Surat Terbuka Nirwan Dewanto

Sabtu, 25/05/2024 19:40 WIB
Nirwan Dewanto

Nirwan Dewanto

 

Jakarta, 23 Mei 2024

Yang terhormat

Saudara-Saudari Para Kurator/Penyusun “Buku” Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) di tempat kerja masing-masing, (dengan tembusan ke Pelindung, Pengarah, dan  Penanggungjawab, serta Tim Penyusun dan Editor di Pusat  Perbukuan)

 

Salam hangat,

Saya tulis surat ini kepada Anda sekalian, para kurator “buku” (saya gunakan tanda kutip, sebab si file PDF yang telanjur beredar, yang juga sampai ke tangan saya, sama sekali tidak memenuhi standar perbukuan yang mana pun) tersebut di  atas. Sebab nama-nama Anda memang disebut di halaman II sebagai “Penyusun: Tim Kurator Buku Sastra” pada terbitan  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi itu. 

Saya tulis surat ini untuk melanjutkan pesan saya kemarin yang  saya sampaikan lewat WA (untuk meminta “penjelasan” kepada sejumlah kurator yang saya kenal baik, kenapa ada  begitu banyak kekeliruan dan disinformasi di dalamnya) untuk  menyampaikan sikap saya seterang-terangnya, yang bukan  hanya menyangkut pelibatan buku saya, Jantung Lebah Ratu, ke dalam daftar susunan Anda, tetapi juga sikap saya  seutuhnya terhadap proyek “buku” yang berinduk kepada  program “Sastra Masuk Kurikulum” itu.

Mohon maaf pula,  bahwa surat ini bersifat terbuka, bukan rahasia. Buat saya, jika  ada diskusi di ruang publik tentang proyek sepenting itu, maka  kemungkinan untuk mencapai segala apa yang lebih baik akan  terselenggara.

Jawaban Anda terhadap keberatan saya atas berbagai kelemahan,  yaitu kelemahan mendasar, “buku” itu sungguh tidak masuk-akal. Bila saya ringkaskan, maka jawaban Anda  sekalian adalah kurang-lebih, (maaf, saya parafrasekan saja),  “Kami tidak terlibat dalam penyusunan buku itu, kami hanya  memilih buku-buku dan menulis sedikit ulasan (keterangan)  tentangnya.” Ini adalah sikap yang sangat tidak bertanggung jawab. Semua yang terlibat dalam proyek “buku” itu, bukan  hanya para kurator, tetapi juga Pelindung, Pengarah, dan  Penanggung Jawab, termasuk tim penulis dan editor (yang  berlindung secara nir-nama di balik selubung Tim Penyusun  Pusat Perbukuan) harus mengambil tanggung jawab dan risiko. Tetapi di sini saya percaya bahwa hanya Anda sekalian, para  kurator, yang sungguh-sungguh berkompeten dalam soal kesastraan dan perbukuan (sebagaimana sudah terbukti dalam kiprah Anda selama ini), sedangkan pihak-pihak lain (yang  daftar namanya juga tercantum di halaman II) saya anggap  barisan “pemerintah” belaka, pihak yang hanya bisa memberi  perintah dan menjalankan perintah. Dan ini adalah contoh  kepemerintahan yang buruk-seburuknya.

“Buku” di atas jelas tidak memenuhi standar perbukuan  yang mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk,  bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya. Saya katakan  satu hal saja, sebagai contoh: “buku” itu menyebarkan disinformasi, jika bukan kebohongan; mengandung bukan  hanya kesalahan-keteledoran, tetapi kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok. Susah dipercaya, bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan. Sungguh cara kerja yang berbanding terbalik  dengan prinsip merdeka mengajar dan merdeka belajar. (Saya  tak akan merinci semua kekeliruan; saya harap Anda sekalian,  para kurator, sendirilah yang mencari segala apa cacat yang  selebihnya, yang bertaburan di sekujur “buku”. Beberapa  contoh sudah saya sampaikan lewat pesan WA tersebut di  atas).

Saya ingin mengingatkan bahwa dalam kerja kekuratoran, dan untuk ini contoh yang terbaik adalah perihal seni rupa, berlaku dua prinsip.

Prinsip pertama, jika si pameran buruk (yaitu buruk-rupa, buruk-isi, buruk-konsep, buruk-penampilan, dan seterusnya), maka yang akan kita tuding ialah si kurator (bersama, jika ada, si direktur artistik). Tetapi dalam “buku” yang sedang kita persoalkan, para kurator dengan nyaman mencuci tangan, dan menganggap “buku” itu, dalam bentuk akhirnya, adalah kerjaan pihak lain (sebagian besar narasi dibuat oleh para  guru, demikianlah jika saya percaya kepada keterangan  sejumlah kurator; atau sesiapa yang berlindung secara nir-nama di balik lindungan Tim Penyusun Pusat Perbukuan). Jika  demikian halnya, Anda harus menampik predikat kurator yang  diembankan ke pundak Anda.

Prinsip kedua, dalam sebuah pameran seni rupa, si kurator (bisa satu atau lebih, bisa juga tim) tidak boleh memamerkan karya-karya sendiri. Tetapi, dalam “buku” yang  kita persoalkan ini, buku-buku atau karya-karya para kurator ikut mengisi daftar, terang-terangan. Termasuk sesiapa yang  selama ini kerap menyerang establishment dan “kanonisasi”  sastra Indonesia, termasuk sesiapa yang rajin mengecam para  gate-keepers. Oh, rupanya para resenter ini menginginkan tempat dalam sejarah sastra Indonesia, sejarah yang kini mereka karang-karang sendiri melalui proyek “buku” ini (maka “perlawanan” mereka selama ini ternyata hanya akal-akalan saja). Saya anggap ini pemelesetan wewenang, jika bukan tindakan yang tanpa malu. Maka, misalnya, terhadap mereka  yang mengecam hasil kerja Anda, pilihan Anda, daftar Anda, sebagaimana terjadi di banyak kanal media sosial belakangan  ini—Anda tidak punya dasar moral untuk mempertahankan diri, untuk mempertanggungjawabkan pilihan Anda. Mohon maaf.

Dan segera saya katakan bahwa buku saya yang sudah Anda pilih, Jantung Lebah Ratu, sebaiknya tidak dianggap buku sastra; buku saya harus segera lenyap dari “kanonisasi” yang Anda buat; saya sungguh tidak termasuk sastrawan, apalagi sastrawan yang “baik dan benar”. Lagipula, buku puisi saya itu  memang lebih baik dianggap tak layak untuk para siswa sekolah menengah, juga berdasarkan Catatan Penafian di halaman 417-418.

Apakah Anda berani menarik keluar buku-buku Anda sendiri dari tiga daftar (masing-masing untuk sekolah dasar, sekolah menegah pertama, dan sekolah menengah atas) itu, dan melibatkan orang lain yang lebih netral-merdeka dan berkompeten untuk memilih atau tidak memilih buku-buku Anda? Kenapa Anda sendiri yang memutuskan bahwa buku buku Anda penting bagi persekolahan dan pendidikan? Jawabannya berada di luar jangkauan saya yang dhaif ini.

Tetapi di sini saya juga mau menyampaikan pendapat saya  yang lebih mendasar. Begini. Tidak ada yang baru dalam hal “Sastra Masuk Kurikulum” ini, yang bagi saya hanya melanjutkan program “pengajaran sastra” yang sudah ada sebelumnya, hanya saja sekarang dengan “karya-karya  mutakhir” pilihan Anda, pilihan yang belum teruji sebagai bahan pedagogi. Artinya, program ini akan meneruskan kesalahan yang sudah-sudah, apalagi dengan “buku” panduan yang mutunya buruk sekali. Supaya perihal jadi lebih gamblang, saya sampaikan pandangan saya dalam butir-butir berikut ini:

Pertama, tentu saja “pelajaran sastra” itu penting, tetapi hanya jika “sastra” itu menjadi kata kerja, bukan kata benda.  Arti “sastra” yang paling fundamental ialah “wacana” (begitulah, sesuai dengan asal-katanya yang Sanskrit itu). Maka bersastra, bagi para murid, sepantasnya ialah upaya mengungkapkan diri secara lisan dan tulisan, berpikir sebagai manusia merdeka. Jalannya banyak, sangat tergantung kepada situasi murid dan guru, situasi yang sangat site-specific. Saya  khawatirkan bahwa buku-buku “eksperimental” yang  dimasukkan ke dalam daftar, terutama bila tidak ada guru yang baik, bukan jadi pendorong siswa ke arah keterampilan  membaca, berbicara dan menulis. (Saya sudah mengamati bertahun-tahun ini bagaimana para keponakan saya dan sedulur-sedulur saya “belajar sastra” di kelas, termasuk di sekolah-sekolah unggulan—dan hasilnya memilukan sekali. Metoda yang dibabarkan dalam “buku” panduan yang sedang kita persoalkan ini, tidak lebih baik daripada yang pernah ada sebelumnya).

Kedua, kegiatan sastra atau susastra itu semestinya ialah kegiatan pilihan. Yang utama, saya lanjutkan apa yang sudah terbabar di butir pertama, adalah kegiatan berbahasa dan berwacana. Menganggap buku-buku sastra, buku-buku bikinan kaum “sastrawan”, itu penting bagi semua murid, ini seperti  halnya memaksa semua siswa untuk belajar beternak ikan lele  atau berolahraga panjat tebing. Tentu saja akan ada murid  yang (akan) menyukai beternak ikan lele, olahraga panjat tebing atau kick boxing, atau membaca buku susastra atau buku tentang fisika modern, tetapi ini tidak boleh menjadi  keharusan bagi semua murid. Yang “fardhu ain” itu adalah  kemampuan menyatakan diri, menulis dan berpendapat, bukan membaca buku bikinan sastrawan. Saya percaya bahwa beberapa murid, ada banyak jumlahnya, bisa menjadi penulis dan pemikir tangguh, bukan dengan keharusan membaca ini dan itu, apalagi keharusan membaca buku-buku yang Anda  pilih. (Mohon berhati-hati, para sastrawan-seniman selalu  menganggap diri penting—this is ego-problem, right? Tetapi jika sastrawan penting, kenapa para ilmuwan, peneliti, penjelajah, dan seterusnya, tidak dianggap penting? Bukankah kita berurusan dengan perihal mencerdaskan bangsa, bukan menyanjung karya-karya kaum sastrawan?).

Ketiga, dengan “buku” panduan setebal hampir 800 halaman (dengan, misalnya, daftar berisi 105 judul buku untuk sekolah menengah atas) itu, apakah Anda tidak sedang memberikan beban tambahan yang sangat tidak perlu ke pundak si guru dan si murid? Betul, mereka akan memilih “apa  yang cocok” dari daftar, tetapi bagaimana mungkin memilih ini-itu dengan kandungan informasi yang buruk dan disinformasi yang hampir tersengaja, yang mungkin adalah hasil kerja dengan mesin “kecerdasan buatan” plus sikap  takhayul? Bila benar disclaimer Anda bahwa sebagian besar narasi buku itu disusun oleh para guru, bukankah ini saja sudah membuktikan betapa tidak tersedianya tenaga guru (yang kompeten) dalam mengemban amanat mengajar merdeka melalui susastra itu? Bahwa Kementerian yang bersangkutan tidak sanggup secara teknis mengemban amanat “merdeka  mengajar dan belajar” yang mulia itu jika hanya dikendalikan kaum birokrat yang hanya terpaksa menghabiskan belanja negara?

Keempat, saya bertanya, kenapa pemerintah kita ini (ya, maklumlah, masih disebut “pemerintah”, artinya cuma bisa memberi perintah) selalui memulai “program baru” dalam  pengajaran-dan-pendidikan secara sangat “populistis”—satu metoda untuk semua sekolah, semua guru, semua murid, dari Sabang sampai Merauke? Kenapa cita-cita yang semulia dan  beban kurikulum yang seberat itu tidak dicobakan dulu di beberapa sekolah percontohan, dan kemudian dievaluasi dulu hasilnya? Tapi ya, begitulah, “buku” Panduan Penggunaan Rekomendasi Sastra itu tiba-tiba saja diluncurkan pada Senin 20 Mei 2024, dengan meriah, dengan jumawa, tanpa kehati hatian, tanpa pemeriksaan, tanpa sikap cadangan akan  kesalahan dari si Pelindung, Penanggung Jawab, Pengarah, Pelaksana dan semua pihak yang terlibat? Pragmatisme  anggaran? Mengejar target sebelum orde yang berkuasa ini kadaluarsa? Menepuk dada sendiri sebagai pembuat kebijakan baru di lapangan pendidikan? Dan para sastrawan ikut girang karena dimuliakan dalam proyek kanonisasi atau bakal kanonisasi sastra nasional?

Mohon maaf, saya harus berhenti di sini. Saya tidak hendak ikut dalam kerusakan berlanjut yang melembaga ini. (Dan Anda sekalian janganlah menganggap bahwa para sastrawan itu semuanya girang bila buku-buku mereka masuk ke dalam daftar. Mereka harus dimintai persetujuan lebih dulu. Akan ada dia atau mereka yang berkeberatan untuk bergabung  dengan “proyek mulia” Anda, dengan alasan masing-masing. Mereka, kami, kita, sudah pasti mendukung pemajuan pendidikan nasional, tapi bisa jadi tidak bersepakat dengan cara Anda).

Saya sendiri, sambil menghormati para guru, pendidik, dan penyelenggara persekolahan, dan sambil membayangkan masa depan yang gemilang bagi generasi anak saya, memilih  jalan yang berbeda, mohon maaf. Tentu saja saya tetap membayangkan bahwa gagasan Anda, hasil kerja Anda, tentu  dalam bentuk yang sudah dikoreksi total, bisa berjalan di masa  esok, sekalipun kita berbeda jalan. Mudah-mudahan.

Dengan berbagai alasan di atas sejak surat ini bermula, saya mohon Anda untuk tidak menyertakan buku puisi saya, Jantung Lebah Ratu, ke dalam daftar Anda. Selamat bekerja.

 

Terima kasih dan salam hangat,

Nirwan Dewanto

7

Iklan

BACA JUGA