Atmakusumah Astraatmadja (20 Oktober 1938-2 Januari 2025)
OLEH A.S. Laksana (Sastrawan)
SAYA hanya satu kali bertemu dengannya, pada 1999, ketika ia datang ke kantor tabloid DeTAK di kompleks stadion Lebak Bulus untuk memenuhi undangan diskusi internal dengan tim redaksi. Atmakusumah Astraatmadja seperti air yang mengalir tenang. Ia menyimak sungguh-sungguh ketika orang lain bicara, dan, di kantor kami sore itu, ia bicara dalam suara lembut tentang pengalamannya dengan ‘Indonesia Raya’, tentang kerapuhan pers di Indonesia, dan tentang rasa hormat dan kekagumannya terhadap Mochtar Lubis, pemimpin redaksinya.
“Dia akan marah besar ketika kami keliru dalam pemberitaan,” katanya. “Saya beberapa kali kena marah karena saya redaktur pelaksana. Namun, saat berhadapan dengan pihak luar, dia akan membela anak buahnya, mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan yang kami buat, dan mengakui kesalahan itu sebagai kesalahannya. Dia pemimpin yang selalu membuat kami merasa terlindungi dalam mengerjakan urusan kami.”
Atma memulai perjalanannya di dunia jurnalistik pada 1958, saat usianya 19, tak lama setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Ia bergabung dengan edisi Minggu ‘Indonesia Raya’ dan, dalam hitungan bulan, ia sudah harus menghadapi kenyataan pahit pemberangusan terhadap institusi pers oleh negara.
Pada 1958, Mochtar Lubis sudah hampir dua tahun mendekam di bui dan Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) menganugerahi pemimpin redaksi ‘Indonesia Raya’ itu Magsaysay Award atas kegigihan jurnalistiknya dalam melawan korupsi oleh pemerintah, pelanggaran hak asasi oleh militer, dan masuknya totalitarianisme di negaranya.
Itu kali pertama RMAF memberikan anugerah dan memulai tradisi penghargaan tahunannya. Atmakusumah menulis laporan bersambung tentang penghargaan tersebut dan tentang lima penerima anugerah di tahun pertama itu, dan polisi militer mendatangi kantor redaksi ‘Indonesia Raya’, dan sebulan kemudian korannya dibredel—pengalaman pertama bagi Atma tentang betapa rapuhnya pers Indonesia dan keenam bagi ‘Indonesia Raya’ selama era Bung Karno, sepanjang kurun waktu antara 1949 dan 1958. Atma dan beberapa wartawan ‘Indonesia Raya’ masuk dalam daftar hitam.
Karena tidak mungkin menjadi wartawan di Indonesia, ia ke Australia untuk menjadi penyiar radio Australia, dan kemudian ke Jerman untuk menjadi penyiar Deutsche Welle, dan kembali ke Indonesia pada 1965. Mochtar Lubis dibebaskan pada 1966, setelah sembilan tahun dipenjarakan, dan ‘Indonesia Raya’ mendapatkan izin terbit lagi pada 1968. Atmakusumah bergabung dan dipercaya sebagai redaktur pelaksana dan koran itu diberangus lagi—kali ini untuk selamanya—oleh pemerintahan Soeharto pada Januari 1974, karena pemberitaan yang sensitif tentang peristiwa Malari. Ia kembali masuk daftar hitam, dan lagi-lagi tidak bisa menjadi wartawan.
*
Setelah pembredelan yang menyebabkan ‘Indonesia Raya’ mati selamanya, Atmakusumah bekerja delapan belas tahun (1974-1992) di United States Information Services (USIS). Pada 1992, ia bergabung ke Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), sebuah lembaga pelatihan pascasarjana untuk jurnalis, dan ditunjuk sebagai direktur eksekutifnya sejak 1994—sebuah peran baru, di waktu yang tepat, untuk orang yang tepat.
Ia menakhodai lembaga ini melewati masa-masa akhir kekuasaan Soeharto dan menjadi juru bicara terkemuka dalam menyerukan pembelaan atas kebebasan pers. Kepada para peserta pelatihan di LPDS, ia selalu mendorong agar mereka mau menyelidiki, menilai, dan menganalisis dunia sekitar secara gigih dan agresif, dan meyakinkan mereka bahwa suatu saat mereka akan dapat mempraktikkan keterampilan ini.
Hal yang paling ia khawatirkan tentang pers Indonesia adalah kehati-hatian dan sensor-diri yang berlebihan, hal yang tidak pernah terjadi di ‘Indonesia Raya’. Bertahun-tahun dibayangi kekuasaan represif rezim Soeharto, pers kita harus bersiasat untuk mempertahankan hidup, mengelak dari urusan-urusan yang berisiko, dan lebih suka memilih cara-cara aman. Bagi Atma, praktik dan kebiasaan ini akan menimbulkan masalah besar ketika pers pada saatnya betul-betul mendapatkan kebebasan.
Dan yang ia khawatirkan betul-betul terjadi. Institusi pers kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk perubahan besar yang terjadi setelah kejatuhan Soeharto pada 1998. Kebiasaan untuk berhati-hati membuat pers kita kehilangan kemampuan dan kegigihan untuk melakukan kerja investigatif dan penulisan laporan yang mendalam.
*
Namun, siap atau tidak pers kita, momentum untuk merebut kebebasan harus dimanfaatkan. Setelah Mei 1998, ketika pemerintahan baru melepaskan berbagai cengkeraman yang begitu mencekik di era Soeharto, Atmakusumah bekerja keras di balik layar untuk memastikan bahwa rancangan undang-undang media bersih dari jejak regulasi pemerintah. Dan hasilnya adalah pencapaian besar.
Pada September 1999, sebuah undang-undang disahkan, isinya melucuti wewenang pemerintah untuk melarang, menyensor, menahan informasi yang relevan, dan memberikan lisensi pada pers. Undang-undang itu juga mengamanatkan pembentukan Dewan Pers Nasional yang sepenuhnya independen. Atmakusumah, salah satu arsitek dewan tersebut, pada Mei 2000 terpilih sebagai ketua pertama.
Pers kita menyambut berkah kebebasan dengan memperlihatkan gejala yang dikhawatirkan oleh Atma, ialah dengan menghamburkan berbagai jenis publikasi di ruang demokrasi yang baru kita nikmati. Banyak di antaranya sangat vulgar, dangkal, dan sensasional—sebuah gejala yang bahkan membuat resah kalangan jurnalis sendiri.
Terhadap situasi yang suram ini, Atmakusumah tidak pernah goyah. Apakah kebebasan pers yang tanpa batas ini hal yang baik? Dan jawaban darinya selalu tegas: “Ya.”
Ia tidak mengelak bahwa di sana-sini terjadi kesemrawutan, atau bahkan penyimpangan, tetapi ia tetap teguh dalam membela kebebasan pers dan hak reporter untuk melakukan penggalian secara agresif. Penyalahgunaan profesi, katanya, adalah tugas profesi itu sendiri untuk membereskannya, dan bukan wewenang pemerintah. Itu sebabnya ia rajin mendorong rekan-rekannya untuk tunduk pada disiplin profesi dan mematuhi kode etik secara ketat. Dan ia membantu mereka menyusun kode etik tersebut, yang kini menjadi pedoman bagi Dewan Pers.
Kode etik adalah kompas moral, katanya. “Tanpa itu, pers akan seperti kapal yang kehilangan mercusuar dalam kabut tebal.”
Ia mencintai jurnalisme, dan di usia dini kariernya sebagai wartawan, ia telah merasakan pahitnya pers yang rapuh di hadapan kekuasaan. Maka, menghabiskan tahun-tahun yang panjang untuk mempersiapkan pers bebas adalah salah satu ikhtiar yang paling membuatnya bangga. Ia menemui mereka dan berbagi gagasan dengan mereka: kelompok jurnalis yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, mahasiswa, dan pendukung hak asasi manusia di berbagai tempat di seluruh negeri.
“Kepedulian mereka yang mendalam terhadap kebebasan dan demokrasi mendorong saya untuk bepergian—sering kali ditemani istri atau anak-anak saya—ke sekitar 30 kota dan daerah selama 30 tahun terakhir untuk mendiskusikan bersama mereka, dalam pertemuan terbuka maupun tertutup, makna kebebasan pers dalam masyarakat demokratis,” katanya dalam pidato penerimaan Hadiah Magsaysay, tahun 2000, di Manila.
Ia menerima anugerah tersebut untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif, sama dengan yang diterima oleh Mochtar Lubis, pemimpin redaksi yang ia kagumi. Ramon Magsaysay Award Foundation memilih Atma untuk menghormati perannya yang sangat penting dalam membangun fondasi institusional dan profesional bagi era baru kebebasan pers di Indonesia.
Atmakusumah Astraatmadja lahir di Labuan, Banten, 20 Oktober 1938, dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 2025, pada usia 86. *