
Sumber: Gerakan Indonesia Baru
OLEH Made Supriatma (Visiting Research Fellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura)
Rejim Pemerintahan Prabowo-Gibran secara ugal-ugalan memaksakan kehendak untuk merevisi UU TNI. Kita semua tahu, UU yang dibahas secara diam-diam, seperti melakukan pencurian, dan tidak mendengar suara publik ini lolos dan disahkan di DPR.
Partai-partai seakan lumpuh menghadapi kehendak Prabowo-Gibran dan militer. Para mantan aktivis kiri, yang dulu sangat anti-militer, namun kemudian dengan senang hati bersepatu lars ketika retret di Magelang juga membisu dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Salah seorang dari mereka berkotbah kepada saya, "Dunia sudah lain, Bro! Prabowo ini hendak mewujudkan pemerintahan sosialis di Indonesia." Kalau tidak karena sopan santun, mau saya mencret di depannya.
Rejim Prabowo mungkin terlihat percaya diri. Mereka pikir bahwa protes kecil di Jakarta bisa dengan mudah digilas. Pada hari pengesahan UU ini, tentara mengelilingi gedung DPR. Mereka menjadi back up polisi.
Para politisi ini mereka tidak terlalu bodoh juga. Pengesahan UU TNI dilakukan pagi hari. Mereka tahu, para aktivis dan pendemo ini adalah kaum susah bangun pagi. UU sah. Para aktivis baru datang jam 1 siang.
Namun, demo tetaplah demo. Ia pindah mendekati istana dan konfrontasi dengan aparat keamanan berlangsung hingga malam.
Setelah itu sunyi. Saya bisa bayangkan si Don, yang mengamankan UU di DPR bisa menepuk dada sambil bilang, "Lu mau apa? UU-nya sudah lolos."
Tidak ada protes selama beberapa hari. Kelihatannya orang sudah melupakan UU TNI. Di kalangan aktivis-aktivis sepuh saya dengar keluhan, "Kita sudah kalah." Mereka rata-rata pengidap encok dengan gula dan tekanan darah yang tinggi.
Namun rupanya, ada sesuatu yang sedang menggeliat. Orang-orang cemas dengan kembalinya militerisme, yang sekarang memang sudah ada dimana-mana. Militer ada di pertanian. Ada di sektor kehutanan. Ada di tambang-tambang. Mereka membentuk satgas-satgas. Di daerah-daerah penghasil sawit, tentara merampas kebun-kebun yang dianggap merambah wilayah hutan.
Mereka bekerjasama dengan kementerian-kementerian. Di Jawa Barat, nota kesepahaman (MOU) dan TNI-AD sduah diteken dan prajurit-prajurit dikerahkan untuk memberesi banyak urusan. Mulai dari penyelenggaraan jalan, jembatan dan irigasi hingga ke pencegahan kejahatan lingkungan.
Banyak hal-hal yang dulunya dikejakan oleh rakyat lewat proyek padat karya -- yang biasanya diberikan saat ekonomi sulit supaya rakyat dapat upah untuk bisa makan -- sekarang dikerjakan oleh militer. Apakah serdadu ini bekerja tanpa beaya? Ya jelas nggaklah. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran gubernur Jawa Barat yang sering macak di media sosial ini -- karna sepertinya pekerjaannya adalah pembuat konten -- saat menandatangani nota kesepahaman ini.
Balik ke demo. Masa tenang ini, yang dalam teori gerakan sosial disebut sebagai 'lul period' ini rupanya dimanfaatkan untuk konsolidasi. Konsol-konsol terjadi dimana-mana. Bahkan hingga ke kota-kota kecil.
Itulah yang membuat semuanya menjadi menarik. Resistensi terhadap UU TNI justru lahir di kota-kota kecil dimana sebelumnya gerakan sosialnya hampir tak terdengar. Kota-kota seperti Kuningan, Cirebon, Sukabumi, Lumajang, Jember, dan lain sebagainya itu bergerak semua.
Juga kota-kota menengah model Malang yang protes sampai malam dan hampir membakar gedung DPRD. Gedung itu, pada 2018, pernah membuat sejarah kare 41 dari 45 anggota DPRD-nya ditangkap KPK karena urusan korupsi.
Di Kuningan lebih unik lagi, Pemimpin aksi berhasil memaksa polisi untuk duduk -- sama seperti para demonstran duduk. Dan mereka benar-benar militan di tengah terik matahari bulan puasa ini.
Tentu banyak korban. Polisi melakukan tindakan represif yang brutal. Perintah dari atas jelas: sikat mereka. Ironisnya, polisi harus mempertahankan undang-udang yang mempreteli kewenangan mereka. Seperti pemberantasan narkotika, misalnya. Bahkan ada kabar TNI sudah mempersiapkan Satgas anti-narkotika.
Saya tidak tahu apakah resistensi ini akan menjadi gerakan yang besar untuk menolak UU TNI --- dan juga keluhan-keluhan lain dalam masyarakat. Namun melihat kenyataan bahwa ia tumbuh secara organik, rasanya sulit untuk membentung gerakan ini tidak masuk ke kota-kota besar.
Belajar dari pengalaman, gerakan semacam ini akan sulit diberangus. Karena ia adalah perlawanan dari bawah. Ia tidak memiliki pemimpin yang bisa diajak berunding dan kemudian dikooptasi. Ia tidak didominasi oleh mahasiswa namun oleh banyak kalangan yang terlempar dari dunia ekonomi dan politik. Tidak sedikit kita melihat jaket hijau ojol muncul didalam aksi.
Apakah rejim Prabowo-Gibran mampu menahan gerakan ini kalau ia membesar? Apakah ia punya infrastruktur represi yang cukup kuat untuk memberangus protes-protes ini?
Sejauh ini, para elit dan pemerintahan Prabowo-Gibran sendiri tampaknya memandang remeh gerakan sosial ini. Mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang serius. Kalau pun menanggapinya, mereka menanggapi secara sinis dengan melontarkan cemooh. Seperti ketika menanggapi pengiriman kepala babi dan tkus tanpa kepala ke Tempo.
Kita belum tahu apakah polisi mau dengan sepenuh hati bertindak brutal terhadap saudara sebangsa. Dan juga apakah tentara sampai hati menembak para demonstran yang tidak bersenjata ini. Kalau ingat sedikit sejarah, begitu brutalitas dan kekejaman terjadi, pemerintahlah yang justru terjungkal.
Sumber: https://www.facebook.com/m.supriatma