Sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi demo di depan gedung DPR menolak pengesahan RUU kepala daerah dipilih DPRD pada 2014. Foto Merdeka
Laporan Sarah Azmi (Jurnalis)
Padang, sumbarsatu.com—Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan langsung oleh rakyat terhadap kepala daerah atau pilkada langsung yang sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004 itu dinilai tidak efektif dan boros anggaran.
Hal itu disampaikannya dalam pidato HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Wacana yang berbau Orde Baru itu ditanggapi beragam pro-kontra. sumbarsatu merangkum tanggapan berbagai kalangan.
Menurut Feri Amsari pakar Hukum Tata Negara, , yang juga dosen di Unand, pada prinsipnya seperti yang diatur Undang-Undang Dasar 1945, bukan sekadar UU biasa. UUD kita memang menggunakan bahasa yang cukup general, kepala daerah, gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara demokratis.
“Lalu kenapa kemudian pemilihan frasanya adalah demokratis karena berkaitan dengan pembahasan ketentuan pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa terdapat daerah-daerah yang memiliki proses pemilihan yang khusus, yaitu pemilihan di Yogjakarta, Jakarta, Papua, dan Aceh. Nah, ini yang menyebabkan pemaknaannnya digunakan kata demokratis untuk menghormati metode pemilihan kepala daerah berdasarkan prinsip otonomi khusus yang mereka pakai. Sementara para pembentuk UUD, dan pembentuk UUD Perubahan kita menghendaki yang lain dari yang khusus itu sama yaitu dipilih secara langsung,” kata Feri Amsari kepada sumbarsatu.
Inilah yang kemudian, jelasnya, menjadi dasar gagasan pemilihan kepala daerah asimetris di Indonesia, tidak dapat dimaknai hal yang umum dipilih secara langsung itu ganti dalam konsep metode pemilihan melalui DPRD, karena satu sisi itu tidak sesuai dengan semangat reformasi konstitusi yang bicara soal otonomi daerah yang seluas-luasanya.
“Jadi, apa yang digambarkan secara prinsip konstitusional salah oleh Pak Prabowo. Kedua, contohnya juga salah, misalnya, pengunaan contoh Malaysia, Singapura dan India. Ketiga negara itu memiliki sistem pemerintahan yang berbeda. Satu misalnya Malaysia, ia parlementer. Maksud dari parlementer itu adalah memang proses pemilihan umumnya satu untuk memilih parlementer, anggota parlemen. Anggota parlemen yang mayoritas akan otomatis menjadi eksekutif terpilih maka disebut parlementer. Sementara dalam sistem presidensil dia merupakan cabang kekuasaan yang terpisah. Oleh karena itu, sistem presidensial memiliki dua pemilu yang berbeda terhadap eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu Pak Presiden Prabowo salah tempat dan salah kaprah,” jelasnya.
Dijelaskannya lebih jauh, teori biaya mahal. Menurutnya, biaya mahal itu disebabkan peserta dan penyelenggara yang boros. Peserta misalnya, ia beli semua perahu partai politik sehingga orang lain tidak bisa mencalonkan. Maka timbullah calon tunggal yang maharnya mahal. “Penyelenggara mahal karena setiap sebentar mereka mengadakan rapat begitu ya di hotel-hotel mewah padahal sudah ada teknologi yang namanya Zoom begitu, ya,” sebut Feri Amsari.
Sementara itu, Ihsan Riswandi, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sumatera Barat menilai wacana Presiden Prabowo Subianto, pemilihan pilkada akan dilakukan melalui DPRD bukan jawaban atas persoalan yang terjadi saat ini. Wacana itu diharapkan solusi untuk mengatasi persoalan money politic dan besarnya biaya yang timbul dalam proses pemilihan secara langsusng.
“PBHI Sumbar melihat, wacana ini bentuk kemunduran dari sistem demokrasi yang sudah terbangun hingga saat sekarang,” kata Ihsan Riswandi.
Menurutnya, wacana Presiden Prabowo ini tidak sejalan dengan UUD dan UU tentang Pemilu serta UU Pilkada itu sendiri. Dalam regulasi tersebut jelas dikatakan "pemilihan langsung oleh rakyat" sejalan dengan prinsip dari pemilu dan pilkada tersebut dan tentu bukti bahwa kedaulatan itu berda ditangan rakyat.
Sekaitan dengan wacana itu, Ketua PDI Perjuangan Sumatera Barat, Alex Indra Lukman mengajak semua pihak mendudukan kembali defenisi otonomi daerah.
“Otonomi daerah kita, sebenarnya di tingkat kabupaten dan kota atau sejak dari level provinsi. Soal ketatanegaraan inilah yang mesti kita dudukan kembali agar perdebatan kita soal mahalnya pembiayaan pilkada jadi lebih fokus dan terarah,” ungkap Alex, seperti dilansir Antara.
Ditegaskan Alex, Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi kategori perintis, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak. Karena, telah dilaksanakan pada pemilihan gubernur yang digelar serentak dengan bupati dan wali kota pada tahun 2005 lalu.
Pada tahun 2005 itu, ungkap Alex, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumbar dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan 11 bupati dan wakil bupati serta 2 wali kota dan wakil wali kota. Di Sumatera Barat terdapat 12 kabupaten dan 7 kota.
“Sejak tahun 2005 itu hingga tahun 2024 sekarang ini, pemilihan kepala daerah di Sumatera Barat selalu digelar secara serentak antara kepala daerah di level provinsi dengan kabupaten dan kota. Secara teknis, ada terjadi penghematan. Seperti, biaya pemutakhiran data pemilih yang hanya dilakukan sekali,” ungkapnya.
Ia berharap wacana pilkada berbiaya mahal yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto tak melebar ke arah yang tak perlu, menteri terkait di Kabinet Merah Putih untuk segera mendudukan kembali defenisi otonomi daerah ini.
“Tapi, ide perbaikan sistem itu, jangan sampai jadi langkah mundur dalam pelaksanaan demokrasi. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat,” katanya.
Pilkada mulai dilaksanakan 2004. Sebelumnya, kepala daerah seperti gubernur dan bupati/wali kota dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Akibatnya kontrol pemerintah terhadap daerah sangat dominan.
Pasca reformasi tahun 1998, pada tahun 2004, Indonesia melakukan pemilihan presiden secara langsung. Pemihan langsung tersebut bahkan menghadirkan dinamika politik dengan menghadirkan ruang pemilu presiden dilaksanakn 2 putaran di mana pada putaran kedua Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mengalahkan Megawati, Hal yang sama juga diberlakukan pada pemilihan gubernur dan bupati/wali kota.
Menariknya, Presiden SBY yang diantarkan melalui sistem pemilu langsung menjadi presiden justru akhirnya ingin mengembalikan kepada sistem pemilhan tidak langsung, hanya saja pemilihan yang dimaksudkan berlaku pada pemilihan gubernur, bupati dan wali kota. Ide pemeritahan SBY disambut baik oleh parlemen dengan mengesahkan UU Pilkada pada Sidang Paripurna pada 26 September 2014.
UU tersebut setelah disahkan DPR dianulir Presiden SBY karena terjadinya aksi penolakan dan kecaman atas putusan lahirnya UU itu. Akhirnya, Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang membatalkan pilkada melalui DPRD. SBY menekan Perpu itu beberapa hari usai UU disahkan oleh DPR, tepatnya Kamis, 2 Oktober 2014.
Apakah wacana hari ini yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto akan menghadapi situasi sama?
Lantas mengapa Prabowo justru kembali menggulirkan wacana yang sebelumnya telah mendapatkan banyak penolakan? Kita tunggu.