Kondisi Otonomi Daerah Kini

Selasa, 29/04/2025 06:49 WIB
-

-

OLEH Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014)

Tanggal 25 April kemaren kita memperingati hari otonomi daerah yang ke 29. Pemerintah memusatkan perayaannya di Balikpapan dengan inspektur upacara Arya Bima, Wakil Menteri Dalam Negeri. Tapi, sebenarnya yang penting bukanlah seremoninya, melainkan evaluasinya. Bagaimana kondisi otonomi daerah kini, apakah tambah maju, jalan di tempat, atau bahkan mundur?

Dari berbagai fenomena pemerintahan yang terjadi selama seperempat abad ini, tampak otonomi daerah yang diamanahkan oleh gerakan reformasi 1998 tidak baik-baik saja kondisinya. Cenderung mundur.
Timbul re-sentralisasi dan de-otonomisasi. Terjadi penarikan berbagai kewenangan sektoral oleh pemerintah pusat, antara lain di bidang kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan, perumahan, dan aneka perizinan. Padahal kewenangan itu adalah rohnya otonomi daerah. Tanpa wewenang yang cukup, pemda tidak dapat mengurus kepentingan masyarakat dengan baik, melaksanakan pelayanan publik, dan mempercepat pembangunan.

Aktor pemerintahan kita di pusat agaknya kurang ikhlas melepas kewenangan kepada daerah. Tentu ada alasannya. Salah satunya adalah, karena pemda tak mengurus kewenangan itu dengan baik. Menyalahgunakan perizinan kehutanan dan pertambangan misalnya, sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan. Jual beli perizinan ini terjadi gara-gara kepala daerah perlu modal untuk maju pilkada.

Selain itu, di bidang keuangan daerah, timbul pula ketidakadilan fiskal dan makin ketatnya pengendalian pusat. Daerah "by law" ditugaskan mengurus 32 urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, namun dana transfer ke daerah (546 daerah otonom) hanya sekitar sepertiga saja dari APBN. Padahal jumlah ASN yang bekerja di Pemda hampir mencapai 80 % dari total ASN kita.

Di banyak negara prakteknya separuh lebih "state budget" dialokasikan kepada daerah otonomnya. Di negara kita tak terjadi, karena anggaran besar diperlukan guna membiayai birokrasi pusat yang gemuk.
Uang daerah dari transfer pusat yang terbatas itu memang bisa ditambah dengan menggali PAD (pendapatan asli daerah). Sayangnya, hanya daerah kaya yang bisa punya PAD tinggi, seperti DKI Jakarta, Kabupaten Badung di Bali, dan Kota Tangerang Selatan di Banten.

Banyak daerah PAD nya pas-pasan, untuk membiayai anggota DPRD saja sudah habis. Jangan heran, kalau banyak daerah kita jalannya pada rusak, sekolah roboh, dan jembatan gantung di desa ambrug tak terbangun, gara-gara uangnya sudah tak ada. Visi dan aneka misi yang dijanjikan kepala daerah waktu kampanye bisa dipastikan tak terdukung pembiayaannya oleh APBD.

Di tengah-tengah kempesnya kantong daerah, celakanya pemerintah pusat secara mendadak melakukan efisiensi yang berdampak terhadap daerah. Tahun ini sekitar rP50 triliun dana transfer ke daerah dibatalkan. Alhasil rencana perbaikan jalan daerah misalnya, gagal dijalankan. Dalam kondisi keuangan daerah yang "ngos-ngosan" itu, pusat masih tega meminta daerah membantu mengongkosi program-programnya, misalnya yang paling anyar "koperasi desa merah putih". Bahkan, pembangunan fisik kantor instansi pusat di daerah tak segan-segan diminta pemda membangunkannya. Kepala daerah tentu jadi "pening" kepalanya. Dibantu susah, tak dibantu susah.

Terkait pengendalian, dana transfer ke daerah yang relatif tak mencukupi itu, dipatok pula oleh pusat penggunaannya. Maka, dana DAU (block grant), sekarang rasa DAK (spesific grant). Semua penggunaannya harus sesuai petunjuk pusat. Begitu pula penata-usahaan keuangan daerah diseragamkan lewat SIPD (sistem informasi pemerintahan daerah) yang kaku dan dikelola pusat.

Dalam bidang kepegawaian, pusat tidak saja mengelola penerimaan ASN, tapi kini juga sedang dibuat aturan lewat revisi UU ASN, semua pejabat eselon I dan II di daerah-daerah mutasinya menjadi kewenangan pusat, tidak lagi di tangan kepala daerah. Artinya, pejabat pembina kepegawaian bukan lagi kepala daerah tapi langsung presiden.

Menyangkut pembuatan produk hukum daerah (perda dan perkada), daerah-daerah tidak mandiri dalam menyusunnya, karena harus berkonsultasi dan perda-perda terkait pajak dan retribusi mesti dengan persetujuan pusat. Akibatnya, waktu pembuatan bisa menjadi lama dan ongkos konsultasi daerah ke pusat pun cukup besar.

Begitulah kondisi otonomi daerah kita kini yang kian merana. Makin sentralistik. Keadaan itu diperparah oleh mayoritas aktor pemerintahan lokal kita yang tak amanah mengelola pemda, dan berperilaku koruptif pula.

Dalam tempo 20 tahun ini, sudah lebih dari 400 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kena kasus hukum. Mereka cenderung pragmatis, jalankan saja apa adanya. Miskin inovasi dan tak ada kreasi. Birokrasi di daerah juga dipaksa untuk tidak netral dalam pilkada, dan diintervensi dalam menjalankan administrasi. Untuk ini obatnya, memang hanya lewat perbaikan sistem pilkada. Jangan lagi seragam, tapi asimetrik. Ada yang langsung, tak langsung, dan diangkat saja.

Begitu pula wakil, ada daerah yang wakil kepala daerahnya tiga, dua, satu, dan nol. Mereka tak dipilih berpasangan tapi diangkat saja oleh kepala daerah terpilih (sistem mono-eksekutif).

Pada hari ultah otonomi daerah ini, seiring dengan naiknya pemerintahan baru Presiden Prabowo, mendesak dilakukan revisi UU Pemda No 23 Tahun 2014 yang sudah berusia satu dasawarsa lebih. Hal-hal pokok yang perlu diperbaiki adalah: merapikan susunan pemda kita, membenahi pembagian urusan pemerintahan, memperjelas pembentukan daerah otonom, menguatkan fiskal daerah, menata kepegawaian pemda, mengefisienkan pembentukan produk hukum daerah, dan menyempurnakan sistem pembinaan serta pengawasan.

Dengan ikhtiar itu, semoga nasib otonomi daerah kita bisa lebih baik ke depan.



BACA JUGA