Masri Marjan
Wartawan adalah untuk memudahkan orang, bukan untuk menyulitkan orang. Itulah filosofi Masri Marjan, wartawan Haluan yang terkenal di tahun 1980-an hingga 1990-an. Maksudnya, menulis harus dengan bahasa sederhana agar mudah dicerna, bukan dengan bahasa yang tinggi-tinggi tapi tidak bisa dimengerti.
Masri Marjan lahir di Kuranji tahun 1948, dan meninggal di Padang 6 Januari 2002 ketika masih menjabat Ketua PWI Sumatera Barat periode kedua. Kampung kelahirannya, Kuranji, dulu dikenal dengan sebutan Padang Pinggir Kota (Papiko) dan sebelum tahun 1981 masuk wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Kawasan tersebut juga disebut Padang Mudiak (mungkin berasal dari kata udik, pedalaman) dengan dialek bicara yang khas. Dan Masri Marjan bangga dengan dialek itu.
Di Haluan, Masri dikenal dengan panggilan M2, itu kode setiap berita yang ditulisnya, merupakan inisial dari namanya: Masri Marjan. Ia mulai jadi wartawan setelah tamat Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR, setingkat SMA), tak lama setelah Haluan terbit kembali tahun 1969 –surat kabar yang terbit sejak 1948 ini pernah diberedel Pemerintah Soekarno tahun 1958 karena dituduh mendukung PRRI.
Masri terkenal dengan berita-berita liputannya, khususnya yang bersumber dari Kantor Gubernur Sumatera Barat. Terutama pada masa 10 tahun pemerintahan Gubernur Azwar Anas, ia sangat dekat dengan kepala daerah itu serta seluruh pejabat provinsi.
Meskipun sering memberitakan kunjungan atau pernyataan pejabat, Masri mengaku berita dan tulisannya juga tidak tinggi-tinggi. Ditulis dengan bahasa dan gaya yang mudah dipahami pembacanya. Cara penulisan seperti itu, katanya, suatu ketika, sebagai bentuk kebiasaan dirinya untuk tidak menyulitkan orang. Kita ingin menyampaikan informasi, kenapa harus dengan bahasa yang rumit. Gunakan saja bahasa yang mudah dipahami. Begitu fahamnya.
Begitu pun dalam keseharian. Ia banyak berteman, bersahabat dan bersaudara. Selalu menjadi keinginannya untuk menjalin silaturahmi dengan siapa saja. Termasuk dengan narasumbernya. Memang, tidak ada pejabat pemerintah di Kantor Gubernur Sumbnar yang tidak kenal dengan Masri Marjan.
Baginya berkawan memang perlu, namun bukan berarti harus menggadai sikap, prinsip dan harga diri begitu saja. Ia pernah mengakui, menjadi wartawan merupakan jalan mudah untuk kenal dan berteman dengan siapa saja, namun tidak berarti kewartawanan tersebut dijadikan alat untuk menggadaikan sikap dan harga diri tersebut, misalnya, demi uang.
“Kalau ingin kaya, janganlah jadi wartawan,” katanya, suatu ketika, kepada sejumlah wartawan muda, sembari memberikan pula contoh kepada penerusnya. Ia masih tetap menulis berita sekali pun ia sudah menjadi Ketua PWI atau anggota DPRD.
Masri Marjan bukan wartawan biasa. Ia juga terjun ke politik melalui Golongan Karya. Pada tahun 1992 hingga 1997, ia duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Hebatnya, walaupun menjadi anggota Dewan, ia tetap menulis berita.
Sebagai wartawan otodidak, hanya mengandalkan berajar dan mengembangkan diri sendiri, ia tidak pernah bosan menuntut ilmu. Menyadari hanya berbekal ijazah SMSR, tahun 1990-an ia kuliah di Sekolah Tinggi lmu Hukum (STIH) Padang, dan meraih gelar Sarjana Hukum.
Di kalangan wartawan sendiri, Masri juga pandai bergaul. Kepada yang muda-muda, ia lebih tampil sebagai senior dan pendidik. Tak heran, karena banyak yang menyukainya, ia terpilih dua kali menjadi Ketua PWI Sumatera Barat. Pertama, dalam Konfercab PWI Sumbar tahun 1997, ia terpilih pertama kali sebagai ketua. Selanjutnya, dia terpilih lagi untuk periode kedua tahun 2001.
Sayang, wartawan yang sederhana dan suka berteman ini cepat dipanggil Khaliknya. Ia meninggal di Padang 6 Januari 2002, dan dimakamkan di kampung halamannya Kuranji.
Meskipun tidak menyelesaikan periode kedua jabatannya sebagai Ketua PWI, tapi Masri meninggalkan warisan yang akan dikenang banyak teman-temannya. Berkat perjuangannya, pada periode kepemimpinnya itu, Masri berhasil menyediakan lahan perumahan untuk para anggota PWI Sumbar yang belum pernah mendapat kapling tanah untuk perumahan. Lokasinya di Air Pacah, Kecamatan Kuranji, kampung Masri sendiri. Firdaus Abie
Sumber: Buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong, 2018