Kuala Lumpur, sumbarsatu.com— Bisnis di Malaysia bergerak cepat mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) dan analitik data. Namun, lemahnya strategi keamanan siber membuat banyak perusahaan berada dalam posisi rentan terhadap ancaman digital yang kian meningkat.
Hal tersebut terungkap dalam Survei Teknologi Bisnis terbaru oleh CPA Australia. Survei mencatat, 87 persen bisnis di Malaysia telah menggunakan alat analitik dan visualisasi data, sementara 85 persen mengadopsi AI. Sebaliknya, hanya 18 persen yang benar-benar mengintegrasikan keamanan siber ke dalam strategi operasional perusahaan — jauh di bawah rata-rata survei global sebesar 28 persen.
Yang lebih mengkhawatirkan, sebanyak 17 persen bisnis mengaku baru merespons ancaman siber setelah insiden terjadi. Sementara itu, 19 persen lainnya bahkan tidak mengetahui bagaimana sistem keamanan siber dikelola di perusahaan mereka.
Kepala Regional CPA Australia untuk Asia Tenggara, Priya Terumalay, menegaskan bahwa pengamanan digital tidak bisa berjalan terpisah dari strategi bisnis.
“Dengan AI yang mengubah lanskap bisnis, perusahaan harus memasukkan perlindungan aset digital sebagai bagian inti dari strategi mereka,” ujarnya.
Ia mengingatkan meningkatnya risiko penipuan berbasis AI, pemalsuan identitas melalui teknologi deepfake, serta serangan phishing yang semakin canggih dan tertarget.
Meskipun tingkat penggunaan AI tergolong tinggi, pemanfaatannya secara mendalam di dalam operasional bisnis masih rendah. Survei mencatat hanya 11 persen perusahaan yang mengintegrasikan AI secara serius ke dalam sistem kerja, di bawah rata-rata survei sebesar 16 persen. Sebagian besar perusahaan masih mengandalkan alat AI publik seperti ChatGPT, Microsoft Copilot, atau asisten AI bawaan perangkat lunak.
Penggunaan AI sejauh ini dirasakan memberi dampak positif, antara lain peningkatan produktivitas, peningkatan pengalaman karyawan, serta efisiensi dalam mengerjakan tugas-tugas rutin. Namun, adopsi teknologi sering kali terhambat oleh tingginya biaya implementasi, rendahnya literasi teknologi di kalangan direksi dan manajemen senior, serta kelangkaan talenta digital.
Priya menegaskan, tanpa kepemimpinan yang kuat di bidang teknologi, Malaysia berisiko tertinggal dalam persaingan global.
“Malaysia tidak jauh tertinggal dalam adopsi digital, tetapi tanpa arahan strategis dari pimpinan puncak, kematangan teknologi akan berjalan lambat dibandingkan pesaing regional,” katanya.
Pemerintah Malaysia sendiri telah menyatakan komitmennya untuk menjadikan negara itu sebagai ekonomi berbasis AI, dengan menyiapkan Rencana Aksi Teknologi AI 2026–2030 yang akan diajukan ke parlemen pada Desember mendatang.
Meski demikian, Priya mengingatkan bahwa AI bukanlah pengganti kecerdasan manusia sepenuhnya.
“AI harus digunakan untuk memperkuat kapasitas manusia, bukan menggantikannya. Tantangan utama ke depan adalah menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan keahlian manusia,” ujarnya.
Survei Teknologi Bisnis tahunan ke-5 oleh CPA Australia dilakukan pada Juli–September 2025 dan melibatkan 1.117 profesional akuntansi dan keuangan di Australia, China Daratan, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura. Sebanyak 44 persen responden berasal dari perusahaan dengan lebih dari 500 karyawan, 29 persen dari perusahaan menengah, dan 28 persen dari usaha kecil.ssc/rel