Maka, kegagalan ini bukan hanya soal rakyat yang tidak patuh, tetapi juga tentang lembaga pemerintahan yang tidak tegas, tidak transparan, dan tidak akuntabel.

Momentum pelantikan kepemimpinan baru di Sumatera Barat seharusnya menjadi titik tolak perubahan ini. Pemerintah provinsi perlu menyusun agenda reformasi kelembagaan yang lebih berani dan progresif. Agenda ini mencakup:

  1. Penguatan sistem pengawasan internal dalam birokrasi daerah untuk memastikan bahwa aturan tidak hanya tertulis tetapi dijalankan secara konsisten.
  2. Transparansi dan keterbukaan data publik yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
  3. Kepemimpinan keteladanan, di mana pejabat publik tidak hanya membuat kebijakan tetapi menunjukkan perilaku disiplin dan bertanggung jawab dalam keseharian mereka.
  4. Pendidikan karakter berbasis nilai sosial dan budaya lokal, agar proses pembentukan warga negara yang taat aturan dimulai sejak dini.

Agar Sumbar keluar dari perangkap “negara lunak,” kepemimpinan daerah harus menjadikan disiplin sosial sebagai agenda politik. Masyarakat tidak cukup hanya disosialisasikan tentang kebijakan; mereka perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan tersebut. Partisipasi yang sesungguhnya hanya bisa tumbuh dalam sistem kelembagaan yang membuka ruang dialog, menjamin keterlibatan rakyat, dan melindungi hak-hak warga.

Penegakan aturan bukanlah sikap represif, tetapi bentuk pelayanan publik yang mendidik dan membentuk peradaban. Jika Sumbar ingin tumbuh menjadi provinsi yang kuat, maka modal sosial seperti disiplin, tanggung jawab, dan partisipasi aktif masyarakat harus diperkuat dengan lembaga pemerintahan yang mampu dan tegas. Hanya dengan itu, kita bisa keluar dari jebakan soft state dan masuk ke era baru tata kelola pemerintahan yang tangguh dan berintegritas. *

Referensi:

Alfitri. (2025). Negara Lunak. Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas.

Myrdal, G. (1972). Asian Drama: An Inquiry Into the Poverty of Nations. New York: Pantheon.



BACA JUGA