MK Tegaskan Wajib Belajar Gratis Juga Berlaku untuk Sekolah Swasta

Selasa, 27/05/2025 22:54 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com--Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil atas Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam amar putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Selasa (27/5/2025).

MK menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Putusan ini menjawab gugatan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga warga negara, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Mereka mempersoalkan diskriminasi biaya pendidikan antara sekolah negeri dan swasta yang selama ini terjadi.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk sekolah negeri maupun swasta,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Negara Harus Hadir Tanpa Diskriminasi

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti kesenjangan akses pendidikan akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Ia menyebut, pada tahun ajaran 2023/2024, hanya sekitar 970 ribu siswa SD yang tertampung di sekolah negeri, sementara sisanya sekitar 173 ribu bersekolah di swasta. Hal serupa juga terjadi di tingkat SMP.

“Negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi,” jelas Enny.

Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas selama ini menimbulkan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah negeri. Padahal Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 menyebut negara wajib membiayai pendidikan dasar tanpa membedakan pengelola satuan pendidikan.

Meski demikian, MK tidak melarang sekolah/madrasah swasta membiayai penyelenggaraan pendidikan dari peserta didik atau sumber lain, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun negara tetap wajib hadir melalui skema bantuan atau subsidi, terutama di wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri.

“Sekolah swasta tetap boleh memungut biaya, tapi harus ada afirmasi pembiayaan bagi siswa yang tidak mampu, khususnya di daerah yang hanya memiliki sekolah swasta,” ujar Enny.

MK juga menyoroti pentingnya pergeseran paradigma dalam pengalokasian anggaran pendidikan. Negara harus mulai memprioritaskan pendidikan dasar secara menyeluruh, baik negeri maupun swasta, dalam alokasi minimal 20% APBN dan APBD sesuai amanat konstitusi.

Perlindungan Hak Konstitusional

MK menyatakan bahwa frasa "tanpa memungut biaya" yang hanya berlaku untuk sekolah negeri telah menimbulkan perlakuan diskriminatif dan melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk mengembangkan diri dan memperoleh pendidikan.

Putusan ini menandai langkah penting dalam upaya memperluas akses pendidikan dasar yang setara bagi seluruh anak bangsa, tanpa membedakan status negeri atau swasta penyelenggara sekolah.

MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.

Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya" dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.

"Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," sebut Enny.

Putusan ini disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan lembaga penyelenggara pendidikan swasta. Mereka menilai langkah ini sebagai bentuk keadilan pendidikan yang selama ini dituntut masyarakat.

Meski demikian, sejumlah pengamat pendidikan menyarankan agar pemerintah segera merumuskan kebijakan teknis untuk pelaksanaan putusan ini. Termasuk skema anggaran, akuntabilitas dana, serta mekanisme kerja sama antara negara dan lembaga pendidikan swasta.

Negara Wajib Hadir

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam menjamin keadilan akses pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, termasuk yang mengenyam pendidikan di sekolah swasta. MK menyadari bahwa selama ini sudah ada sekolah atau madrasah swasta yang menerima bantuan pemerintah seperti program BOS atau beasiswa, namun tetap memungut biaya dari peserta didik untuk menunjang operasional pendidikan.

Tak hanya itu, Mahkamah juga mencatat adanya sekolah/madrasah swasta yang sama sekali tidak menerima bantuan pemerintah dan memilih sepenuhnya membiayai operasional melalui iuran peserta didik. Terhadap situasi tersebut, MK menilai tidak rasional jika semua 111sekolah swasta dilarang memungut biaya, mengingat keterbatasan anggaran negara.

“Menjadi tidak tepat dan tidak rasional jika dipaksakan tidak boleh lagi mengenakan atau memungut biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan mereka dari peserta didik sama sekali, sementara kemampuan fiskal pemerintah masih terbatas,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pembacaan putusan.

Namun demikian, Mahkamah menegaskan bahwa sekolah/madrasah swasta tetap memiliki kewajiban moral untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada peserta didik, khususnya dari kalangan tidak mampu. Negara pun harus memastikan adanya skema afirmatif, terutama di wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri, agar anak-anak tetap dapat mengakses pendidikan dasar secara gratis.

MK juga menegaskan bahwa Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang mewajibkan pengalokasian 20% anggaran pendidikan dari APBN dan APBD tidak membedakan antara jenis dan pengelola pendidikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas, harus dipahami sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait dan wajib dilayani negara secara utuh.

Terkait dalil para Pemohon soal ketimpangan anggaran yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah di tingkat dasar, MK menyatakan bahwa persoalan tersebut termasuk dalam ranah administratif dan implementatif kebijakan. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih cermat dalam menyusun prioritas penganggaran agar prinsip keadilan dan kesetaraan pendidikan benar-benar terwujud. ssc/mn



BACA JUGA