OLEH Sarah Azmi (Jurnalis)
TUJUH bulan berlalu tetapi memoar Anggun Andriani kematian anaknya Afif Maulana belum pudar. Pada minggu siang, 9 Juni 2024 ketika matahari hendak sampai puncak, anak sulungnya ditemukan menggembang di Sungai Batang Kuranji, Padang, di bawah jembatan di Jalan Bypass dengan keadaan 6 tulang rusuk bagian kiri patah hingga merobek paru-parunya sepanjang 11 sentimeter.
“Tahun memang berganti tapi keadilan semakin kelam,” kata Anggun, ketika ia mendengar pernyataan Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono pada Selasa, 31 Desember 2024 menyatakan bahwa penyelidikan terkait kematian Afif Maulana dihentikan.
Kematian Afif Maulana diduga akibat dari penyiksaan yang dilakukan oleh personel Direktorat Sabhara Polda Sumbar yang tengah melaksanakan pencegahan aksi tawuran di Kota Padang. Ia menemukan rombongan pengendara yang sedang konvoi sebanyak 25 sepeda motor dengan jumlah kurang lebih 50 orang yang diduga sebagai anggota tawuran. Sehingga polisi mengejar rombongan itu.
Dari keterangan Adit, rekan Afif, dalam surat pernyataannya tanggal 12 Juni 2024, menyebutkan motor yang dikendarainya bersama Afif ditendang anggota Sabhara, mengakibatkan mereka jatuh. Dari jembatan ini semua bermula, dari beberapa keterangan saksi lain yang pernah ditemui oleh sumbarsatu bahwa ada yang melihat Afif Maulana di jembatan subuh itu, namun dikelilingi oleh polisi, saksi lain yang tidak bisa disebutkan namanya juga menceritakan bahwa ia mendengar dari arah kerumunan polisi itu dengan kata “Ampun, ampun.”
Selain Afif Maulana, 18 belas orang lainnya yang malam itu ditangkap oleh polisi di jembatan Kuranji. Keterangan LBH Padang telah terjadi penyiksaan. Mereka disuruh jongkok dan menghadap ke tembok jembatan, dengan posisi membelakangi polisi. Kepala mereka dibenturkan ke tembok pembatas antara jalan dan Sungai Batang Kuranji. Kemudian baru mereka dibawa ke Polsek Kuranji.
Dari keterangan para korban, di Polsek Kuranji mereka tidak hanya mendapatkan sulutan rokok, pemukulan dan pecutan rotan, tetapi juga terjadi kekerasan seksual, di mana para korban disuruh berciuman sesama jenis dalam keadaan tidak menggunakan baju. Penyiksaan ini juga dibenarkan oleh Kapolda Sumbar bahwa 17 anggota terlibat dalam tindakan penyiksaan tersebut , meskipun ia menyebut tindakan ini hanya menyalahi prosedur. Awalnya, Polda Sumbar mengelak adanya penyiksaan terhadap 18 korban yang di bawa ke Polsek Kuranji dan Afif Maulana meninggal akibat meloncat dari atas jembatan.
Sudahkah Dokter Forensik Bekerja Transparan?
Kesokan harinya, setelah jenazah Afif ditemukan, pada tanggal 10 Juni 2024 pukul 09.00, dilakukan autopsi di Rumah Sakit Bhayangkara. Namun, keluarga yang berencana akan membawa jenazah pulang dihalangi polisi. Petugas melarang keluarga melihat jenazah Afif secara menyeluruh. Sempat terjadi pertengakaran kecil sehingga salah seorang keluarga, yaitu mamak almarhum bernama Riki berhasil membuka kantong jenazah Afif dan menemukan ada luka memar di tubuh kemanakannya. Merasa ada yang janggal, Riki memaksa agar jenazah Afif dibawa pulang, pukul 16.00, jenazah akhirnya bisa dibawa pulang.
Setelah melihat banyaknya kejanggalan kematian Afif dengan hasil outopsi yang dikeluarkan Rumah Sakit Bhayangkara, keluarga merasa tidak puas. Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan dokter forensik sampai saat itu tidak memberikan berita acara autopsi kepada pihak keluarga.
Selain itu, penyidik perkara tidak membuka laporan dan memberikan salinan autopsi kepada pihak keluarga. Sehingga pihak keluarga mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan ekshumasi terhadap jenazah Afif. Ekshumasi adalah proses pengangkatan atau pembongkaran jenazah yang telah dimakamkan untuk tujuan mencari penyebab kematian.
Impunitas yang Terus Dirawat
Pada hari Selasa, 31 Desember 2024 di ruang gelar perkara Direskrimum Polda Sumbar telah dilakukan proses gelar perkara dalam dugaan tindak pidana penyiksaan yang berujung pada kematian terhadap Afif Maulana.
Sesaat setelah itu Kapolda Sumbar mengumumkan pemberhentian penyelidikan. Apakah gelar perkara yang telah dilakukan hanya untuk menghentikan kasus yang sudah ratusan hari tanpa kejelasan. Keputusan Polda Sumbar tidak dapat diterima oleh keluarga, terutama ayah Afif Maulana, Afrinaldi.
Menurutnya jika alasan penghentian penyelidikan ini bercermin pada hasil ekshumasi yang menurut Polda Sumbar sudah menerangkan sebab kematian, tetapi bagi Afrinaldi masih banyak dari hasil ekshumasi tidak diterangkan oleh Dr. Ade Firmansyah Sugiharto, sebagai Ketua Tim Dokter Forensik Gabungan dari Perhimpunan Dokter Forensik dan Medikolegal Indonesia (PDFMI).
Seperti pertanyaan Afrinaldi soal kekerasan di tubuh sebelah kanan Afif yang tidak diterangkan oleh Ade Firmansyah Sugiharto.
Menurutnya Ade Firmansyah Sugiharto takut menjelaskan bahwa anaknya meninggal bukan di air, namun Dokter forensik tersebut malah mengatakan dengan kata “misteri”. Hal ini membuat Afrinaldi kecewa. Seharusnya ada tindak lanjut dari hasil ekshumasi bagian kekerasan tersebut. Hal ini membuat ia semakin yakin bahwa sejak awal Polda Sumbar tidak serius dalam penanganan kasus kematian anaknya karena saksi mata dan saksi pendukung yang dihadirkan tidak pernah ditindaklanjuti.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh nenek dan kakek Afif Maulana saat konferensi pers yang diadakan LBH Padang pada tanggak 2 Januari 2025 bertempat di Kantor LBH Padang.
Sampai saat ini LBH Padang belum mendapatkan salinan resmi terkait penghentian proses penyelidikan oleh Polda Sumbar. Tetapi pemberhentian proses penyelidikan jelas bentuk deskriminatif dan tidak profesionalitas yang dihadirkan oleh Kapolda Sumatera Barat.
LBH Padang khawatir pengehentian ini adalah upaya untuk menciptakan impunitas bagi para anggota-anggota polisi yang diduga melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia berupa penyiksaan yang berakhir pada kematian itu.
“Nah, mengapa kami memandang bahwa dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian daerah sumbar dalam mengungkap kasus ini banyak kejanggalan dan ketidakprofesionalan. Pertama disaat kami menghadirkan saksi fakta dan juga ahli, penyidik tidak mendalami terkait penyiksaan yang terjadi, tetapi hanya terfokus pada proses tawuran dan ajakan untuk melompat.
Kedua, di saat kami menghadirkan keterangan ahli, yaitu Dr. Gufron yang ikut dalam proses ekshumasi mulai dari penggalian pemakaman sampai bedah mayat, mengatakan dan menjelaskan kepada penyidik dalam BAP-nya bahwa ada tindak kekerasan yang terjadi sebelum Afif Maulana meninggal. Kalau memang transparansi, objektif dan profesionalitas hadir di tubuh Polda Sumbar untuk mengungkap kasus ini harusnya diperdalam oleh penyidik terkait keterangan ahli Dr. Gufron,” jelas Afrizal dari LBH Padang.
Menurutnya, keterangan yang dihadrikan oleh ahli Dr. Ade Firmanyah dalam konferensi pers 26 September 2024 lalu menjelaskan ada 19 spesimen yang diperiksa dan diduga itu adalah kekerasan. Tetapi itu tidak dijelaskan secara detail apa penyebab dari hadirnya kekerasan itu. Hal ini jadi gambaran yang sedang dipertontonkan Polda Sumbar untuk merawat Impunitas.
Bahkan pada subuh itu, bukan hanya Afif yang ada di lokasi, tetapi 18 orang anak lainnya juga mendapatkan penyiksaan, tindakan diluar prosedur hukum yang baik, tak hanya itu bahkan terjadi penangkapan sewenang-wenang.
LBH Padang menerangkan harusnya Polda Sumbar sudah memproses pelaku-pelaku yang diduga melakukan penyiksaan tersebut.
“Bukan hanya itu, kami menduga penyidik berusaha menutupi CCTV terkait dengan kejadian pidana pada malam itu. Padahal hal dalam proses gelar perkara penyidik mengakui di dalam langkah penyelidikan pada 24 Juni 2024 telah dilakukan pendataan dan pengecekan CCTV dan sudah dilakukan pengamanan terhadap hasil CCTV,” jelasnya.
Dari awal polisi tidak berusaha mencari titik terang kasus tapi berusaha membuktikan narasi Afif Maulana meninggal karena melompat. Padahal saksi A tidak pernah menerangkan Afif Maulana melompat, melainkan menerangkan ada ajakan untuk melompat .
Untuk menguatkan narasi ini dokter autopsi pertama mengatakan penyebab Afif meninggal terpeleset di atas jembatan dengan paru-paru kemasukan air sedangkan satu orang saksi menerangkan dalam berita acara wawancara (BAW) bahwa Afif berteriak “Ampun Pak” ketika dikerumuni sekitar 3 orang polisi dengan pakaian Sabhara. Keterangan ini tidak pernah dinarasikan oleh penyidik ke Ade Firmansyah, maupun publik.
Semua keterangan ini telah disampaikan oleh LBH Padang kepada Ade Firmansyah tapi tidak pernah disesuaikan dengan hasil autopsi ulang dari 19 spesimen kekerasan pada tubuh Afif Maulana.
Bahwa terdapat kekerasan pada bagian depan, yaitu pada dada bagian tengah, perut bagian tengah dan pada bagian tubuh sebelah kanan. Kemudian tanda kekerasan itupun juga terlihat di lutut bagian kanan, tangan kanan dan siku kanan.
Terdapat perbedaan keterangan terkait penyebab meninggalnya Afif. Hasil forensik pertama mengatakan ia meninggal karena paru-paru kemasukan air, sedangkan keterangan Dr. Ghofar terdapat kekerasan sebelum Afif meregang nyawa.
Polisi memiliki bukti telah terjadi dugaan penyiksaan yang menyebabkan kematian Afif Maulana karena dalam pemeriksaan terhadap tujuh orang yang ditangkap di jembatan, penyidik tidak mendalami saksi yang melihat Afif Maulana. Semua pertanyaan terkait peristiwa meninggalnya Afif aulkana diluar dari konteks yang berbeda.
Setelah LBH Padang melakukan investigasi, barulah penyidik mau mendalami poin pertanyaan terkait saksi yang melihat Afif Maulana berada di jembatan. Untuk menaikkan status perkara dari penyelidikan menjadi penyidikan dalam kasus Afif Maulana menurut LBH Padang sudah terpenuhi.
Dikarenakan kasus ini sudah dihentikan proses penyelidikan, maka kami mendesak agar penyidik Polresta Padang untuk segera mengirimkan surat penghentian penyelidikan.
Selain itu juga beserta barang bukti yang telah disita secara sewenang-wenang serta mendesak memberikan transparansi berupa salinan hasil ekshumasi agar kami kuasa hukum juga bisa memastikan bahwa proses penyelidikan yang dilakukan sesuai dengan prosedur.
Dan tidak ada yang dikaburkan serta memastikan objectif, profesionalitas penyidik dalam mengungkap kasus ini sehingga terciptanya keadilan dan kepastian hukum dan tidak melanggengkan impunitas di tubuh kepolisian. *