Pidato Prabowo

Senin, 26/08/2024 21:06 WIB
saidiman

saidiman

OLEH Saidiman Ahmad (Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University)

Saya termasuk yang rada ngeri mendengar pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres ke-6 Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel Kempinski Jakarta Pusat, Sabtu malam, 24 Agustus 2024.

Alih-alih mengapresiasi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang sedang berlangsung di pelbagai kota di Indonesia, Prabowo malah bercerita tentang gerakan 1998. Dia menyebut gerakan 98 itu ditunggangi asing. Dia menyatakan bahwa saat itu Indonesia sudah mau tinggal landas, namun asing masuk intervensi dan memecah belah. Dia menyesalkan peristiwa 98.

Tak ada nada positif pada peristiwa 98 yang berhasil menjatuhkan rezim diktator Soeharto tersebut. Yang tersirat justru penyesalan mengapa itu terjadi.

Indonesia sekarang, menurut dia, sudah akan tinggal landas lagi. Kira-kira dia menganggap sekarang ini mirip 98. Sudah mau tinggal landas, namun mulai diganggu. Dia mewanti-wanti agar rakyat jangan mau diadu domba. Nadanya cenderung negatif melihat demonstrasi besar sekarang karena mau ngerecokin aja niat baik elit yang sekarang mau bersatu. Sama dengan gerakan rakyat 98, yang sekarang pun dicurigai.

Dia ingin semua elit bersama dan bersatu. Dia menggunakan analogi warga yang bersatu mau membangun jembatan. Tapi ada sebagian warga yang tidak mau ikut kontribusi. Secara tidak langsung, dia mengejek posisi PDI Perjuangan yang tidak mau bergabung dengan koalisi besar pendukungnya. PDI Perjuangan dianggap tidak mau berkontribusi membangun jembatan bersama.

Di pidato ini, dia berkali-kali menyatakan bahwa dirinya mendapatkan mandat rakyat. Rakyat banyak ada di belakangnya. Dalam ruang hampa, pernyataan itu tidak bermasalah. Namun ketika dikatakan di tengah aksi protes warga, dia seolah-olah sedang mengirim pesan bahwa suara dia adalah suara rakyat. Yang di luar adalah penyimpangan belaka. Yang sedang protes di jalan dan media sosial itu hanya suara minor dari warga yang tidak mau berkontribusi membangun jembatan tapi berisik.

Di awal pidato, dia juga menyinggung sejumlah podcast yang membahas dirinya. Dia menyatakan orang-orang yang membicarakan dirinya itu hanya omon-omon. Sementara dirinya bekerja nyata membantu masyarakat. Dia menanggapi kritik secara negatif. Tak ada apresiasi.

Di pidatonya ini, dia membahas tentang mimpi besar mengelola kekayaan sumber daya Indonesia secara maksimal untuk kemakmuran rakyat. Tak ada yang keliru dengan itu. Namun ketika dia tidak memberi apresiasi bahkan malah nyinyir pada kritik karena menganggap diri sedang berbuat baik itulah yang bermasalah.

Ketika kritik dianggap ngerecokin niat atau usaha baik itulah yang bermasalah. Seorang pemimpin menjadi diktator kadang bukan karena tidak punya niat baik, tapi karena jumawa seolah kebaikan hanya ada di pihak mereka.

"Hell is full of good intensions and wills", kata St. Bernard of Clairvaux. Para libertarian membahasakan ulang frase itu dengan "The road to hell is paved with good intentions." Acapkali jalan menuju neraka dibuat dengan intensi yang baik. Di mana-mana, diktator selalu punya klaim sedang berbuat baik. Semoga  Indonesia terbebas dari pemimpin seperti itu. *

Pondok Cabe, 25 Agustus 2024,



BACA JUGA