Deddy Corbuzier lakukan dan kekerasan verbal kepada bocah. Foto CNNIndonesia
OLEH Akmal Nasery Basral (Sastrawan)
1/
Sepotong pagi pada satu akhir pekan Oktober 1998. Langit biru lazuardi memayungi pelataran luar ruang makan Hotel Regent Jakarta di kawasan Kuningan. Angin berembus nyaman menemani saya dan istri yang sedang sarapan.
Sehari sebelumnya di kantor majalah Gatra yang berlokasi di Wisma Kosgoro, Jl. M.H. Thamrin, atasan saya dan redaktur ekonomi Gatot Triyanto (belakangan Pemimpin Redaksi Trans TV era Direktur Utama Ishadi SK), menginformasikan ada undangan menginap di Regent untuk sejumlah awak media. “Kamu saja yang menginap, Mal. Ajak istrimu. Kalian belum lama menikah, masih pengantin baru,” katanya. Tentu saja tawaran itu saya terima dengan sukacita. Kapan lagi seorang reporter bisa menginap di hotel bintang lima tanpa privilese seperti ini? (Terima kasih, Mas Gatot!)
Saya lihat meja lainnya berisi para jurnalis dari beragam media cetak, radio, dan televisi. Ada yang menginap sendiri, ada yang bersama istri atau suami mereka. Suasana sarapan semakin atraktif karena penampilan seorang pesulap close-up magic dari meja ke meja, sebelum datang ke meja kami.
Tubuhnya tonjang, lebih dari 180 cm. Rambut gondrong sepundak, terawat baik. Struktur wajahnya tipikal lelaki oriental. Saya perkirakan umurnya baru awal 20-an. Secara umum, penampilannya lebih mirip rockstar ketimbang pesulap yang biasa tampil di layar televisi Indonesia era 90-an.
Dia bertanya apakah boleh menunjukkan beberapa trik sulap dengan kartu di tangannya? Saya dan istri tak menolak. Penampilannya memukau kendati tak lama. Pendekatannya juga komunikatif. Sebelum dia pindah meja, saya tanyakan namanya. “Saya Deddy Corbuzier,” jawabnya.
Kami terlibat percakapan singkat. Ternyata dia masih kuliah, mahasiswa psikologi Universitas Atmajaya. Pada akhir pekan punya jadwal tampil menghibur tamu hotel dengan kemampuan sulapnya. “Honornya lumayan buat uang kuliah. Have a nice day!” katanya dengan senyum rekah sebelum pindah ke meja berikutnya. And the rest is history.
Kini, siapa yang tak kenal Deddy Corbuzier (meski nama aslinya Deddy Cahyadi Sunjoyo tetap hanya diketahui segelintir orang)? Jika periode tampil menghibur tamu hotel diibaratkan “masa kecil” Deddy, sekarang dia—meminjam nama restoran Minang miliknya yang baru dibuka pertengahan bulan ini di Pollux Mall, Cikarang—sudah “gadang barubah”. Besar (dan) berubah--baik dari lesatan karier, ledakan kekayaan, maupun bungkal otot tubuh yang terbentuk seperti Hulk.
Deddy punya semuanya, termasuk rasa percaya diri tingkat dewa seperti tertulis pada akun IG miliknya: “You know who I am”.
2/
Namun akhir pekan ini Deddy memantik kontroversi. Sang “you-know-who-I-am” marah-marah mengomentari celetukan seorang anak penerima MBG (makan bergizi gratis) yang bilang rasa ayam MBG kurang enak. Deddy sendiri yang merilis video yang menyemburkan amarah dan kini viral itu.
Master psikologi dari University of London, Inggris, tersebut mengecam sikap anak penerima MBG dengan menyebut, “Pala lu pe’a, kurang enak ayamnya!” semburnya menderu-deru. Pe’a dalam obrolan etnis Betawi memiliki arti “goblok”, “bodoh”.
Lalu dia bandingkan dengan sikap anak kandungnya Azka yang sejak kecil biasa makan nasi kotak di tempat syuting. “Kalau Azka menolak dan bilang nggak enak, gue tabok,” ujar Deddy yang telanjang dada di dalam video. “Gue tabok!” ulangnya lagi.
Masih ada rentetan kalimat lain membanggakan sikap Azka yang tak pernah menolak nasi kotak. Video itu ditutup Deddy dengan kalimat sarkas, “Sekaya apa ente? Gila!”
Deddy tampaknya sedang lupa ungkapan klasik ‘siapa menabur angin akan menuai badai’. Dokter kondang yang juga anggota Dewan Kehormatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban, pun mencuit tegas. “Bijaklah dalam berucap, apalagi pada anak. Jika dia berpendapat tentang rasa makanan, ya jangan dimaki. Dia tak meminta itu untuk dirinya sendiri, hanya menyampaikan apa yang dia rasakan. Yakinlah, masyarakat itu terbiasa mandiri, terbiasa cari jalan keluar sendiri, dan terbiasa bergotong royong. Jadi, Anda tidak perlu risau dan marah-marah.” (17 Januari 2025, 10:36 PM). Kendati Prof. Zubairi tak menyebut nama tertentu, namun publik mafhum kepada siapa cuitan ditujukan.
Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, ikut menanggapi kemarahan Deddy. “Sayang, para pendengung yang justru mereduksi program ini. Terlebih mengintimidasi anak anak yang berkeluh kesah. Menghardik dengan kesombongan dan arogansi yang tidak bermutu. Jangan lupa bung, program ini dibiayai APBN yang sumbernya dari uang pajak. Anda, jangan merendahkan, orang tua anak-anak itu pun berkontribusi membayar pajak. Jadi ini timbal balik. Anak-anak polos itu berhak bicara otentik," jelas Yustinus dalam Instagram pribadinya @prastowoyustinus, Minggu (19/1).
Komisioner KPAI Diyah Puspitorini ikut buka suara. “KPAI tetap meminta pengawasan dan harus ada evaluasi secara berkala, jadi kendala-kendala tentang MBG ini bisa segera diatasi," kata Diyah lewat pesan singkat, Minggu (19/1), kepada CNN Indonesia.
Tiga contoh tanggapan mencukupi sebagai ilustrasi reaksi balik publik. Sebab, komentar warganet di media sosial banyak yang lebih brutal dan vulgar kepada Deddy untuk ditampilkan di sini.
3/
Sejatinya ini bukan hanya soal “makanan gratis” atau “rasa ayam kurang enak” per se yang jadi masalah. Saya melihat esensinya lebih dalam lagi, pembelaan total Deddy atas kebijakan Presiden Prabowo Subianto. Masih segar dalam ingatan publik ketika pada Desember 2022, Prabowo Subianto yang saat itu Menteri Pertahanan memberikan gelar Letnan Kolonel Tituler TNI kepada “you-know-who-I-am”.
Pada hari pelantikan Prabowo sebagai Presiden RI, Oktober silam, Deddy dan keluarga pun berada dalam Ring 1. Juga pada malam tahun baru lalu ketika tengah malam jelang pergantian tahun Presiden Prabowo datang ke Bundaran HI untuk menyapa warga, Deddy pun berada dalam Ring 1 di dekat Presiden. Deddy sendiri yang memosting “behind the scene” itu melalui akun instagramnya. Sampai tahap ini, sebetulnya hal yang normal saja.
Namun, konteks jadi bergeser jauh ketika Deddy berubah menjadi ‘super sensi’ atas komentar masyarakat terhadap MBG, hatta yang datang dari mulut anak-anak. Dan apa relevansinya pula Deddy sampai membawa-bawa soal kekayaan? Seakan-akan untuk program pemerintah hanya boleh satu kata yang diucapkan masyarakat: terima kasih. Ini yang menjadi basis kritik Yustinus Prastowo bahwa Deddy Corbuzier telah melakukan kekerasan verbal terhadap anak-anak.
Barangkali, Deddy dalam kapasitas seorang ayah bagi Azka, bermaksud baik. Dia ingin anak-anak Indonesia, terutama yang menjadi penerima langsung MBG, bersyukur atas semua nikmat yang masuk ke dalam mulut mereka seperti apapun rasanya. Tetapi jelas, cara Deddy yang marah-marah menenggelamkan niatnya untuk mengajari anak-anak bersyukur. Yang sampai ke publik adalah sikap arogansi Deddy yang kini sudah menjadi miliuner.
Dan yang paling disayangkan dari itu semua, Deddy punya basis pengetahuan dan pendidikan psikologi yang sangat memadai untuk bisa menyampaikan pendapatnya dengan lebih bermartabat dan mendidik, bukan yang membuat darah publik mendidih naik.
Saya sebagai seorang yang berusia lebih tua dari Deddy, dan juga punya anak-anak lebih tua dari Azka, hanya bisa berpesan, “Ded, kembalilah bersikap seperti saat masa mudamu di periode Regent dulu.” Ramah, komunikatif, menebar senyum, bahkan terhadap orang yang tidak kau kenal.
Jangan berubah karena dirimu sekarang sangat dekat dengan orang nomor satu di Indonesia. Belum tentu Presiden Prabowo pun senang dengan gaya marah-marahmu itu, Ded. Program MBG baru dua pekan berjalan, menjangkau sekitar 600.000 siswa dari target 82,9 juta warga yang menjadi tujuan akhir. Perjalanan masih panjang. Sangat panjang.
Jika dari 600.000 anak ada 1-2 anak yang mengeluh rasa ayam tidak enak, bukankah itu sangat normal secara statistik? Jika tak percaya, tanyakanlah bahkan kepada para pengelola katering profesional apakah mereka selalu menerima pujian dari pelanggan dan tak pernah menerima keluhan?
Ah, saya lupa. Anda pun punya beberapa bisnis kuliner dari ramyeon Korea, café mentereng, sampai restoran Minang, bukan? Jangan sampai menjadi “gadang barubah” dengan status kebintangan Anda sebagai “you-know-who-I-am”, Ded.
Atau hukum alam akan bekerja dengan caranya sendiri: siapa yang memaki saat melewati lembah, maka gaung makian itu akan kembali mengepung gendang telinganya sendiri--bertubi-tubi.
19 Januari 2025
Penulis adalah sosiolog, novelis, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional