
Ilustrasi
Bukik Batabuah, sumbarsatu.com—Ada ungkapan yang menyebutkan, “sakanya di Bukik Batabuah, manisnya di Koto Baru.”
Ungkapan itu sempat populer di kalangan petani tebu Bukik Batabuah, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam.
Ungkapan itu ada benarnya. Yang bersusah-payah bekerja di kebun tebu, sampai tebu diolah menjadi saka adalah petani tebu Bukik Batabuah. Tetapi setelah menjadi saka, yang paling menikmati keuntungannya (manisnya) adalah pedagang di Pasar Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar.
“Kami kini serba susah. Tidak dijual dengan harga yang ditetapkan pedagang, kami butuh biaya rumah tangga. Mau dijual, harganya terlalu menekan,” ujar salah seorang petani tebu, yang mengaku bernama Manggung, Selasa (13/19/2015).
Harga yang dipatok pedagang di Bukik Batabuah saat ini hanya sekitar Rp8.500/kg-Rp9.000/kg. sementara harga di tingkat pengecer mencapai Rp17.000/kg. Anehnya, bila petani tidak mau menjual dengan harga yang dipatok pedagang dimaksud, di Pasar Koto Baru akan ditawar lebih murah lagi. Itulah permainan pedagang pengumpul dengan toke di Pasar Koto Baru.
Celakanya, petani tebu mengaku tidak memiliki tempat untuk berlindung. Karena mereka tidak memiliki kelompok,sebagai kekuatan untuk melindungi diri dari cengkeraman permainan pedagang.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Agam, Ir. Yulnasri,MM, meminta petani tebu bersatu dalam kelompok. Dengan berkelompok, mereka akan gampang mendapat pembinaan dan bantuan yang dibutuhkan dari pemerintah. Kelompok dianjurkan membentuk koperasi. Bila sudah memiliki koperasi, yang berbadan hukum, banyak kemudahan yang akan diperoleh petani tebu. Misalnya bantuan modal usaha, pembinaan, dan sejenisnya.
“Kalau masih tercerai-berai, gampang pihak lain menekan petani tebu, termasuk dalam masalah pemasaran,” ujarnya. (MSM)