
Cheonggyecheon Stream ini adalah sebuah aliran kali yang terletak di pusat kota. Lokasinya tidak jauh dari Gwanghwamun Square. Di kedua sisi sungai ini terdapat trotoar pejalan kaki yang didesain begitu cantik >foto idntimes.com
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)
Bosan naik kereta, keluarlah dari stasiun, berjalan sedikit menuju halte, lalu naik bus kota. Untuk naik bus, hanya perlu kartu e-money. Asal ada saldo, jenis e-money apa pun bisa diterima. Termasuk kartu bank.
“Hanya kartu domino yang tak bisa digunakan,” ujar Kang Maman, teman saya dari Palembang.
Semua bus hanya boleh berhenti di halte. Tak ada bus yang berhenti seenaknya untuk menaik-turunkan penumpang. Di halte tersedia bangku kayu panjang untuk duduk. Jadwal kedatangan bus tertera di monitor yang terdapat di setiap halte. Enam menit sebelum bus yang ditunggu datang, akan ada pengumuman bahwa bus berjarak dua halte dari tempat kita. Kita juga bisa mengecek jadwal bus melalui aplikasi di handphone. Kecanggihan teknologi sungguh terasa berguna di sini.
Yang penting diingat itu adalah setiap orang harus antre saat naik kendaraan. Bagaimana kalau tak tertib untuk antre? Inilah kesaksian saya perkara antre kendaraan di kampus.
Pagi itu agak gerimis dan antrean untuk naik bus kampus di halte dekat asrama mencapai lebih dari seratus meter. Begitu bus berhenti, ternyata banyak penumpang yang turun. Pintu bus ada dua. Bagian depan untuk naik dan bagian belakang untuk turun.
Dengan tergesa, seorang mahasiswa menyusup begitu saja lewat pintu belakang agar bisa naik lebih dulu. Sopir bus yang melihat itu melalui kaca spion langsung memarahi dan mengusir mahasiwa itu turun. Sopir kemudian menunggui setiap penumpang yang naik hingga penuh. Ketika mahasiswa yang tadi menyusup mau naik, ia melarangnya.
“Kamu tak boleh naik! Tunggu saja bus berikutnya,” kira kira begitu yang diucapkan sopir bus. Semua orang terdiam. Setelah menutup pintu, sopir itupun menjalankan busnya menuju kampus.
Bus dalam kota bangkunya terbuat dari bahan plastik, sedangkan bus untuk luar kota bangkunya dilapisi busa yang lebih empuk. Beberapa kursi dekat jendela diberi warna pink dan ditandai sebagai kursi prioritas untuk ibu hamil dan orang tua. Meski mobil penuh dan banyak penumpang berdiri, kursi itu tetap kosong jika tak ada ibu hamil atau orang tua yang naik. Di bagian atas dekat atap, ada gantungan tangan untuk penumpang yang berdiri. Gantungan itu dari tali dan plastik yang kuat.
Yang berdiri tentu saja orang yang lebih kuat. Orang tua dan anak-anak dilarang berdiri. Jika sopir melihat ada orang tua atau anak yang tidak mendapat tempat duduk, makai akan minta penumpang yang lebih muda untuk berdiri. Kalau tak mau? Sopirnya akan mogok, sampai ada penumpang yang mau bermurah hati memberi tempat untuk orang tua atau anak yang berdiri.
Fanatik Produk Sendiri
Mobil pribadi pertama mereka selalu produk Korea. Jika rezeki bertambah barulah mereka membeli mobil keluaran Eropa: BMW, VW, Mercedes-Benz, Jeep, hingga Range Rover. Yang tajir melintir akan membeli Hummer atau Ferrari.
“Mobil anda bagus sekali,” puji saya pada seorang peserta kursus Bahasa Indonesia dari sebuah perusahaan elektronik.
“Ha, dia itu orang kaya, Bapak. Di antara kami, hanya dia yang bisa beli BMW,” ujar Mei-jo, perserta kursus lain yang berada di dekat kami.
Beberapa hari kemudian, Mei-jo bercerita kepada saya bahwa temannya pemilik BMW itu punya jabatan tinggi di kantor. Selain itu, istri temannya itu juga memiliki beberapa unit apartemen sewaan yang dihibahkan oleh orang ltuanya. Itu mengapa temannya itu, meski masih muda, punya pendapatan besar dan bisa membeli mobil Eropa.
“Kalau tahun depan gaji dan jabatan saya naik, saya juga akan membeli Mercedes-Benz,” harapnya.
Motor amat jarang. Hampir tak ada mahasiswa yang naik motor ke kampus. Hanya pengantar makanan yang memakai motor dalam jarak dekat. Misalnya dari kedai luar asrama ke kompleks asrama. Pengendara motor pengantar makanan ini selalu ngebut untuk memburu waktu. Kadang mereka ugal-ugalan juga dengan melawan arus. Namun tampaknya pengendara lain mafhum dan tidak ada yang marah. Kenapa orang tak suka pakai motor?
“Motor tak bisa digunakan pada musim dingin atau panas. Jadi rugi membeli motor,” ujar Won Jae, mahasiswa saya, suatu kali.
“Harga motor itu tak banyak beda dengan mobil bekas. Kalau punya uang, lebih baik beli mobil bekas daripada motor baru,” tambahnya.
Motor besar seperti Harley Davidson, BMW dan Ducati hanya digunakan untuk hobi. Pada hari libur, pemotor itu akan konvoi dua sampai lima orang, berkendara sambil wisata. Tak ada pengawalan khusus untuk mereka. Pengendaranya selalu tertib pada aturan lalu lintas dan batas kecepatan.
Bagaimana dengan sepeda? Tak banyak yang menggunakan alat transportsi tanpa mesin ini. Hanya anak-anak yang sering terlihat bermain sepeda di taman.
“Kendaraan orang Korea paling utama adalah sepatu,” ujar Kim Hyuk, mahasiswa pencinta olahraga mendaki gunung.
“Kenapa begitu?” tanya saya heran.
“Orang Korea paling senang jalan kaki. Karena itu, setiap orang harus memiliki sepatu yang cocok dan bagus untuk mengantar mereka ke mana-mana,” jelasnya.
Di mana-mana dengan mudah ditemukan orang berjalan kaki. Jalan kaki sudah menjadi hobi dan kebutuhan. Bukan hanya karena lebih praktis tapi juga lebih sehat.
Pemerintah membangun fasilitas untuk pejalan kaki. Sejak dari trotoar di samping jalan raya, jalur pejalan kaki di pinggir sungai, hingga jalur di hutan. Jadinya saya lebih suka naik kendaraan umum dan berjalan kaki juga di negeri Semenanjung ini. (ivan adilla)