DEKAVE-11
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Setelah kita “berjibaku” menghadapi hajaran banjir beberapa hari yang lalu, “Pakansi” kali ini kita mulai dengan cerita yang jauh dari cerita bencana. “Pakansi” hadir dengan cerita iklan perempuan di surat kabar yang terbit di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) pada masa Kolonial.
Sebagai sebuah konsep, iklan didefenisikan sebagai sebuah bentuk imajinasi yang keluar ke dunia nyata dan berisi informasi yang dapat mempengaruhi khalayak ramai, yang diberikan melalui media cetak maupun non cetak. Imajinasi ini boleh apa saja tergantung dengan produk yang ingin dipromosikan.
Setiap produk memiliki objek sentral yang membawa misi “marketing” dari barang yang akan di jual, dan salah satu yang tampil sebagai objek sentral tersebut adalah perempuan. Bagaimana mereka ditampilkan pada periode kolonial, menarik untuk kita telusuri.
Mari kita sigi iklan dengan objek perempuan di surat kabar Bataviaasch Niewsblad yang hadir di pertengahan abad ke-19 dalam bahasa Belanda di Batavia (Jakarta yang kita kenal sekarang). Iklan-iklan yang ditampilkan dalam surat kabar ini menghadirkan perempuan dalam pandangan sudut patriaki.
Laki-laki adalah pemegang kekuasaan utama dan perempuan menjadi sub-ordinatnya. Rumah dan pelayanan terhadap laki-laki (ruang domestik) adalah ruang ekspresi para perempuan. Pendomestifikasian ini terlihat jelas dalam iklan yang ditampilkan. Salah satunya adalah iklan Goalpara yang menampilkan perempuan sedang menyeduh teh dengan sunggingan senyum manis di bibir.
Dalam iklan lainnya, perempuan ditampilkan sebagai objek iklan untuk produk biskuit dan tentu saja masih dengan style yang ceria dengan senyum manisnya. Perempuan juga ditampilkan dalam balutan cantik, wangi dan seksi seolah menyampaikan pesan bahwa inilah yang disukai kaum laki-laki.
Selanjutnya, perempuan dalam gambaran iklan adalah seorang ibu ideal yang berperan sebagai pengurus rumah tangga yang cekatan dan penuh kasih sayang serta penyedia kenyamanan dalam rumah tangga dengan penampilan yang memukau secara fisik. Sehingga iklan makanan, alat-alat rumah tangga, sabun, minyak wangi, minuman keras bahkan film menjadi ladang tampilnya gambar-gambar para perempuan.
Bataviaasch Niewsblad tidak sendiri. Surat kabar lainnya juga menyajikan hal yang sama, diantaranya The Indische Courant yang terbit di tahun 1855. Demikian juga untuk koran sezaman lainnya seperti, surat kabar De Locomotief, De Koerier, dan De Sumatra Bode dimana visualisasi perempuan dalam iklan nyaris sama dengan koran Bataviaasch Niewsblad, yaitu memvisualisasikan perempuan dalam ruang domestik yang sempit dengan branding melayani laki-laki.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan iklan tersebut jika kita merujuk pada jiwa zaman saat itu. Saat koran-koran ini diluncurkan di abad ke-19 hingga awal abad 20, sistim patriaki sangat kuat mendominasi alur berpikir kaum kulit putih di berbagai belahan dunia, termasuk di Belanda sebagai negeri induk Hindia Belanda.
Gerakan tentang kesetaraan gender yang digaungkan oleh para aktifis di Eropa berjalan beriring mengikuti gerakan kaum perempuan yang ada di benua Amerika. Gerakan ini baru benar-benar memberikan pengaruh setelah perang dunia kedua, saat Belanda sudah angkat kaki dari Indonesia.
Pertanyaannya, koran-koran di masa sekarang masihkah menampilkan hal yang sama?. Kita kembalikan ke pembaca. Jika itu masih sama, sepertinya kita belum bergerak dari masa lalu. ***