Laporan Angelique Maria Cuaca (sumbarsatu.com)
Padang, sumbarsatu.com—Komunitas Payung Sumatera tampil pada hari ke-2 Alek Teater VIII Sumbar 2024, Sabtu 2 November 2024. Kegiatan yang bertema “Merespons Ruang Bebas” diselenggarakan di lantai 4 ruang serba guna-Gedung Kebudayaan Sumatera Barat.
Malam itu cukup ramai dibanding hari sebelumnya. Ada sekitar 200-an penonton yang hadir. Karena bangku yang disediakan terbatas, tidak sedikit dari mereka duduk di lantai. Sebagiannya memilih berdiri.
Jarak penonton dengan penampil sangat dekat sekali. Tanpa panggung, lighting dan sound disediakan seadanya. Jika tolak ukurnya adalah ruang pertunjukan, maka ruang ini masih jauh dari kata representatif. Namun keterbatasan itu tidak mengurangi semangat dari penonton maupun tim yang tampil pada alek teater ini.
Komunitas Payung Sumatera mendapat urutan tampil ke-3, setelah Teater Salapan Padang dan Teater Asa Padangpanjang. Mereka menampilkan karya teater yang berjudul ‘The Mighty Malin Kundang’.
Fabio Yuda, sutradara sekaligus pendiri dari komunitas ini menyebutkan bahwa ‘The Mighty Malin Kundang’ merupakan sebuah napak tilas dari Malin Kundang, cerita rakyat dari Minangkabau. Kisah klasik di mana Malin digambarkan sebagai anak yang durhaka kepada ibunya dan dikutuk menjadi batu.
“Jika dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), durhaka tidak hanya berarti anak yang melawan kepada orangtua. Maknanya bisa lebih luas tak hanya di ranah personal, tapi juga sosial sehari-hari. Saya coba merefleksikan pada era modern hari ini, ” ujar Fabio, Sabtu, 2 November 2024.
Fabio berpendapat durhaka bisa juga dilihat dari aspek lingkungan atau budaya. Sebagai contoh jika kita merusak lingkungan atau melupakan bahasa tradisi sebagai bahasa sehari-hari. Artinya, sifat ke-malin kundang-an itu hidup dan membatu di dalam diri setiap orang dari dulu hingga kini. Bisa jadi juga kedurhakaan kita jauh lebih besar dari cerita si Malin Kundang itu sendiri.
Pertunjukan berlangsung sekitar 40 menit dengan 5 performer. Kelimanya menggunakan sarawa galembong, celana khas lelaki Minangkabau. 4 orang menggunakan baju hitam tanpa lengan dan 1 orang lagi tidak. Saat penampilan, ada adegan para performer merobek baju.
“Merobek baju simbol dari filosofi Minang yaitu mancabiak baju di dado, artinya mempermalukan diri sendiri. Sifat durhaka itu, sadar atau tidak pada akhirnya hanya akan membuat malu ,” jelas Fabio.
Keempat orang performer membawa cermin yang terbuat dari papan berukuran 0,5 x 1 meter yang ditempeli kertas kilat. Mereka berputar mengelilingi arena pertunjukan sembari mengunjuk cermin ke arah penonton. Seolah mengajak penonton untuk masuk dalam ruang kontemplasi bersama.
Mereka menunjukkan ekspresi keras dan kaku seperti membatu. Gesture ini menunjukkan kekerasan hati. Lalu dipadukan dengan dialog yang minim dan senandung nyanyian.
Venny Rosalina, koreografer dari komunitas Payung Sumatera menyebutkan gerak contraction dan release yang muncul menandakan pertarungan dan tekanan emosi. Gerak yang penuh resistensi. Konflik internal dan ketegangan antara tubuh, pikiran serta hati.
“Koreografi yang menghubungkan berbagai elemen untuk kesatuan gerak bisa membangun suasana yang mendalam, merefleksikan kedurhakaan pada diri dan lingkungan dalam bentuk tubuh yang terjebak dalam rantau pikiran. Tubuh yang menetap tetapi pikirannya yang berkelana ke mana-mana,” ujar Venny.
Lanjutnya, gerakan yang menggulung atau melingkar saat “awan gelap datang” menandakan penutupan atau penghindaran - sebuah respons defensif terhadap tantangan atau realitas.
“ Koreografi ini diperkaya dengan elemen tempo musik yang kontras, antara cepat dan lambat, untuk menciptakan suasana berkecamuk. Seperti lautan dengan petir yang tidak pernah padam, penuh intensitas tanpa henti,” ujar perempuan yang juga merupakan dosen UNP ini.
The Mighty Malin Kundang merupakan karya berkelanjutan, embrionya sejak tahun 2018. Komunitas Payung Sumatera ini telah memproduksi beberapa karya yang berhubungan dengan tema Malin Kundang, sebelumnya juga sudah dibuat dalam bentuk karya randai kreasi.
Komunitas Payung Sumatera sendiri merupakan komunitas seni yang berdiri tahun 2016. Bermula dari keresahan Fabio Yuda (Teater), Venny Rosalina (Tari), dan Robby Ferdian (Musik) yang melihat makin menurunnya jumlah peminat teater dari tahun ke tahun. Karena itu, mereka berupaya menumbuhkan kembali ekologi teater melalui gelaran seni di komunitas. Kini keanggotaan mereka berjumlah puluhan orang, berasal dari ragam latar belakang baik mahasiswa, guru, maupun pekerja formal lainnya.
Hingga kini, Komunitas Payung Sumatera telah meraih berbagai prestasi diantaranya Distorsi Randai Malin Kundang 2017-2019: Juara 1 Festival Randai Kreasi se Sumatera Barat, 20 besar finalis komunitas hasil kurasi Galeri Indonesia Kaya, dan 5 terbaik dalam Alek Teater Sumatera Barat (2022-2023).
Selain itu, kelompok ini juga tampil di berbagai perhelatan budaya diantaranya: Langgam Tari Internasional (2016), Festival Karawang Jawa Barat (2018), Pekan Nan Tumpah (2019), Opening Ceremony MTQ XL tingkat Nasional Provinsi Sumatera Barat (2023), dan lainnya.