Minangkabau dan Kafe: Gagasan untuk Gubernur, Wali Kota dan Bupati yang Baru

Kamis, 02/01/2025 06:14 WIB
w

w

OLEH Wannofri Samry (Akademisi dan Pengamat Budaya)

Kini dunia berubah. Dulu orang duduk di lapau/kadai, kini minum kopi sambil diskusi-diskusi di kafe. Pertumbuhan kafe memang cepat, ibarat jamur di musim hujan. Bukan hanya di ibu kota propinsi, namun juga sampai ke pusat kecamatan dan bahkan ke nagari atau pedesaan. Budaya “ngafe” adalah gejala perkotaan dan dari luar budaya orang Minangkabau. Budaya Minangakabu adalah duduk dan ota-ota di lapau.

Lapau tempat pertemuan dan silaturahmi para lelaki, pagi atau sore hari sambil makan gorengan dan memesan minuman hangat seperti teh talua, kopi atau teh panas. Tentu berbeda kondisi lapau dan kafe. Lapau penuh keakraban sebab biasanya tempat ini menjadi berkumpulnya komunitas nagari, pelanggannya boleh dikatakan tetap. Jadi mereka saling tegur sapa, tukar pikiran dan berdebat mulai dari yang ringan sampai ke politik negara. Di lapau selesai semua, mulai dari masalah rumah tangga, masalah tetangga, masalah pemerintahan nagari bahkan politik nasional, bisa tuntas.

Kafe sering ditata lebih rapi, artistik, ada yang mewah dan ber-ac. Pengunjungnya beragam. Tidak saling kenal.Keintiman di kafe tentu agak kurang. Orang datang ke kafe untuk santai, bisa juga untuk rapat atau meeting. Di kafe bisa juga menyediakan layar atau tv untuk menonton bareng. Umumnya kafe menyediakan fasilitas ruang pertemuan, TV, video, in focus dan sebagainya. Jadi semuanya disediakan untuk memuaskan melariskan dagangan. Di kafe di sediakan properti sosial seperti tempat sholat, toilet dan bahkan tempat mainan untuk balita. Artinya kafe berorientasi pelayanan untuk mendapatkan uang yang banyak.

Di luar perbedaan fasilitas antara lapau Minangkabau dan kafe, ada perbedaan lain yang secara budaya. Kondisi dan budaya yang tidak dimiliki oleh kafe namun kuat dimiliki oleh tradisi lapau dan juga oleh restoran/rumah makan Minangkabau. Suatu hal yang sangat bernilai dari lapau dan restoran/rumah makan padang adalah cara menyambut tamu ketika tamu baru datang. Ini penting sekali, bukan saja ini menyangkut budaya memuliakan tamu tetapi juga etika melayani tamu dan kenyamanan.

Pelayanan di kafe kurang etis dan terasa agak “rakus”. Bagi restoran Minang tamu disambut secara ramah dengan menyajikan air hangat setelah mereka mendapatkan tempat duduk. Setelah air terhidang baru pelayan menanya; mau makan apa? Dihidang atau ampera, minum atau makan? Kemudian pelayan menyajikan segera sesuai dengan pesanan. Makanan yang dihidang tentu berbeda harga, tidak perlu dikonfirmasi ke pelanggan, karena pelanggan sudah memahami, jasa menghidang itu ada. Rasional saja. Sejauh ini tidak ada komplain.

Budaya penyambutan tamu di kafe berbeda, terasa agak kasar! Baru saja memasuki ruang kafe dan belum sempat duduk, pelayan kafe langsung menyongsong dengan membawa lembaran daftar menu dan menunggui seperti menagih utang pesanan. Seakan tidak ada kesempatan untuk menarik nafas. Duduk saja belum sempat tetapi pelayan sudah menyesak dan menu sudah diperagakan sama pelanggan. Jadi, seakan-akan tamu adalah mangsa dagang, dan ketika masuk kafe ibarat masuk perangkap untuk harus membeli. Ini tentu tidak sesuai dengan budaya Minangkabau yang Islami; memuliakan tamu.

Di Minangkabau tamu tidak dipandang atas kepentingan saja, tetapi juga bahagian dari hubungan sosial yang berdasarkan moral dan berbasiskan aturan agama. Pelanggan tidak hanya sebagai mangsa tetapi juga harus dihormati dan dilayani dengan baik, walaupun mereka hanya bersilaturrahmi sekalipun.

Harga kafe di juga tidak rasional, terlalu berlebihan. Di kafe harga air putih hangat bisa Rp.5.000 per gelas, sementara di restotan Minang gratis. Harga teh tawar segelas kecil di kafe bisa sampai Rp. 10.0000 sementara di restoran dan rumah makan Minangkabau teh goyang dan tawar malah gratis. Apa lagi harga-harga lain sengaja dilambungkan, walaupun rasa dan mutu juga di bawah standar masakan Minang.

Perlu Penertiban Harga dan Standarisasi

Sudah banyak masyarakat yang menyuarakan mengenai standarisasi harga dan kondisi kafe di Sumatera Barat. Selama ini sudah dikemukakan mengenai standar kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan keberlanjutan lingkungan. Namun ini saja tentu belum cukup. Perlu juga ada standarisasi budaya sesuai dengan kultur Minangkabau “adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.

Minimal budaya ketimuran mesti ditegakkan. Di sini mencakup penetapan harga. Perlu dibuat standar pelayanan tamu dan harga yang pantas. Orang Minangkabau walaupun pedagang mereka mempunyai etika dan standar. Pelayanan yang memuliakan tamu dan berbasis relegius, harga yang tidak mamakuak (seenaknya) dan berlebihan.

Selama ini kita menyoroti mengenai ekspansi kapitalisme indomart dan alfamart dan ekanpansi lain ke Ranah Minangkabau. Tetapi “penjajahan” kafe-kafe yang ratusan menyebar di seluruh daerah tidak pernah disoroti dan diatur. Kafe-kafe menerapkan kapitalis murni dan minim rasa sosial, apalagi menimbang budaya Timur. Karena itu perlu ada Peraturan Daerah (Perda) dan standarisasi kafe, jangan dibiarkan kafe dengan bisnis gaya liberalisme; harga bersaing dan berpacu sesukanya.

Setelah dilantiknya para kepala-kepala daerah yang baru yang direncanakan pada Februari 2025, kita menunggu gebrakan mereka dalam rangka melindungi rakyat dan menjadikan budaya Timur atau Minangkabau sebagai acuan pelayanan dan standarisasi kafe di Sumatera Barat. Hal Itu jika kita memang masih menjunjung budaya Minangkabau, bukan sekadar menjadi budaya sebagai slogan ketika kampanye. *



BACA JUGA