Bendera Korea Bersatu
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)
Sabtu pagi di musim semi. Saya berdiri di tangga paling atas stasiun Seoul, stasiun kereta api terbesar dan tersibuk di Korea. Di seberang jalan, ke arah timur, gedung-gedung tinggi sepi menjulang. Bus datang dan pergi membawa banyak bangku kosong. Di akhir pekan, kesibukan hanya terlihat di kantor polisi yang tak jauh dari pintu masuk stasiun. Di depan kantor berwarna kuning itu beberapa petugas berpakaian seragam terlihat lalu lalang.
Saya berjalan menuju lapangan parkir, melintasi para gelandangan yang duduk bergerombol dekat tangga, tak jauh dari smoking zone besar yang baru selesai dibangun. Baru saja saya menyalakan rokok, seorang gelandangan tua menadahkan tangan minta rokok. Saya mengunjukkan sebatang dan menyodorkan api untuk membakar rokok.
Ada empat kategori perokok, kata guru saya dalam sebuah perbincangan santai. Pertama, perokok sejati, yang membawa rokok lengkap dengan korek api. Kedua, perokok pelupa, hanya membawa rokok, tapi tak membawa korek api. Ketiga, perokok culas, hanya membawa korek api, tanpa rokok. Dia akan memantikkan korek api ke dekat kita sambil meminta rokok. Keempat, perokok tak bermodal, ke mana-mana hanya membawa mulut dan hidung, tanpa korek api, apalagi rokok. Pagi musim semi itu, perokok dengan berbagai tipe berkerumun di smoking zone dekat Seoul Stasion, menikmati asap dari hidung masing-masing.
Di lapangan parkir di arah barat smoking zone, serombongan orang-orang tua -- berkulit keriput dan berambut memutih—sedang bersiap-siap. Mereka memasang ikat kepala, memakai atribut, dan mengusung spanduk. Manusia sepuh itu akan berdemontrasi, berjalan kaki menuju Plaza Gwanghammun di arah timur. Di boulevard luas dekat gerbang Istana Gyebookgung itu, ratusan demontrans lain telah menunggu. Polisi sibuk mengawasi dan mengatur lalu lintas.
Bagi sebagian warga Seoul, akhir pekan adalah saat terbaik untuk berdemontrasi. Hampir setiap kali berkunjung ke ibu kota itu pada akhir pekan, saya menyaksikan orang berdemontrasi. Titik utama demontrasi berada di sekitar Modern Museum of Korea, yang bersebelahan dengan kedutaan Amerika Serikat. Dari sana demontran akan berjalan ke arah barat dekat Pasar Namdaemun dan bubar di persimpangan dekat Lottel Mall. Menempuh jarak sekitar tiga kilometer, para pendemo berjalan kaki sambil meneriakkan yel-yel, membagikan pamflet, dan poster.
Demo di negeri semenanjung ini lebih mirip pawai daripada demontrasi. Selalu tertib, tanpa keributan, atau pertengkaran. Jadi tak perlu penggunaan pentungan, apalagi gas air mata. Tentu juga tak ada petugas menyandang senjata laras panjang atau menunggang tank. Saya menikmati demontrasi di Seoul layaknya pertunjukan teater.
Ada saja yang didemo orang di sana. Sejak dari kebijakan pajak, gender, bahkan masalah di negara lain. Dekat patung Raja Sejong, di tengah boulevard, suatu kali saya menyaksikanb orang-orang asal Afrika meneriakkan penolakan terhadap kebijakan pemerintah di negaranya. Beberapa kru televisi dan media cetak sibuk meliput kegiatan itu. Saya tak tahu apakah pemerintah mereka peduli pada protes yang disampaikan demontrans dari jarak ribuan kilometer itu.
Demontrasi yang paling sering dilakukan di Seoul adalah tentang penyatuan Korea, seperti yang saya saksikan Sabtu pagi itu. Perang Korea, jejak yang masih tersisa dari perang Dunia Kedua, bisa jadi merupakan salah satu perang saudara terpanjang dalam sejarah dunia. Berawal di tahun 1953, hingga kini perang itu hanya memasuki masa jeda. Tujuh puluh tahun telah berlalu, namun banyak generasi tua di Korea masih berharap pada penyatuan dua Korea.
“Mereka punya banyak kenangan dengan orang dari Korea Utara. Banyak saudara dan anggota keluarga mereka yang masih hidup di sana,” jelas Lee Myen Koh, seorang kolega saya di kampus. Kalau Jerman Barat dan Timur saja bisa bersatu, kenapa Korea tidak? Penyatuan dua Korea akan mempertemukan keluarga yang terpecah.
Bagi anak muda Korea, penyatuan dua Korea hanyalah angan-angan generasi tua. Sama sekali tidak realistis.
“Kami tidak punya ikatan apa pun dengan Korea Utara. Saya hidup saat dua Korea sudah bersimpang jalan,” jelas Cho Mien, seorang mahasiswa dari Jurusan Manajemen yang mengambil kelas bahasa Indonesia.
Bendera Korea Bersaru
Menjelang puncak musim dingin di awal Februari 2018, Korea Selatan sibuk melakukan persiapan akhir sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin. Ini akan menjadi perhelatan olahraga internasional kedua bagi Korea Selatan, setelah negara itu sukses sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas pada 1988.
Dua minggu menjelang pesta olahraga itu digelar, Presiden Moon Jae-in mengumumkan bahwa Olimpiade juga akan diikuti oleh tim dari Korea Utara. Kedua negara yang berseteru itu bahkan sepakat akan membawa bendera warna biru bergambar peta Semenanjung Korea; bendera Korea Bersatu.
Park Jeong Been, seorang mahasiswa, menaruh harapan pada kebijakan pemerintah mereka.
“Menurut saya, pengabungan tim antara Korea Selatan dan Korea Utara itu baik. Karena itu bisa memadamkan kecemasan penduduk Korea Selatan atas perang dan memikir kemampuan denuklirisasi Korut,” nilainya.
Tapi bagi Kim Heejung, seorang mahasiswa lain, mencampurkan urusan politik dalam kegiatan olahraga adalah sebuah kesalahan.
“Kim Jeongeun hanya menggunakan hal itu sebagai alat untuk memperbaiki kesan tentang negerinya,” ujarnya.
Ia pun merinci kecurigaannya dalam sebuah tulisan panjang untuk tugas.
“…Korea Utara mengirim banyak kelompok seni yang tujuan utamanya mempromosikan kehebatan rezim Kim Jeong-eun. Dengan mengirim mereka, Korea Utara menyatakan keinginannya untuk menggunakan Olimpiade Pyeongchang sebagai tempat mempropagandakan Korea Utara, daripada membangun rasa perdamaian. Kelompok seni tersebut mendukung Kim Ilsung, kakek Kim Jeongeun dengan cara mengenakan topeng yang mirip dengan wajahnya saat dia masih muda. Kita harus memperhatikan mengapa mereka mengenakan topeng itu.”
Penolakan terhadap Korea Utara menguat saat panitia Olimpiade mengumumkan bahwa Tim Hoki Es Korea Utara dan Korea Selatan akan digabungkan menjadi satu tim. Tentu saja penggabungan itu akan membuat pemain yang telah berbulan-bulan menyiapkan diri tiba-tiba saja kehilangan kesempatan untuk tampil dalam iven internasional itu.
“Saya menentang gabungan dari Korea Utara dan Korea Selatan di Olimpiade PyeongChang. Sebagian besar atlet telah mempersiapkan Olimpiade selama empat tahun. Namun, team Gabungan Korea berlatih bersama hanya beberapa bulan saja”, ujar Yoon Ye Ji menyampaikan penolakannya dalam diskusi di kelas.
Kim Dohee, mahasiswa yang lain, menolak penggabungan itu karena tidak adil.
“Kalau atlet Korea Utara bergabung ke dalam tim hoki Korea Selatan, beberapa atlet Korea Selatan tidak ada kesempatan untuk berpartisipasi dalam olimpiade ini. Mereka telah berlatih keras selama 4 tahun, tapi tiba-tiba mereka kehilangan kualifikasi untuk bisa berpartisipasi olimpiade. Saya pikir hal ini tidak adil bagi atlet Korea Selatan.”
Ibarat Ombak Laut Kuning
Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan ibarat ombak Laut Kuning yang turun naik seiring musim. Satu setengah tahun usai Olimpiade Musim Dingin, 30 Juni 2019, Presiden Korea Selatan dan Korea Utara bertemu di garis perbatasan. Pertemuan yang diprakarsai oleh Presiden Donald Trump dari Amerika Serikat itu sempat memunculkan harapan baru untuk mengakhiri perang dan munculnya perdamaian. Tapi di mata anak muda di Korea, pertemuan itu hanyalah topeng formalitas yang harus diwaspadai.
Perkembangan politik itu menarik perhatian mahasiswa.
So Jeong Hyeon menjadikan peristiwa pertemuan dua pemimpin Korea itu sebagai topik untuk presentasi di kelas.
“Walaupun pemimpin Korea Utara dan Korea Selatan bertemu di perbatasan Korea serta bermufakat tentang perdamaian Korea, masa depan Korea masih tidak begitu jelas,” ujarnya memulai diskusi.
Sebagian besar peserta diskusi menolak ide penggabungan Korea Utara dan Selatan. “Banyak mahasiswa punya opini negatif tentang Korea Utara. Saya juga karena telah beberapa kali Korea Utara durhaka pada Korea Selatan. Mereka juga selalu minta uang pada Korea Selatan,” ujar Lee Kyung Sun.
“Saya tidak setuju (dengan penggabungan). Banyak sekali perbedaan antara kami. Sistem mereka berbeda, tingkat produktivitas jauh dan keadaan ekonomi mereka juga sulit,” ujar Yoon Je.
“Jika kami bersatu, Korea Selatan tentu harus keluar uang banyak untuk membantu orang-orang dari Korea Utara.”
“Walaupun Korea Utara dan Korea Selatan adalah satu bangsa dulunya, kenyataan itu tidak bisa membenarkan kejahatan yang dilakukan Korea Utara pada Korea Selatan,” jawab Myun Hyun, mahasiswa yang lain, ketika saya tanya opininya.
So Jeong Hyeon, dalam notulensi diskusi yang mencatat hasil diskusi siang itu. “Sebagian besar (peserta) di dalam kelas mengucapkan bahwa (mereka) tidak bisa percaya Kim. Karena dia sudah membunuhkan kakak tiri dan suami bibinya. Serta dia memimpin pembangunan teknologi bom nuklir.”
Sebuah opini berbeda disampaikan oleh Sooyeon Cho, gadis yang sebagian keluarganya terpisah karena Perang Korea, dan kini menetap di China.
“Penyatuan dua Korea adalah impian saya,” katanya.
“Korea Utara punya banyak sumber alam berupa biji besi, minyak, batu bara dan lainnya. Korea Selatan punya teknologi dan uang. Jika dua Korea bersatu, maka kami akan kuat dan bangsa lain di sekitar kami tidak akan memandang remeh,” urainya.
Harapan mulia Sooyeon Cho tampaknya sulit terwujud. Akhir tahun 2022, Korea Utara mulai menembakkan peluru kendali jarak jauh untuk uji coba sehingga menimbulkan protes dari Korea Selatan dan Jepang. (ivan adilla)