“Amanah Kami Tunaikan”

MENYIKAPI ISLAM NUSANTARA

Kamis, 26/07/2018 06:48 WIB
-

-

OLEH Buya Gusrizal Gazahar (Ketua Umum MUI Sumbar)

Membiarkan umat bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” sesuai seleranya seperti menuding Islam Arab sebagai Islam Radikal, Islam Penjajah dan lainnya, berarti mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.

Suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai mengarahkan berbagai institusi, itu jauh sekali dari taswiyyatul manhaj bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tersebut.

BACA: MUI se-Sumbar Nyatakan Tak Butuh Islam Nusantara

Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.

Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep sehingga dengan enteng dikatakan “salah persepsi”.

Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng, maka kami memadukan antara pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itulah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri.

Rapat koordinasi para ulama se-Sumatera Barat di Hotel Sofyan Rangkayo Basa Syari’ah Padang, Sabtu (21/7/2018) yang melahirkan penolakan terhadap konsep Islam Nusantara. (Foto MUI Sumbar)

Sikap sudah kami lahirkan. Kami mengajak semua kembali kepada nama agama yang diberikan oleh Zat Yang Maha Menurunkan Syari’at Agama ini yaitu “Islam” (QS. Ali ‘Imran 19, 85, al-Maidah 3 dan al-Shaff 7) tanpa ada embel-embel apapun.

Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah dua kali saya juga mengkritik istilah “Islam Wasathiy” di hadapan pengurus lembagai keulamaan ini yaitu di Lombok dan di Bogor”.

Satu mumayyizat (keistimewaan) tidak bisa dilabelkan kepada Islam karena akan memunculkan pemahaman yang rancu di tengah umat. Seluruh mumayyizaat harus difahami secara utuh dan tidak bisa berdiri sendiri.

Kalau hanya kekhususan budaya dan tradisi yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, bagi kami itu bukanlah dalil karena semua tradisi dan budaya, tetap kita saring dengan konsep ‘uruf dalam dalil hukum.

Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya. 

Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah “Islam Nusantara” itu dan juga tambahan apapun di belakang nama “Islam” karena kata itu sangat sempurna dalam pandangan kami.

Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dakwah dan mengamalkan tradisi kami. Kami sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang selama ini, yaitu: “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai”

Kami tempatkan falsafah kehidupan itu dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah “Islam” tanpa ada tambahan apapun karena kami tidak mampu menggandengkan apapun dengan nama yang sempurna itu.

“Sekali kata dikatakan, seribu Pikiran menjadi timbangan, pantang bertarik surut ke belakang, kecuali Alquran dan Sunnah yang menentang”

Ingatlah:“Penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungya”.***



BACA JUGA