Kisah Banjir Kota Padang dari Masa ke Masa

SEJAK DULU LANGGANAN BANJIR

Senin, 08/05/2023 12:05 WIB
Pelabuhan Muaro Kota Padang yang jadi hulu Sungaai Batang Arau (Foto Okezone)

Pelabuhan Muaro Kota Padang yang jadi hulu Sungaai Batang Arau (Foto Okezone)

OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

"Pakansi" kita kali ini adalah  menelusuri Kota Padang, ibu kota Sumatera Barat  yang beberapa minggu terakhir diguyur hujan lebat. Topografis kota yang memiliki dataran tinggi yang dilintasi banyak sungai dan dataran rendah yang berbatasan dengan Samudra Hindia, menjadikan cuaca ekstrem sebagai momok  untuk kota ini. 

Sebagian wilayah kota akan dengan mudah terendam air jika hujan mengguyur kota tiada henti. Sebut saja wilayah Simpang Kalumpang di Kecamatan Koto Tangah misalnya. Upaya pemerintah kota untuk memperkecil persoalan ini sudah tentu ada namun kondisinya masih saja hampir sama. Ada apa ya? Mari kita lihat rekam jejak banjir yang tercatat selama pemerintah Kolonial Belanda bercokol di kota ini.

Van Sandick dalam Padang-Rivier (1884) mencatat bahwa pada bulan Agustus 1874, telah terjadi banjir bandang yang luar biasa tinggi di hilir Sungai Batang Arau, salah satu sungai yang berhulu di dataran tinggi Kota Padang. Akibatnya pemukiman Kampung Cina yang berada di wilayah datar terendam. 24 tahun kemudian banjir bandang kembali menghadang. Koran De Telegraaf dan De Zuid Willemsvaart memberitakan bahwa  pada tanggal 5 Desember 1898 telah terjadi banjir besar yang menghancurkan sawah-sawah dan gudang-gudang di wilayah Perkampungan Cina. De Telegraaf  mencatat bahwa  ketinggian air  mencapai lima kaki dan  menenggelamkan 2 orang.

Memasuki abad ke-20 intensitas banjir semakin meningkat terjadi terutama di wilayah dataran rendah . Tahun 1907 tepatnya tanggal 28 September  koran De Locomotif dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie memberitakan bahwa telah terjadi banjir pada tanggal 28 dan 29 September 1907. Banjir ini menyebabkan satu orang tewas dan banyak hewan ternak yang tenggelam. Banyak rumah yang hanyut terbawa arus serta barang dagangan rusak akibat air masuk ke gudang-gudang penyimpanan. Tidak hanya itu, penjara lama di Kota  Padang juga terendam oleh banjir hingga menyebabkan kegaduhan. Beberapa narapidana bahkan ada yang memanfaatkan kondisi ini untuk melarikan diri dari penjara. Kerusakan paling parah terjadi di wilayah Kampung Cina dan Pasar Gadang. Kerugian yang mereka alami mencapai f 200.000. Kondisi yang hampir sama berlanjut di tahun 1910 dan tahun-tahun berikutnya hingga ditahun 1915.

Pemerintah Kolonial mencatat bahwa sebelum abad ke-19, banjir belumlah menjadi persoalan yang cukup berarti bagi masyarakat di Kota Padang. Hal ini disebabkan tanah di sekitar bantaran sungai masih sangat luas dan pemukiman pendudukpun masih berada jauh dari bantaran tersebut. Jikapun terjadi luapan sungai akan memenuhi tanah-tanah landai yang ada di sekitar bantaran sungai. Luapan inilah yang   secara alamiah membentuk tanah rawa, yang  berfungsi sebagai  wilayah serapan air pada saat itu.

Namun memasuki awal abad ke-20 permukiman penduduk mulai berkembang. Banyaknya jumlah orang Eropa yang datang dan menetap menjadi salah satu faktor pemicunya.  Demikian juga kedatang penduduk pribumi dari wilayah pedalaman yang juga mulai menetap di sepanjang pesisir pantai. Permukiman yang tadinya terkonsentrasi hanya di sepanjang sisi barat Sungai Batang Arau ke arah hulu, lanjut berkembang ke sebelah barat sepanjang pantai menuju ke utara. Selanjutnya wilayah ini berkembang menjadi pusat Kota Padang yang kita kenal sekarang.

Pertumbuhan peduduk ini berjalan beriring dengan kebutuhan lahan. Topografi kota yang berada di dataran rendah dengan areal di sana sini dipenuhi oleh rawa, menyebabkan pemukiman penduduk harus berdampingan dengan rawa-rawa sehingga saat terjadi hujan dera maka akan menimbulkan banjir. Upaya untuk pencegahan banjir telah dilakukan oleh masyarakat dengan mendesak pemerintah untuk melakukan upaya pencegahan. Koran Het Vanderlan pada memberitakan tentang hal tersebut.

Pada tanggal 15 November 1907 koran Het Vanderland menyebutkan bahwa Asosiasi Perdagangan Padang telah  mengirimkan petisi kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil tindakan pencegahan dengan membangun pertahanan banjir yang diperlukan. Jauh sebelum desakan ini dilakukan di tahun 1875 masyarakat melalui Dewan Perdagangan juga sudah mengajukan  upaya pencegahan banjir dengan permintaan pembuatan kanal kepada pemerintah namun pengajuan ini ditolak. Pemerintah hanya melakukan normalisasi sungai, pengerukan dan penggerusan sungai pada saat itu.

Permintaan untuk pembuatan kanal baru direalisasikan pada tahun 1911. Salah satunya dengan membuat sodetan di hulu Sungai Batang Arau yang bertempat di wilayah Ujung Tanah, Lubuk Alung sekarang. Sodetan ini bernama Banda Bagali atau yang dikenal oleh masyarakat sekarang dengan nama Bandakali. Apakah pembuatan kanal ini menghentikan banjir dengan seketika? Ternyata tidak juga. Catatan kolonila menyebutkan bahwa terdapat beberapa kali banjir besar yang kembali terjadi, baik saat pembuatan kanal ataupun sesudahnya.

Pengembangan pemukiman yang merambah ke wilayah rawa-rawa ditengarai menjadi salah satu penyebabnya. Merujuk pada kondisi masa lalu yang terjadi, seperti Kota Padang sudah harus benar-benar memikirkan tata kelola pemukiman yang merujuk pada pengelolaan  lingkungan yang serasi dan bersahabat dengan alam.

 



BACA JUGA