ilustrasi liputan6.com
OLEH Halim HD (Networker-Organizer Kebudayaan)
KEBUDAYAAN tak sepenuhnya memiliki makna tunggal. Perubahan dan gejolak zaman yang kita saksikan menciptakan perubahan makna. Seperti juga bahasa yang ikut berubah oleh zaman. Jika kita membaca berbagai info yang datang melalui medsos berkaitan dengan kondisi sosial-politik-ekonomi dan kekuasaan, kita mendapatkan banyak ungkapan, misalnya tentang korupsi dan penyelewengan serta berbagai manipulasi yang sudah dianggap sebagai bagian ke-budaya-an kita.
Ungkapan korupsi sudah menjadi budaya kita, merupakan ungkapan dan sekaligus judgement serta otokritik yang paling pahit dalam kehidupan sosial kita. Makna awal dari kebudayaan yang semula berasal dari budi dan daya, suatu kapasitas budi manusia untuk menciptakan suatu kondisi yang lebih baik berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan, yang mengarah kepada tatanan peradaban.
Sangat menarik, ketika para pendiri bangsa dan kaum pendidik pada masa lampau selalu mengaitkan antara budi daya dengan peradaban yang satu dengan lainnya saling mengisi dan tak terpisahkan. Bagaikan keping uang dengan dua sisi yang menyatu yang bermakna kehadiran kedua tatanan nilai itu di dalam kehidupan masayarakat secara sosial dan individual.
Namun, seperti juga sejarah, kebudayaan dan peradaban memasuki gelumbang waktu. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri, ujar filsuf Heraklitos, dalam ujarannya Pantha Rhei. Di manakah titik “ke-abadi-an” yang ingin kita raih melalui proses kebudayaan dan peradaban?
Ketika kita menyatakan, bahwa kita “mengabadikan” seperti kita membidik melalui lensa kamera pada suatu peristiwa, terasa kita sedang membekukan waktu melalui tehnologi yang menjadi sarana komunikasi yang bisa menyampaikan makna dalam sejumlah tafsir. Dalam dunia fotografi ungkapan frezzeing of the moment, membekukan dan menangkap momentum suatu peristiwa, adalah usaha untuk membentuk ingatan. Peristiwa itulah yang secara budaya visual menjadi ikatan sosial dan personal bagi kita. Dua unsur yang menjadikaan suatu peristiwa dalam rentang sejarah, visualisasi dan ingatan, memori.
Tapi mengabadikan dan keabadian terasa pula memiliki jarak yang jauh dan bisa berbeda pula. Yang satu berusaha untuk menjaga ingatan pada suatu peristiwa, yang lain merupakan proses menjadikan nilai lebih dari sekedar memori sosial dan personal: sepanjang zaman, sepanjang waktu yang seolah tak goyah oleh perubahan apapun. Adakah hal itu?
Jika kebudayaan dan peradaban berupaya untuk menciptakan bukan sekedar terciptanya memori sosial dan personal, tapi lebih dari itu, yakni tentang sesuatu yang bersifat transendental yang mengarahkan kita kepada sesuatu yang berada di balik langit, yang menggerakan semesta yang memutar seluruh bintang-bintang yang memukau nun di sana.
Kita mungkin bicara tentang sesuatu yang menjadikan segalanya, sebab pertama, causa prima, atau bahkan tentang causa sui, sebab yang tak tersebabkan, sebagaimana filsuf Thomas Aquinas menyatakan dalam suatu pemenungannya tentang keabadian, tentang ke-Illahi-an.
Itulah juga yang menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban yang masih bisa kita tengok melalui berbagai khasanah pemikiran. Tapi, adakah khasanah itu masih bisa memberikan inspirasi bagi kita untuk memberikan makna yang ideal, diantara perubahan zaman misalnya melalui kasus ungkapan bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan kita? Tak terhitung khasanah yang telah ikut membentuk kebudayaan dan peradaban masih bisa dipelajari dan menjadi inspirasi.
Namun kita juga menyaksikan, bahkan merasakan kehendak manusia sebagai antroposentris yang menjadikan dirinya pusat dari segala perubahan, yang merupakan konsekuensi logis dari kesadaran ontologis. Mungkin kesadaran ontologis itulah yang kini bablas, tak terkendali dan menciptakan zaman dengan bahasa yang memiliki makna banal dan brutal dampak dari praktek kehendak untuk berkuasa.
Kehendak berkuasa tanpa memandang khasanah yang pernah ada dengan rasa hormat menjadikan pengelola kekuasaan the blind man-women: agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh dan ilmu pengetahuan tanpa agama menjadi buta, ujar Albert Einstein, fisikawan-matematika peraih Nobel.
Tapi kenapa pula kini agama menjadi sekedar lembaga, institusi yang hanya bisa memberikan instruksi yang justeru memecah belah. Ketika kehidupan kebudayaan dan agama telah kehilangan makna (per)adab(an), kita menyaksikan kehilangan fondasi moral dan etik(a) dalam kehidupan keseharian. Itulah yang kini kita saksikan, ketika kekuasaan menjadikan nilai kebudayaan hanya sekedar lip service.
Lipstik kebudayaan terjadi ketika kaum penguasa dan kaum seniman hanya melihat dan memahami kebudayaan sebagai komoditas. Pahlawan hanya sekedar menjadi instrumen di atas panggung, sejarah hanya menjadi kutipan untuk pidato dan semburan mulut aktor berdasarkan sutradara yang kehilangan prinsip tentang teater dan sejarah.
Lipstik kebudayaan menjadi bagian yang tak terhindarkan dari gaya hidup hedonis yang dibekuk oleh konsumerisme, menjadikan panggung teater sebagai panggung seremonial. -o0o-