FESTIVAL Nan Jombang Tanggal 3 menghadirkan pertunjukan seni randai dengan cerita “Santan Batapi” yang dibawakan Sanggar Seni Legusa Saiyo dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Senin (3/2/2025).
Laporan Angelique Maria Cuaca (Jurnalis)
FESTIVAL Nan Jombang Tanggal 3 di bulan ke-2 tahun 2025 menghadirkan pertunjukan seni randai dengan cerita “Santan Batapi” yang dibawakan Sanggar Seni Legusa Saiyo dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Senin (3/2/2025). Permainan rakyat ini dipentaskan di Gedung Manti Minuik Ladang Nan Jombang.
Randai “Santan Batapi” mengangkat kisah klasik dari Piaman yang mengisahkan cinta segitiga antara Anggun Nan Tongga, Raja Tiku Pariaman, dengan dua tokoh perempuan: Santan Batapi dan Nandomi Sutan. Bermula dari pencarian Anggun Nan Tongga terhadap burung nuri yang bisa bicara—syarat yang harus ia penuhi untuk mempersunting Gondariah—kisah ini berkembang menjadi sebuah drama penuh intrik, romansa, dan keteguhan hati.
Di sebuah perkampungan yang damai, cinta dan harapan berkelindan dalam kisah Santan, Anggun, dan Nandomi. Kisah mereka bukan sekadar tentang perasaan, tetapi juga tentang pengorbanan yang pahit.
Santan telah lama menyimpan rasa pada Anggun. Ketika mengetahui bahwa Anggun sangat menginginkan burung nuri, ia melihat ini sebagai kesempatan untuk memenangkan hati Anggun. Dengan tekad kuat, Santan pun mencari pemilik burung itu—Nandomi.
Namun, harapan tak selalu berpihak pada diri Santan yang tulus. Nandomi menolak menjual burung nuri kepada Santan. Alasannya? Ia juga mencintai Anggun. Perdebatan pun terjadi, hingga akhirnya Anggun sendiri muncul di tengah ketegangan.
Nandomi lantas mengajukan sebuah syarat yang mengiris hati. Jika Anggun benar-benar menginginkan burung nuri, maka ia harus tinggal bersama Nandomi dan mengusir Santan dari hidupnya. Tanpa pikir panjang, demi mendapatkan burung impiannya, Anggun melakukan hal yang tak pernah Santan bayangkan—mengusirnya.
Hati Santan remuk. Langkah kakinya terasa berat saat meninggalkan Anggun yang kini memilih burung ketimbang dirinya. Isak tangisnya mengiringi kepergian, membawa luka yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat.
Kisah ini bukan sekadar tentang cinta segitiga, tetapi juga tentang pilihan yang harus dibayar dengan perasaan. Terkadang, cinta tak selalu berujung bahagia. Dan pengorbanan, tak selalu berbuah manis.
Naskah kaba klasik ini ditampilkan kurang lebih 40 menit oleh 12 pemain legaran, 5 tokoh, dan 7 pemain musik. Pertunjukan dimulai dengan pertunjukan silek laki-laki, tari piring tradisi, silek padusi, dan silek padang. Pementasan ini berhasil menuai tepuk tangan riuh dari para penonton.
Dengan alunan musik tradisional, gerakan dinamis para pemain randai, serta dialog yang mengalir dalam syair khas Minangkabau, pertunjukan ini berhasil membangkitkan nuansa klasik yang tetap relevan dengan masa kini. Festival Tanggal 3 Nan Jombang terus menjadi panggung bagi seni tradisi Minangkabau untuk hidup dan berkembang, sekaligus memperkenalkan warisan budaya kepada generasi muda.
Malam itu, lebih dari seratus orang memenuhi Gedung Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang di Balai Baru, Kuranji, Padang. Antusias penonton terasa. Mereka duduk berdesak-desakan, sebagian duduk di lantai. Tampak juga, Fadly Amran, Wali Kota Padang terpilih dan perwakilan dari Dinas Pariwisata Sumatera Barat, hadir.
Yusnihar, pimpinan dari Legusa Saiyo menyebutkan sanggar ini berdiri tahun 2021. Keanggotaannya kini kurang lebih 50 orang. Sebagian besar anggotanya adalah generasi muda.
“Kami resah dengan anak-anak yang selama ini waktunya habis untuk bermain gawai. Jadi mereka tidak punya waktu lagi untuk belajar seni tradisi Minangkabau seperti randai, tari, musik dan silek,” kata perempuan yang sehari-harinya bekerja di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) kepada sumbarsatu, setelah pertunjukan, Senin (3/2/2025).
Yusnihar dan tim melewati proses yang tidak mudah. Beberapa kali sanggarnya mengalami pasang surut. Anak-anak yang dilatihnya kadang belum mau bersungguh-sungguh belajar soal tradisi. Namun ia tetap yakin bahwa memperkenalkan tradisi ini ke generasi muda adalah hal penting.
“Jika kita tidak berupaya memperkenalkan seni tradisi Minang ke anak muda, siapa kelak yang akan melanjutkannya?” jelas Yusnihar.
Kerja keras Yusnihar dan tim perlahan mulai membuahkan hasil. Anak-anak muda di sekitaran Lereng Gunung Sago, Limapuluh Kota mulai tertarik mempelajari kesenian tradisi di Sanggar Legusa Saiyo.
“Saya juga mengajak anak-anak muda yang mengambil sekolah paket di PKBM. Selama ini anak yang mengambil paket dianggap tidak lebih baik dengan yang mengambil jalur sekolah formal pada umumnya. Padahal sebetulnya sama saja,” tambahnya.
Jadi keterlibatan anak tersebut sebagai upaya untuk membangun kepercayaan diri mereka. Sekaligus sebagai keterampilan jika ke depan mereka ingin memiliki profesi sebagai seniman. Sanggar Seni Legusa Saiyo telah tampil di berbagai festival tingkat kabupaten-kota.
Dadang Leona, seniman teater asal Sumatera Barat juga hadir pada malam itu. Ia mengapresiasi penampilan Legusa Saiyo malam itu.
“Secara segi penampilan cukup baik. Apalagi melibatkan generasi muda. Mereka bisa menglafalkan teks naskah dengan baik. Sebagai sebuah proses, ini adalah capaian,” puji Dadang.
Kendati demikian, ia juga memberi catatan untuk pertunjukan. Menurut Dadang, dialog aktor kurang terdengar karena dibarengi dengan suara saluang yang cukup keras. Ia juga mengkomentari terkait piring yang terjatuh saat penari piring tampil. Menurutnya, hal tersebut membuat fokus penonton buyar.
“Penampilan Santan Batapi lebih cocok tampil pada ruang di mana penonton duduk melingkar. Jika tampil di panggung prosenium, para legaran tidak harus melingkari tokoh randai. Selama pertunjukan saya tidak bisa melihat ekspresi para tokoh, karena tertutup pemain legaran,” sebut Dadang sembari memberikan masukan.
Jumaidil Firdaus, komposer sekaligus personel dari Orkes Taman Bunga juga hadir pada malam itu. Ia menyampaikan apresiasinya.
“Saya senang melihat generasi muda yang tampil pada randai malam ini. Mengingatkan saya pada almarhum Bapak yang menjadi pelatih sekaligus pembuat naskah randai di Sirukam dan Singkarak,” ujar laki-laki yang kerap disapa Idil ini.
Ia terkenang saat bapaknya melatih randai di Singkarak. Saat itu Jumaidil masih sekolah dasar. Ia ikut berlatih dan sempat berperan menjadi salah satu tokoh di cerita randai.
“Jadi saya datang sekaligus untuk melepas kerinduan kepada almarhum bapak,” tambah Idil.
Ruang Apresiasi bagi yang Terus Berproses
Festival Nan Jombang Tanggal 3 (FNJT 3) dimulai Nan Jombang Dance Coimpany tahun 2013. Bermula dari perenungan Ery Mefri atas perjalanan kariernya ke dunia internasional.
“Setelah berpuluh tahun berkarya di dunia seni, saya sadar bahwa dunia mengenal Ery Mefri karena karyanya yang berakar dari tradisi. Salah satunya randai. Festival ini adalah cara saya berterima kasih pada dunia seni tradisi yang sudah membesarkan saya,” jelas Ery Mefri.
Di tahun awal, Ery merogoh kocek pribadinya. Setiap bulan di tanggal 3, ia mengundang seniman tradisi dari daerah di Sumatera Barat untuk tampil di Ladang Nan Jombang. Tak lupa, ia juga mengundang komunitas lainnya agar datang mengapresiasi pertunjukan itu.
“Saya menyisihkan penghasilan untuk membiayai produksi komunitas yang tampil setiap bulan. Hingga di tahun 2016, Bakti Budaya Djarum Foundation menawarkan bantuan untuk FNJT 3. Kerja sama kami dengan Djarum berjalan hingga hari ini,” kenangnya.
Ia tidak pernah berharap akan dibantu oleh pemerintah. Menurutnya, kritik terbaik adalah memberi contoh atau keteladanan. Tak terasa, sudah 12 tahun festival ini berjalan. Tak terhitung, sudah ada ratusan komunitas yang pernah tampil dan diapresiasi di panggung FNJT 3.
“Kerjakan saja semaksimal mungkin. Jika hasilnya bagus, support pasti akan datang dari pihak yang sepakat dengan spirit kita. Kerja ini juga untuk mendorong pemerintah kabupaten kota agar melakukan hal serupa,” jelas Ery Mefri.
Pada FNTJ 3, proses kurasi dikerjakan sendiri oleh Ery Mefri bersama istrinya Angga Djamar atau Angga Mefri. Baginya, penilaian penting dari kurasi adalah proses. Ia dan Angga mengamati setiap komunitas yang berproses untuk mengembangkan seni tradisi.
“Bagi kami, proses adalah hal yang terpenting. Seorang Ery Mefri hari ini lahir dari berproses. Saya berangkat dari nol. Proses panjang melahirkan Ery Mefri yang seperti hari ini. Karena itu, panggung ini adalah apresiasi atas proses yang dilakukan para komunitas seni,” tambahnya.
Ery Mefri tidak terlalu peduli pada karya bagus atau tidak. Ia percaya pada proses. Sebuah karya bagus berangkat dari evaluasi dan penyempurnaan dari karya-karya sebelumnya. Pada tahun pertama, ia mengundang komunitas seni tradisi. Pada tahun berikutnya, ia juga mengundang seniman muda yang menampilkan karya kontemporer yang berangkat dari tradisi. Tidak hanya tari, tapi juga musik dan teater.
Secara perlahan, ia mulai melengkapi properti panggung yang ada di Gedung Manti menuik. Salah satunya lighting yang merupakan support dari Bakti Budaya Djarum Foundation.
Tak terasa sudah 12 tahun festival ini terlaksana tiap bulan di tanggal 3. Tentu ini kerja panjang yang membutuhkan kesabaran.
“Harapan saya dari gelaran ini bisa menginspirasi kelompok muda untuk konsisten berkarya. Jika bukan dimulai dari generasi pendahulu yang memperkenalkan, siapa lagi?” tutupnya. SSC