pros-kolonial
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Masih tentang menelusuri arsip-arsip kolonial, “Pakansi” pekan ini akan membicarakan sejarah dari salah satu penyakit yang kini sedang menjadi topik hangat di berbagai kalangan masyarakat. Penyakit tersebut yaitu sifilis atau raja singa.
Beberapa waktu terakhir, Indonesia sedang dihebohkan dengan meningkatnya jumlah kasus sifilis di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Provinsi Jawa Barat dan Papua. Dilansir dari laman resmi Kementerian Kesehatan, sifilis telah mengalami peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2016-2022), dari 12 ribu menjadi hampir 21 ribu kasus dengan rata-rata penambahan kasus setiap tahunnya menjadi 17 ribu hingga 20 ribu kasus.
Pada tahun 2023, jumlah masyarakat yang terjangkit terus meningkat dan mayoritas adalah Ibu rumah tangga. TVOnenews menyebutkan jika dalam periode Januari-April 2023, telah ada sekitar 20.700 kasus baru masyarakat yang terjangkit sifilis. Peningkatan jumlah ini sangat memprihatinkan, mengingat masyarakat Indonesia bahkan belum pulih sepenuhnya dari pandemi Covid-19 dan kini penyakit lainnya sedang berkembang dengan pesatnya.
Berbeda dengan Covid-19, sifilis bukanlah penyakit baru yang mewabah di Indonesia. Penyakit ini telah ada sejak masa lampau dan telah memakan ratusan bahkan ribuan korban. Namun pada kondisi terkini, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui apa itu sifilis dan bagaimana awal mula penyakit ini berkembang di negara mereka. Pembahasan ini menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat dalam menanggulangi penyakit sifilis.
Sifilis atau raja singa merupakan penyakit menular seksual yang muncul pertama kali di beberapa negara di benua Amerika dan Eropa. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 8 Agustus 1927 mengulas tentang asal-usul penyakit ini.
Sebagian besar ahli yang telah menulis tentang asal-usul sifilis berpendapat bahwa penyakit ini dibawa ke Eropa dari Amerika pada tahun 1493. Namun, ada yang keberatan dengan pandangan ini. Sebuah buku yang ditulis oleh Gaston Vorberg yang berjudul Brit. Med. I. berisi pemberitahuan yang membela pandangan bahwa sifilis adalah penyakit Eropa, dan telah lama ada di Eropa. Vorberg berhasil menyanggah bukti-bukti dari para pendukung teori Amerika.
Menurut Vorberg tidak ada laporan bahwa para pelaut yang kembali bersama Columbus, yang ditenggarai membawa penyakit, ditemukan tidak menderita penyakit baru, dalam hal ini sifilis. Gagasan, bahwa sifilis pasti berasal dari Amerika hanya karena dari sanalah obatnya berasal, yaitu guajachar adalah suatu hal yang tidak masuk akal ungkap Vorberg.
Terlepas dari perdebatan tentang darimana penyakit sifilis berasal, di Hindia Belanda (Indonesia masa lampau) penyakit ini berkembang dengan cepat pada masa Pemerintah Kolonial Belanda. Terdapat beberapa anggapan yang menyatakan jika orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda lah yang menyebarkan penyakit ini pada masa itu.
Pendapat ini pun diperkuat dengan kondisi Belanda yang memiliki sejumlah daerah koloni dan pos-pos perdagangan di berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara, Amerika Selatan hingga Afrika, yang melibatkan interaksi dengan penduduk setempat. Interaksi ini menciptakan peluang penularan penyakit, tak terkecuali sifilis yang kemudian mereka bawa ke Hindia Belanda.
Selain itu, penyebaran penyakit seksual tersebut juga diakibatkan oleh tingginya tingkat prostitusi di Hindia Belanda. Kepemilikan gundik serta gaya hidup di kalangan militer dan pejabat pemerintahan yang menyukai kegiatan pelacuran menjadi titik poin penyebaran penyakit sifilis. Tak heran, sifilis pun dengan mudah berkembang dari satu individu ke individu lain.
Gani dalam bukunya yang berjudul Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 (2013) menyebutkan bahwa hampir 90 persen orang yang terjangkit sifilis merupakan tentara dan pejabat. Laporan Ringkas Militer di Jawa dan Madura untuk paruh pertama tahun 1864 (>Omschrijving >van >het >militaire >summierziekenrapport >over >Java >en >Madura >voor >jaar> 1864) juga menyebutkan jika di antara 11.898 pasien yang dirawat selama setengah tahun ini terdapat 1948 terkena sifilis. Jumlah ini setara dengan 16,37% dari total keseluruhan pasien.
Seiring perkembangannya, sifilis menjadi persoalan serius yang menjadi perhatian utama pemerintah. Terlebih lagi, belum terdapat obat yang ampuh yang dapat menangani penyakit tersebut.
Berbagai iklan obat-obatan herbal dan pendirian klinik-klinik spesialis kulit pun bermunculan di surat kabar. Sebut saja surat kabar Arhemsche Courant edisi 1 September 1850 yang mengiklankan obat merek De Rob dengan harga 8 ½ f yang dapat mengobat berbagai penyakit kulit termasuk sifilis.
Lalu, surat kabar Het Vederland edisi 4 Desember 1907 yang mengiklankan pendirian klinik spesialis kulit dan sifilis, serta surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 2 Agustus 1884 yang mengiklankan obat Salsepareille-Cambresy yang dinilai dapat mengobati sifilis.
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan penularan sifilis di antaranya seperti mengeluarkan peraturan pembatasan kegiatan prostitusi, mendirikan rumah sakit khusus penyakit kelamin, serta penyediaan personil medis untuk mengobati pasien-pasien yang telah tertular penyakit ini.
Dilansir dari surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 29 Oktober 1919, Dewan Kota di Amsterdam membentuk sebuah komisi yang bertugas menangani dan mengambil tindakan efektif untuk melawan sifilis.
Cerita panjang tentang penyakit sifilis berlanjut hingga sekarang. Kebijakan pemerintah untuk penanggulangan penyakit ini beserta obat-obatan yang dihasilkan tidak mampu membasmi habis penyakit ini secara tuntas hingga sekarang.
Terbukti anak-anakpun terpapar sifilis sebagai akibat penyakit yang diderita orang tuanya. Sepertinya episode kolonial berulang dimana gaya hidup menjadi penentu perkembangan sifilis. ***