
Tari "Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu" karya Siska Aprisia yang dipentaskan dalam Pekan Nan Tumpah. Minggu, 24 September 2025 di Fabriek Padang
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)
SAYA menikmati koreografi Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu karya Siska Aprisia pada Minggu, 24 Agustus 2025 malam sebagai salah satu karya pembuka Pekan Nan Tumpah 2025 di Fabriek Padang dengan saksama. Koreografi ini merupakan garapan terbarunya.
Jarak saya menonton dengan garis pentas sekira 2 meter. Saya duduk bersila menyaksikannya. Dekat, memang, dengan penarinya, berupaya khusuk menikmati namun distorsi suara-suara penonton yang berlapis membuyarkan.
Pertunjukan tari berdurasi 40 menitan memanfaatkan sudut di bagian tengah kawasan bangunan Fabriek Padang yang dulunya pabrik seng legendaris di Sumatra Barat bernama Polyguna Nusantara yang beroperasi sejak sejak 1971 dan berhenti produksi pada 2016. Luas kawasan itu lebih dari 1,1 hektare kini jadi ruang-ruang usaha dan aktivitas seni di Kota Padang. Tata letak panggung yang menghilangkan “garis keras” antara penonton dan pertunjukan, memberikan lapisan praktik kepenontonan saya seperti menyaksikan pertunjukan di sebuahy pasar rakyat. Berlalu-lalang, dan pengunjung dipersilakan mengambil posisi yang ternyaman bagi dirinya.
Di tengah suasana demikian, Siska Aprisia keluar dari pintu pondok—saya mengesankan sebuah pondok yang baru selesai dibangun di persawahan kampung—dengan langkah tertatih. Tidak tegap. Ia berjalan lambat menyisir tepi sudut lantai yang tak rata yang terbuat dari papan sirih—dengan langkah “baagak-agak” tapi penuh simbolistis-semiotis. Fenomena panggung dengan tata artistik (Yusuf Fadly Aser), penata musik (Jumadil Firdaus), dan dramaturgi (Mahatma Muhammad), komposisi koreografis merepresentasikan tanda simbolik yang harus ditafsirkan secara semiotik setiap mata yang menatap tari itu. Pondok dengan satu jendela dan pintu, bentangan kanvas tergantung, bantal fungsional, dengan distorsi pencahayaan yang bocor, Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu sedang mengisahkan dirinya lawat tubuh penari. Di luar “wilayah” pondok—yang disebut Afrizal Malna, seperti pondok-pondok untuk kebutuhan pariwisata—pemusik berdiri mengoyak dawai gitarnya dengan suara lengking menusuk setiap gerak ulu ambek yang dihadirkan koreografer Siska Aprisia dalam bahasa kontemporer.
Koreografi Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu berangkat dari tradisi ulu ambek—sebuah kesenian tradisi yang berada dalam rumpun silek (silat) dan masih berkembang di Piaman, Sumatera Barat. Ulu ambek sendiri dikenal bukan sekadar pertunjukan tradisi silek, melainkan juga sebuah ekspresi tubuh laki-laki yang sarat dengan nilai spiritual, simbolik, dan sosial. Dalam ulu ambek, konflik diwujudkan tanpa pukulan atau tendangan, tetapi melalui bahasa tubuh yang penuh intensitas. Siska Aprisia memaknainya sebagai cermin pergulatan batin, pergumulan yang tak kalah keras dari pertarungan fisik. Gerakannya yang tegas, ritmis, sekaligus ritualistik membentuk landasan bagi koreografer untuk merumuskan bahasa tubuh kontemporer dalam karya tari Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu itu.
Kedekatan koreografer Siska Aprisia dengan ulu ambek bukan sekadar hasil studi atau eksplorasi teknis, melainkan berangkat dari pengalaman hidup. Ia lahir, tumbuh, dan besar dalam lingkungan masyarakat yang masih menjaga tradisi ini, menyerapnya bukan hanya melalui pengamatan, melainkan melalui pergaulan sehari-hari dengan para pelaku tradisi, dan suasana ritual yang mengiringinya. Dari situ, tubuhnya telah dibentuk oleh tradisi sebelum memasuki ruang-ruang artistik kontemporer. Dalam konteks ini, ulu ambek bukan hanya sumber gerak, melainkan juga sumber energi dan narasi yang ditransformasikan ke dalam bentuk koreografi kekinian kendati ulu ambek tidak dimainkan perempuan.
Tubuh Perempuan yang Dibebani Adat
Pertunjukan yang dibawakan tunggal oleh koreografernya sendiri membatin dalam perspektif “perlawanan” tubuh perempuan terhadap tradisi adat-budaya Minangkabau yang matrilineal ini. Bahwa sesungguhnya beban adat itu berada pada setiap gerak, garak, dan garik padusi Minangkabau—taruhlah misalnya tentang Sumbang 12 berfungsi sebagai seperangkat larangan dan batasan perilaku yang ditanamkan sejak kecil, terutama kepada perempuan Minangkabau yang diposisikan sebagai pagar moral yang menjaga martabat, kehormatan, dan nama baik keluarga atau kaum—dengan fasih dikisahkan Siska Aprisia dalam karya tarinya ini.
Pertunjukan tari Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu menghadirkan sebuah pencarian yang personal sekaligus politis. Lewat tubuhnya, koreografer membaca ulang posisi perempuan Minangkabau di tengah tarik-menarik antara warisan budaya, konstruksi sosial, dan traumatic, serta dominasi patriarki. Karya ini meminjam sekaligus membongkar idiom-idiom tradisi Minangkabau—ulu ambek, silek, randai, indang, dengan metafora bantal dan kanvas lukisan, serta tengkuluak. Namun yang ditawarkan bukan isi gerak seni dan nostalgia romantisme, melainkan pertanyaan tajam: bagaimana tubuh perempuan yang kerap dimitoskan sebagai penjaga nilai, norma adat, moralitas, dan sederet beban lainnya, justru sering dibungkam oleh nilai adat itu sendiri?
Di atas panggung yang terbatas berupa lantai sekira 2 meter kali 2 meter itu, gerak yang disusun Siska Aprisia tampil sebagai bahasa sunyi. Ia mengabarkan luka-luka yang sulit diucapkan: adat yang menuntut, modernitas yang menjauhkan, hingga rasa malu yang terus membayangi dan traumatik persona dalam wilayah domestiknya. Dalam dramaturgi Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu, tubuh dikesankan menjelma jadi arsip tak resmi yang merekam penghakiman sosial, getirnya perantauan, kekerasan domestik, dan warisan patriarki yang menyisakan problematik.
Dibalut strategi visual dan bunyi-bunyian yang mencekam, pertunjukan ini juga menggugat otoritas bahasa ibu. Bahasa yang mestinya merawat, justru sering berubah menjadi jerat. Judul Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu pun tak lagi sekadar metafora fisik, melainkan simbol keterbatasan perempuan dalam menyuarakan dirinya di tengah benturan tradisi, ekonomi, dan sistem nilai yang membeku dalam diam maupun kebisingan.
Lalu bagaimana karya Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap norma adat Minangkabau, taruhlah semisalnya Sumbang 12 yang penuh larangan dan standar mioralitas itu?
Dibungkus dalam siraman cahaya lampu yang monoton, lantai yang tak datar, gubuk baru yang belum reot dan masih baru, maka dari kondisi begitulah tubuh Siska Aprisia hadir dan menjelma sebagai situs perlawanan dari representasi Sumbang 12 dan kekerasan domestic yang masif dialami perempuan di ranah Minangkabau. Tubuh koreografi dalam pertunjukan Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu meminjam istilah Richard Schechner sebagai restored behavior—tingkah laku yang diambil dari tradisi, lalu dimodifikasi untuk konteks baru. Pertunjukan adalah laku sosial-budaya yang melampaui panggung-panggung seni, mencakup seluruh ekspresi manusia. Dalam konteks karya koreografi Lidah yang Tersangkut di Kerongkomgan Ibu, tubuh penari tidak semata merepresentasikan nilai tradisi Minangkabau dengan gerak dan komposisi ruangnya, tetapi justru mendekonstruksinya. Dengan mengolah idiom ulu ambek, silek, randai, dan indang secara tidak linear, ia membongkar aturan-aturan normatif yang melekat pada tubuh perempuan.
Dalam tari Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu, simbol hadir bukan sekadar ornamen, melainkan perangkat tafsir yang membuka ruang makna. Sarung bantal, yang dalam keseharian berfungsi sederhana, di tangan Siska Aprisia menjelma jadi tengkuluk, penutup kepala perempuan Minangkabau yang sarat makna sosial. Dikenakan di kepala dengan dua sisi menjulang seperti tanduk, tengkuluk itu bukan hanya pernak-pernik busana, melainkan penanda identitas dan posisi perempuan (padusi) dalam tatanan masyarakat adat.
Dalam praktik tradisi, tengkuluk biasanya dibuat dari kain panjang yang dilipat dan dibentuk sesuai model tertentu, lalu dikenakan dalam upacara adat sebagai tanda martabat dan kedewasaan perempuan. Namun, pada tubuh Siska Aprisia di panggung, tengkuluk yang terbuat memungsikan sarung bantal itu mengalami transformasi: ia tak lagi sekadar pelengkap upacara, tetapi menjadi gestur perlawanan. Setiap lipatan dan sudut yang menyerupai tanduk, dalam komposisi geraknya, menghadirkan tafsir konotatif yang kaya—tentang daya juang, tentang peran sosial perempuan, dan tentang bagaimana simbol tradisi bisa direngkuh kembali sebagai bahasa tubuh kontemporer.
Dari sudut pandang semiotik, tengkuluk di sini bekerja dalam dua lapis tanda: denotasi, yakni sebagai penutup kepala perempuan dalam adat Minangkabau, dan konotasi, yakni sebagai simbol resistensi ketika dikenakan dengan gaya baru di atas panggung. Bisa dikatakan, mitos lahir dari konotasi—dan pada titik inilah tengkuluk sarung bantal menjadi “mitos perlawanan” yang menggeser makna domestik menuju politik tubuh. Sementara itu, tafsir yang lebih luas, bahwa tanda selalu bersifat terbuka (open work), memungkinkan berbagai tafsir. Tengkuluk tanduk Siska, dengan demikian, tidak berhenti pada makna adat, tetapi bergerak ke arah pembacaan ulang atas posisi perempuan Minangkabau di tengah benturan tradisi, modernitas, dan trauma kontemporer.
Dalam kerangka feminisme, tafsir ini semakin tajam. Simone de Beauvoir menyatakan bahwa perempuan selama ini sering diposisikan sebagai “the Other” dalam masyarakat patriarkis—identitas yang didefinisikan bukan oleh dirinya, melainkan oleh laki-laki. Tengkuluk tanduk di kepala Siska menolak posisi subordinat itu, memproyeksikan padusi sebagai subjek yang aktif melawan. Identitas gender dibentuk melalui performativitas, yakni pengulangan simbol dan tindakan. Dengan mengubah sarung bantal menjadi tengkuluk tanduk, Siska sedang melakukan “subversi performatif”: ia mengulang simbol tradisi, tetapi dengan tafsir yang menyimpang, yang menegaskan agensi tubuh perempuan di atas panggung.
Dengan begitu, saya diajak menyaksikan bukan hanya sarung bantal, tetapi juga sebuah narasi semiotik sekaligus feminis—perlawanan yang dibangun melalui permainan simbol, di mana benda domestik sehari-hari diberi kehidupan baru, menggeser tafsir tradisi, dan menegaskan suara perempuan Minangkabau dalam lanskap kontemporer.
Lalu, sarung bantal yang semula hanya tergantung di dinding pondok, seakan-akan menjadi objek pelampiasan emosional sang penari. Dengan gerak yang intens, ia mengoyak-ngoyak sarung bantal itu, seolah hendak merobek sesuatu yang mengekang dalam dirinya. Ekspresi marah, kecewa, dan dendam tumpah ruah melalui tubuhnya, menghadirkan energi emosional yang mentransformasi benda sederhana itu menjadi simbol beban domestik.
Secara semiotik, sarung bantal tidak lagi terbaca hanya sebagai perlengkapan rumah tangga, melainkan sebagai representasi dari ruang domestik yang membatasi pergerakan perempuan. Saat penari mencoba merobeknya, ia sedang melakukan gestur simbolik untuk melepaskan diri dari “penjara” domestik, membongkar dinding tak kasat mata yang diwariskan budaya maupun struktur sosial. Roland Barthes mungkin akan menyebutnya sebagai pergeseran dari tanda denotatif (perabot rumah tangga) menuju tanda konotatif (lambang keterkungkungan dan perlawanan).
Dari perspektif feminisme, aksi ini bisa dibaca sebagai bentuk resistensi tubuh. Simone de Beauvoir menyatakan bahwa perempuan sering direduksi menjadi pelayan ruang domestic. Sementara itu dalam kata lain bahwa tubuh perempuan dapat menjadi medium performatif untuk menegosiasikan ulang perannya. Ketika Siska mengekspresikan amarahnya dengan mengoyak sarung bantal, ia sedang menolak reduksi itu—mengubah tubuhnya menjadi arena perlawanan, dan benda domestik menjadi alat artikulasi dendam yang kolektif.
Adegan ini pun memperkuat narasi tari secara keseluruhan: bahwa perlawanan tidak harus hadir dalam senjata atau pekikan heroik, melainkan bisa berangkat dari benda keseharian yang diberi nyawa baru. Dengan demikian, sarung bantal bukan lagi sekadar properti panggung, melainkan medium katarsis sekaligus simbol politik tubuh perempuan Minangkabau.
Tubuh padusi Minangkabau yang biasanya diikat oleh Sumbang 12 (duduk harus sopan, berjalan harus halus, gerak harus elok) justru dihadirkan sebagai tubuh yang retak, tercekik, bahkan “tersangkut” di kerongkongan. Artinya, tubuh menolak menjadi patuh, dan memilih hadir sebagai tubuh yang bersuara melalui kejang, patah, dan luka. Tubuh yang tidak tunduk pada norma kesopanan itu. Gerak tubuhnya tidak diarahkan untuk “indah” atau “elok” sebagaimana tuntutan adat, melainkan untuk mengungkap getir dan trauma. Tari ini saya membacanya sebagai gugatan atas norma Sumbang 12—bahwa aturan yang konon menjaga justru membungkam ekspresi perempuan.
Selain itu, panggung pondok itu, tergantung kanvas yang semula bersih lalu dilukis coretan liar dan emosional dapat dibaca sebagai “visualisasi lain” dari gagasan tari ini. Kanvas yang penuh kemarahan itu hadir sebagai suara yang tidak diucapkan dengan kata-kata, tetapi meledak dalam bentuk warna, goresan, dan gestur visual. Jika lidah yang tersangkut adalah metafora untuk bisu paksa, maka kanvas ini adalah metafora untuk teriakan bisu—amarah yang dikeluarkan tanpa bahasa, tapi tetap menuntut diakui. Dengan perspektif ini, hubungan antara tubuh penari, sarung bantal, dan kanvas menjadi semakin jelas. Sarung bantal yang digoyak-goyak melambangkan pergulatan domestik dan dendam terpendam. Sementara kanvas, ditempatkan di pintu masuk, menjadi gerbang simbolik yang mengingatkan penonton bahwa mereka sedang memasuki ruang di mana suara-suara perempuan yang biasanya tertahan kini “dilukiskan” dengan keras.
Kanvas kemarahan dalam tari Siska Aprisia bisa dibaca sebagai perpanjangan dari gagasan lidah yang tersangkut: keduanya menyoroti kesulitan perempuan Minangkabau untuk mengartikulasikan perasaan dan pengalaman mereka secara bebas, tetapi sekaligus menunjukkan bagaimana seni mampu membuka jalur lain untuk menyuarakan yang tak terucapkan.
Metafora, Matrilineal, dan Dominasi Patriarki
Pilihan judul Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu dalam garapan Siska Aprisia adalah metafora yang mesti dimaknai secara konotatif dengan seperangkat pengetahuan dan pengalaman—paling tidak terhadap budaya Minangkabau.
Metafora lidah yang tersangkut di kerongkongan ibu memiliki makna simbolis yang kuat. Lidah—sebagai organ bicara—dihubungkan dengan bahasa ibu, bahasa yang semestinya merawat. Namun di sini, lidah justru tersangkut, tidak bisa berbicara. Ini bisa dibaca sebagai kritik bahwa bahasa ibu (dan sistem adat yang menopangnya) kerap menjelma jerat bagi perempuan. Artinya, karya ini tidak hanya melawan Sumbang 12 pada level gestur, tetapi juga menggugat bahasa budaya yang selama ini mendiamkan perempuan.
Dalam sistem sosial Minangkabau, tubuh perempuan sering diposisikan sebagai representasi martabat keluarga dan suku. Karena Minangkabau menganut sistem matrilineal—garis keturunan diturunkan lewat ibu—nama baik perempuan dianggap langsung berhubungan dengan kehormatan kaum. Maka, perilaku perempuan diawasi ketat melalui aturan Sumbang 12. Sebaliknya, laki-laki tidak memikul beban simbolis yang sama. Mereka boleh “bergerak bebas”, karena identitas keluarga tidak melekat pada tubuh mereka.
Kendati menganut matrilineal, sistem nilai yang membentuk perilaku perempuan tetap dipengaruhi oleh budaya patriarkis. Laki-laki memegang peran publik (sebagai penghulu, pemimpin musyawarah, imam), sementara perempuan dituntut menjaga “keluarga dalam diam”. Karena itu, Sumbang 12 lebih diarahkan pada perempuan: untuk mengatur sopan santun, rasa malu, dan citra diri. Dengan kata lain, meski garis keturunan ditarik dari ibu, kuasa sosial dan tafsir adat masih sangat maskulin.
Rasa malu (malu jo Sumbang) seringkali dilekatkan pada perempuan sebagai instrumen kontrol sosial. Laki-laki bisa saja melanggar etika—misalnya berperilaku keras, bicara lantang, atau bergerak bebas—tanpa stigma yang sama beratnya. Sebaliknya, ketika perempuan melanggar satu saja dari Sumbang 12, ia akan dituding tidak tahu adat, mempermalukan keluarga, bahkan menjadi buah bibir di kampung. Standar ganda ini menegaskan bahwa aturan diterapkan tidak setara.
Larangan dalam Sumbang 12 kerap dilegitimasi dengan alasan “menjaga kehormatan” dan “sesuai syariat”. Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang harus ekstra hati-hati dalam tutur kata, sikap, dan penampilan. Padahal, narasi yang sama jarang diarahkan ke laki-laki. Seolah-olah perempuanlah yang bertanggung jawab penuh atas moralitas sosial.
Secara historis, perempuan Minangkabau lebih banyak ditempatkan di ruang domestik, sementara laki-laki ke rantau. Aturan Sumbang 12 lahir untuk menertibkan perempuan yang tinggal di kampung, agar selalu “elok dipandang” di mata masyarakat. Karena laki-laki sering berada di luar kampung (merantau), kontrol seketat itu tidak berlaku bagi mereka.
Lalu, mengapa Sumbang 12 hanya berlaku ketat bagi perempuan adalah karena tubuh perempuan dijadikan simbol kehormatan, objek kontrol patriarki, dan instrumen menjaga citra keluarga. Sementara laki-laki dianggap lebih bebas, karena tidak dilekatkan dengan “beban simbolis” yang sama.
Maka, saya mengatakan, bahwa Sumbang 12 adalah warisan nilai yang bisa dimaknai sebagai pedoman etika, tetapi ia perlu direfleksikan ulang agar tidak menjadi jerat. Alih-alih dipakai untuk membatasi, ia bisa diinterpretasi ulang sebagai ajaran kesantunan dan penghormatan yang berlaku universal, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu, ia tetap hidup sebagai nilai budaya, tanpa harus mengekang kebebasan perempuan Minangkabau hari ini, dan inilah yang sesungguhnya disampaikan koreografi karya Siska Apriasi Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu.
“Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu adalah ruang perempuan dan tubuh dihadirkan sebagai arsip. Arsip yang tidak tersimpan dalam buku atau catatan resmi, melainkan dalam otot, napas, dan ingatan. Ia memuat kisah-kisah yang sering dipinggirkan: penghakiman sosial, getirnya perantauan, luka kekerasan domestik, hingga jerat simbolik dari tatanan patriarki,” kata Siska sembari mengungkan bahwa karya ini akan terus berproses dan berproses.
Siska Aprisia, akrab disapa Uni Siska atau Uniang, lahir di Pariaman tahun 1992. Ia adalah koreografer, penari, dan pegiat budaya yang kini berdomisili di Yogyakarta. Lulusan ISI Padang Panjang, Jurusan Penciptaan Seni Tari ini aktif berkarya sejak 2016 dan telah menampilkan karyanya di berbagai ajang, antara lain Bedog Art Festival, Pandapha Art Space Yogyakarta, Nuart Sculpture Park Bandung, hingga tur bersama Company Cie-Xpress (Prancis).
Siska mendirikan komunitas Ranah Batuah di Pariaman untuk mendorong ruang ekspresi seni. Ia juga terlibat dalam pengembangan desa wisata dan festival berbasis masyarakat bersama Yayasan Umar Kayam, serta proyek Lapuak-Lapuak Dikajangi (LLD) #3 bersama Gubuak Kopi.
Selain berkarya, Siska aktif berbagi pengetahuan lewat diskusi seni, budaya, sosial, dan perempuan di media sosial. Ia berkomitmen mendukung seniman perempuan Sumatera Barat agar lebih berani tampil dalam jejaring seni tari Indonesia.
Siska terpilih mengikuti program residensi REFLEKT bersama TanzFaktur 2024 di Jerman. Dari sana lahir karya Body Migration – I Do(n’t) Want, yang pertama kali dipentaskan di Köln pada November 2024 dan kembali dipresentasikan di GoetheHaus Jakarta pada Juli 2025.*