Kapal api (ss) Rempang (1947-1968) milik Stoomvaart Maatschappij Nederland (Sumber: https://www.marhisdata.nl/schip?id=5454; diakses 08-10-2023)
OLEH Dr. Suryadi (Leiden University)
Hari-hari belakangan ini, Rempang, pulau seluas 165 km persegi yang terletak dalam taburan lusinan pulau di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menjadi buah bibir masyarakat di seantero Republik ini. Sebuah kekuasaan yang terkesan arogan ingin ‘menghalau’ penduduknya, yang sudah bergenerasi tinggal di sana. Terdengar kabar bahwa sebuah pabrik besar dengan modal asing konon akan dibangun di pulau itu. Kehadiran pabrik itu konon akan mampu mengubah wajah Rempang menjadi ‘modern’ dan ‘maju’, dan menaikkan taraf hidup masyarakat tempatan.
Ekoran dari peristiwa itu adalah munculnya wacana di media (sosial) tentang status penduduk Pulau Rempang. Setengah orang mengatakan mereka adalah pendatang; setengahnya lagi mengklaim mereka adalah penduduk asli pulau itu. Lepas dari semua itu, politik pembangunan Indonesia yang gila mengundang investor dengan melecehkan hak-hak rakyat sendiri sudah saatnya harus ditinjau kembali. Apa yang dialami oleh penduduk Pulau Rempang di zaman merdeka ini justru menimbulkan kesan ironis jika ditinjau dari perspektif sejarah, sebab Rempang bukan pulau yang baru kemarin dihuni manusia.
Pada 4 Februari 1930, P. Wink, Controleur Belanda di Tanjung Pinang, melakukan turba/blusukan ke Pulau Rempang. Waktu itu, Tanjung Pinang (dalam ejaan lama ditulis ‘Tandjoengpinang’) berstatus administratif sebagai salah satu onderafdeeling dalam wilayah Residentie Riaouw en Onderhoorigheden (Keresidenan Riau dan Wilayah-wilayah Taklukannya) dengan ibukotanya (hoofdplaats) Tanjung Pinang. Wilayahnya meliputi: Pulau Bintan, Rempang, Galang, Batam dan pulau-pulau kecil sekitarnya, kelompok Pulau Tambelan dan Wates, juga kelompok Pulau Pendjantan (St. Barbe) dan Pengiki (Staatblad van het Nederlandsch-Indië over het jaar 1922. Weltevreden: Landsdrukkerij, 1923: 4; Reegeeering Almanak voo Nederlandsch Indië 1924. Batavia: Landsdrukkerij, 1924: 166-167).
Penduduk Rempang 1930. Sarip (kiri) dan Rotjoh (kanan), dua tetua adat ‘orang Darat’ yang ditemui dan diwawancarai P. Wink ketika blusukan ke Pulau Rempang pada awal Februari 1930 (Sumber: P. Wink, 1930: antara hlm. 338 dan 339).
Apa yang dilihat dan ditemukan P. Wink di pulau Rempang ilaporkannya dalam “Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang” (Laporan tentang Kunjungan kepada Orang Darat di Rempang) yang diterbitkan dalam Tijdscrift voor Indische Taal-, Land, en Volkenkunde, Deel 70, Aflevering 1, hlm. 336-342. Ringkasan laporan ini pernah didedahkan oleh sejarawan Drs. Aswandi Syahri di harian Batam Pos edisi Minggu, 21 Juli 2016.
Hal terpenting dalam laporan P. Wink, terkait dengan heboh Rempang yang sekarang sedang terjadi, adalah bahwa pulau itu sudah ada penghuninya yang disebutnya: ‘orang Darat’. Namun, sekitar 80 tahun sebelumnya, Residen Riouw, E. Netscher, sudah menyebut-nyebut juga kelompok suku yang menghuni Pulau Rempang ini, yang disebutnya ‘orang Benoea’, sebagaimana dapat dibaca dalam tulisannya “Beschrijving van een gedeelte de Residentie Riouw” (Deskripsi Bagian dari Residensi Riau) yang diterbitkan dalam Tijdscrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 1854 dan 1855. Sedangkan penulis lain menyebut mereka dengan nama ‘orang Oetan’, misalnya oleh J.G. Schot yang menulis artikel “De Battam-Archipel” (Kepulauan Batam) yang dimuat secara berseri dalam majalah De Indische Gids, 1882 & 1883.
Dari laporan-laporan di atas kita memperoleh informasi bahwa nenek moyang ‘orang Darat’ yang hidup di Rempang berimigrasi dari Pulau Batam. Dari aspek kebahasaan dan beberapa unsur budaya lainnya, ada dugaan bahwa mereka memiliki hubungan genealogis dengan orang Jakun yang ada di Semenanjung Malaya (sekarang: Malaysia).
Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat ditemukan dalam beberapa tulisan lain, seperti Beknopte Encyclopaedie van Nederlanssch-Indië (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff – Leiden: E.J. Brill, 1921: 371) dan laporan Mr. W. Schols, "Eenige nadere gegevens over de Orang Darat in Riouw" (Beberapa informasi lebih lanjut tentang Orang Darat di Riau) dalam Koloniaal Tijdschrift, jrg. 28, 1 januari 1939: 71-78. Dalam tulisannya itu, Schols mencatat 42 jiwa ‘orang Darat’ yang hidup di Rempang. P. Wink sendiri mencatat bahwa dalam beberapa dekade sebelumnya jumlah mereka mencapai ratusan. Mereka mengenal beberapa jenis barang, seperti tembakau, korek api dan arak karena adanya kontak dengan orang Cina yang melakukan perdagangan di Pulau Rempang.
Sudah sejak 1840an, bahkan mungkin lebih awal lagi, tanah Pulau Rempang sudah diolah menjadi ladang-ladang untuk penanaman gambir. Keterlibatan pendatang Cina dalam perdagangan produk ini dicatat oleh beberapa sarjana Belanda, antara lain dalam laporan yang berjudul “Over de gambier- en pepperkultuur op Riouw” (Tentang budaya gambir dan lada di Riau) dalam Tijdschrift voor Nijverheid in Nederlandsch Indië, Deel 1 (1854): 136-144 yang mencatat adanya 42 ladang gambir di Pulau Rempang pada tahun 1854 dan tulisan A.F.P. Graafland, “Schets der Chineese vestigingen in de Afdeeling Kārimon” (Sketsa tentang pemukiman orang Cina di Afdeeling Karimun) dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 37,3 (1888): 506-544.
Walau terselip di antara taburan pulau-pulau yang lusinan jumlahnya di Kepulauan Riau, Pulau Rempang tidak dianggap sepele oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada masa lampau. Ini antara lain dapat dikesan dari penamaan sebuah kapal yang dioperasikan oleh maskapai pelayaran Stoomvaart Maatschappij Nederland. ‘S.s./stoomschip Rempang’ dioperasikan oleh perusahaan ini tahun 1947 sampai 1968.
Ada beberapa kapal lainnya yang diberi nama menurut nama-nama pulau yang ada di Sumatra/Kepulauan Riau, seperti s.s. Roepat, s.s. Riouw, s.s. Banka, s.s Bengkalis, s.s. Karimoen, s.s. Poelau Roebiah, s.s. Nias, s.s. Enggano dan s.s. Krakatau, yang merefleksikan kuatnya orientasi bahari bangsa Belanda.
Bahkan dalam Atlas Sekolah Hindia Nederland oleh W. van Gelder (lihat misalnya edisi 1919; cet. ke-10), Pulau Rempang dicatat sebagai salah satu pulau yang penting di Riau agar dapat diketahui oleh murid-murid sekolah. Dan sejak 1880an, selat yang memisahkan Pulau Setoko dan Pulau Rempang sudah menjadi laluan kapal penumpang dan barang dari Selatan ke Utara, tepat keluar dekat Tanjung Piajoe.
Pada tahun 1946, Survey Allied Land Forces Southeast Asia (ALFSEA) di bawah koordinasi Belanda memproduksi peta Pulau Rempang dengan detail infrastruktur dan kontur tanahnya (lihat: Nationaal Archief, Den Haag, Nummer Toegang: 4.MIKO, Inventarisnummer: 265.11).
Di masa pendudukan Jepang, di Pulau Rempang dibangun kamp konsentrasi yang luas oleh tentara Jepang. “Op de Rempang-eilanden wordt een kamp voor Japansche krijgsgevangenen ingericht; er is plaats voor 230.000. De plaatselijke bevolking is geëvacueerd en wordt schadeloos gesteld” (Sebuah kamp tawanan perang Jepang didirikan di Kepulauan Rempang; ada ruang untuk 230.000 orang. Penduduk setempat telah dievakuasi dan diberi kompensasi), tulis surat kabar Vrij Nederland, 6de Jrg. No. 20, 8 Desember 1945.
Laporan koran Vrij Nederland yang berbasis di London itu membuat kita berefleksi: jika militer fasis Jepang saja memberi kompensasi kepada penduduk Rempang yang dievakuasi pada 1945 karena pembangunan kamp konsentrasi, kiranya sangat keterlaluan jika setelah 78 tahun merdeka penduduk pulau itu dipaksa pergi dengan kekerasan, jauh dari sikap persuasi, oleh pemerintahnya sendiri.
Catatan: Artikel ini juga terbit di harian pagi Tribun Batam, No. 25 Tahun XX, Selasa 10 Oktober 2023