Perceraian Tinggi, Tungku Tigo Sejarangan Minangkabau Alami Disfungsi

-

Kamis, 31/08/2023 08:52 WIB
micahe

micahe

OLEH Maichel Firmansyah (Mahasiswa Departemen Sosiologi UNP)

Perceraian bukanlah momentum yang diharapkan oleh sepasang suami-istri, karena dari setiap perceraian, tentu akan mendatangkan derita dan kesedihan bagi keduanya atau pun anaknya. Setiap pasangan suami-istri pasti mengharapkan hubungan yang langgeng hingga ajal yang memisahkan mereka, dan jika umur panjang maka sampai kakek-nenek hendaknya.

Menikah menjadi suatu ibadah yang teramat panjang dilaksanakan oleh orang muslim. Dan menikah termasuk ibadah yang disukai Rasulullah dan nikah hukum asalnya adalah mubah bagi muslim.

Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian kata “perceraian” mengandung arti perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti tidak bercampur (berhubungan/bersatu) lagi, berhenti bersuami istri. Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1997 sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya: “Tindak hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan mereka”.

Setiap pasangan suami-istri tentu mengharapkan keluarga yang harmonis serta sakinah, mawadah dan Warahmah tanpa adanya kata pisah, perpecahan, atau bercerai. Namun, kenyataan hari ini bahwa telah banyak pasangan suami-istri yang memilih untuk berpisah atau bercerai.

Sebelumnya, niat awal mereka menikah dilandasi oleh rasa cinta, kemudian muncul harapan untuk hidup bersama dengan harapan dapat menciptakan keluarga yang harmonis hingga kakek-nenek dengan anak-anak dan cucu-cucu yang akan melengkapi kisah cinta mereka. Tetapi, apa yang diniatkan tersebut mesti pupus di ujung jalan lantaran berujung pada kasus perceraian di pengadilan agama.

Berdasarkan data dari pengadilan agama, kasus perceraian di Kota Padang, Sumatra Barat pada 2022 didominasi kelompok usia 30-39 tahun. Kasus perceraian di Pengadilan Agama lebih banyak mayoritasnya kasus gugat cerai dari pada gugat talak yang dilayangkan kepada Pengadilan Agama Padang Kelas 1 A.

Juru bicara Pengadilan Agama Padang Adwar menyebut, kasus perceraian pada kelompok usia 30-39 tahun sebanyak 383. Kemudian kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 123 kasus, usia di atas 60 tahun sebanyak 28 kasus, terakhir usia di bawah 20 tahun sebanyak 3 kasus (tribunpadang.com, 2022).

Setiap tahunnya angka perceraian di Pengadilan Agama meningkat. Hal itu dapat dilihat dari data terbaru Pengadilan Agama Padang bahwa angka perceraian meningkat setiap tahunnya. Jika dilihat grafiknya, tahun sebelumnya kasus perceraian berjumlah 50 hingga 60 kasus. Namun setelah Lebaran 2023, kasus perceraian meningkat 20 persen menjadi 100 kasus perceraian.

Faktor Perceraian

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab dari bercerainya suami-istri. Di antaranya faktor ekonomi, usia, perselingkuhan, perjodohan, tidak dikaruniai anak atau keturunan, pemabuk/pejudi, poligami, cemburu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kurang pengetahuan agama, dan perbedaan pendapat. Dari semua faktor tersebut, ada faktor lain terjadinya perceraian di ranah Minangkabau baru-baru ini, yaitu faktor reuni.

Reuni menurut KBBI adalah “pertemuan kembali” bekas teman sekolahan atau seperjuangan. Reuni seharusnya menjadi ajang silaturahmi antarteman sejawat atau seperjuangan, namun malahan memberikan efek yang besar bagi pernikahan suami-istri di ranah Minangkabau.

Perceraian suami istri terjadi peningkatan di Kota Padang akibat kegiatan reuni yang dilakukan untuk silahturahmi tersebut. Padahal Minangkabau memiliki sistem sosial agama dan adat yang saling berhubungan dengan baik hingga terbentuknya sistem kepemimpinan tungku tigo sajarangan. Namun perceraian terjadi begitu cepat dengan sebab reuni yang dilakukan sesaat. Di sini penulis ingin menyampaikan tentang bagaimana peran dan fungsi tungku tigo sajarangan di Minangkabau.

Di dalam hukum adat, mengenai perkawinan dan perceraian dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Jadi, anggota-anggota masyarakat yang menganut agama Islam dipengaruhi oleh hukum perkawinan dan perceraian Islam. Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum agama atau hukum Islam dikenal dengan istilah “talak” yang artinya melepaskan ikatan.

Menurut hukum adat, perkawinan itu termasuk urusan keluarga dan kerabat, walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang menentukan untuk berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perorangan (Djamil, 1985).

Meskipun hukum adat memberikan keleluasaan bagi suami-istri bercerai atau melangsungkan terus perkawinan karena bersifat perorangan, akan tetapi sudah menjadi budaya dan tradisi di Minangkabau untuk memberikan ruang diskusi serta musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian suatu masalah di ranah Minangkabau baik itu masalah pribadi, kaum atau nagari.

Bila terjadi perselisihan antar suami-istri dalam rumah tangga, hendaknya pihak yang bersangkutan melibatkan pihak lain, hal itu untuk mengurangi dari terjadinya perceraian. Di Minangkabau pihak yang dapat dilibatkan tentu saja adalah Tungku Tigo Sajarangan. Tungku Tigo Sajarangan merupakan sebuah kesatuan dari kepemimpinan Ninik Mamak (adat istiadat), Alim Ulama (agama), dan Cerdik Pandai (ilmu pengetahuan/pemerintahan).Tungku Tigo Sejarangan terkenal sebagai sentralistis sistem kepemimpinan di ranah Minangkabau.

Interaksi yang terbentuk di antara kelembagaan tungku tigo sajarangan meliputi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak nagari (Gani, 2013).  Maka tungku tigo sajarangan memiliki peran penting dalam menyelesaikan masalah perceraian yang terjadi antarsuami-istri di Minangkabau, menjadi mediator dalam membangun komunikasi antarkedua belah pihak seperti suami-istri yang akan bercerai agar dapat ditemukan titik masalahnya dan dicari jawabannya sedapat mungkin.

Hal itu mesti dilakukan karena menjadi tanggung jawab dari tungku tigo sajarangan sebagai pemimpin di ranah Minangkabau berdasarkan wewenang dan kapasitasnya masing-masing. Sudah sepatutnya tungku tigo sajarangan menjadi mediator bagi anak dan kemanakan atau orang Minangkabau di sekitar daerahnya bagi setiap masalah yang dihadapi, baik itu masalah agama, adat dan masalah sosial lainnya.

Apakah fungsi dan peran dari Tungku Tigo Sejarangan telah mulai menipis di tengah masyarakat Minangkabau. Mungkinkah kepemimpinan di Minangkabau mulai bergeser dan tidak lagi menempatkan tungku tigo sajarangan menjadi tempat bertanya dan berberita serta jadi mediator dalam penyelesaian masalah bagi anak kemanakan atau orang Minangkabau pada umumnya.

Idealnya bahwa setiap perselisihan atau pertentangan yang terjadi antara suami-istri mestinya bisa di selesaikan dengan jalan musyawarah dan mufakat yang dapat dilakukan karena telah jadi tradisi dan identitas budaya orang Minangkabau.

Perselisihan di dalam rumah tangga antarsuami-istri kini lebih sering diselesaikan di meja pengadilan. Menurut Juru Bicara Pengadilan Agama Padang Adwar, bahwa suami atau istri yang membuat laporan tuntutan perceraian di Pengadilan Agama, untuk kembali rujuk sangat jarang ditemukan (suarasumbar.com, 2022). Maka yang patut dipertanyakan, di mana peran dan fungsi niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai hari ini di Minangkabau yang mestinya jadi tumpuan harapan bagi penyelesaian masalah di Minangkabau.

Menurut penulis, seharusnya jauh sebelum laporan tuntutan perceraian masuk ke pengadilan agama, maka sebisa mungkin diselesaikan bersama pihak tungku tigo sajarangan. Dengan urutan: Pertama, ninik mamak jadi kelompok terpenting dalam menyelesaikannya masalah suami-istri yang akan bercerai, sebab lebih tahu tentang adat dan dekat dengan anak kemenakannya secara emosional.

Kedua, alim ulama jadi tempat pemberi nasihat dan pengetahuan keislaman bagi pasangan suami-istri jika masalah yang terjadi menyangkut perkara agama, sehingga menemukan penyelesaian masalahnya dengan kajian Islam.

Ketiga, cadiak pandai dengan pengetahuan dan ilmunya dapat memberikan pemikiran-pemikiran yang rasional dan logis untuk dapat diterima oleh pasangan suami-istri yang diambang perceraian tersebut.

Semestinya hal ini diterapkan di setiap darek dan rantau di ranah Minangkabau, hingga perceraian dapat diminimalisir terjadi pada masyarakat Minangkabau, tetap apakah peran dan fungsi tungku tigo sajarangan tidak begitu sentral lagi di Minangkabau hingga perselisihan atau perkelahian antarsuami-istri kini diselesaikan langsung untuk berpisah. *



BACA JUGA