Dirjen Kebudayaan di RKB: Indonesia Lemah dalam Tata Kelola Kebudayaan

--

Jum'at, 23/12/2022 09:41 WIB
Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid dalam Dialog Kebudayaan yang diinisiasi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Sumatra Barat bersama seniman, pegiat budaya,  dan akademisi yang digelar di Ruang Kerja Budaya (RKB), pada Kamis (22/12/2022). FOTO RAYA

Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid dalam Dialog Kebudayaan yang diinisiasi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Sumatra Barat bersama seniman, pegiat budaya, dan akademisi yang digelar di Ruang Kerja Budaya (RKB), pada Kamis (22/12/2022). FOTO RAYA

Padang, sumbarsatu.com—Membaca dan mengurai persoalan kebudayaan harus dicermati dalam area dan lanskap yang lebih luas serta multidimensi. Kebudayaan dalam pemaknaan yang luas itu tentu saja tidak terpaku pada soal-soal kesenian dan estetika-keindahan semata.

Indonesia dianugerahi kekayaan budaya yang beragam dan variatif. Potensi kekayaan kultural yang luar biasa ini—taruhlah—kekayaan hayati dan pangan, yang punya koneksi erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, jika tata kelolanya tidak punya perencanaan yang matang, maka mewujudkan kedaulatan pangan akan sulit. 

Untuk itu, mendesak dan perlu menggali kembali sekaligus memeriksa nilai-nilai budaya yang kelak berujung dan bertumpu pada kesejahteraan rakyat dan tidak berdampak besar saat terjadi krisis di masa depan.

Demikian dikatakan Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid dalam Dialog Kebudayaan yang diinisiasi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Sumatra Barat bersama seniman, pegiat budaya,  dan akademisi yang digelar di Ruang Kerja Budaya (RKB), pada Kamis (22/12/2022). Diskusi dihadiri Undri, Kepala BPK Sumatra Barat.

Hilmar Farid datang ke Padang untuk menyampaikan orasi budaya dalam kegiatan Kongres Kebudayaan yang digagas Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau (YPKM).

Hilmar Farid menyebutkan, kebudayaan harus dibangun di atas akar yang kokoh berbasis nilai-nilai yang hidup dan dihidupi oleh masyarakat. Perencanaan pembangunan kebudayaan menitikberat kepada masyarakat dan komunitas pemilik sejati atas kebudayaan tersebut. Pemerintah berperan lebih sebagai fasilitator saja

"Kita punya kekayan budaya yang luar biasa. Dengan akar yang tidak tunggal tetapi menyebar. Berbeda dengan Cina atau Tiongkok misalnya yang terpusat. Kondisi ini jika dikelola dengan baik justru akan menguatkan dan memerkokoh bangunan kebangsaan kita.” kata pria kelahirhan Born, Jerman Barat ini. Karena itu, Hilmar jangan memandang jangan sampai kita membangun kebudayaan di atas akar yang rapuh.

Diskusi ini dimoderatori oleh Sudarmoko, dosen FIB Unand, berjalan cukup komunikatif, santai tapi serius. Dalam diskusi juga berkembang pelbagai wacana, terutama semangat membangun budaya Minangkabau yang sampai saat ini dinilai masih terjebak dalam ragam tafsir, perbedaan cara pandang, bahkan mengarah pada polarisasi dalam masyarakat adat. Juga mengemuka soal estetika, soal kesenian dan ragam festival lainnya.

“Ranah ini silakan diselesaikan dalam bilik seniman. Tugas pemerintah paling utama adalah menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi kebudayaan yang berkualitas, yang piawai dalam teknologi, peka dan literat dalam menjawab kebutuhan kita. Semua itu tujuannya mengejar ketertinggalan di Indonesia di dunia global,” urai Hilmar Farid.

Menurut Hilmar,  tantangan dan permasalahan kebudayaan, harus menjadi pemikiran dan kerja bersama. Ia meyakini landasan kuat dari pemajuan kebudayaan ini ada pada katahanan dan kedaulatan pangan.

“Ketahanan pangan menjadi dasar hidup bangsa Indonesia yang agraris. Hal ini tergambar hidup kehidupan sosial masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan perayaan apapun, pangan selalu menjadi sumber utama,” kata Hilmar Farid.

Syuhendri, salah seorang seniman dan budayawan dan juga pegiat literasi merespons apa yang diuraikan Hilmar Farid soal budaya dan ketahanan pangan. Syuhendri menjelaskan, soal ketahanan pangan dan kebudayaan sudah selaras dengan konsep orang Minangkabau dalam membangun kondisi habitual dalam kehidupan berminangkabau.

“Bila Pak Dirjen menyatakan bahwa selama ini dalam pemahaman umum, berkebudayaan itu identik dengan kesenian saja, hal itu sejalan dengan pandangan masyarakat Minangkabau yang memandang kesenian sebagai pamenan, perintang-rintang saja. Kesenian bagi orang Minangkabau dilakukan seusai panen, ketika padi masak, jaguang maupiah, taranak bakambang biak. Pada saat itu barulah orang Minangkabau membolehkan dirinya menyatakan kesyukuran dalam bentuk ragam permainan (kesenian),” urai Syuhendri, yang juga seorang pangulu di kaumnya.

Menurut pegiat literasi Tanah Ombak ini, persoalan kesenian berkait dengan kesejahteraan masyarakat,  bila ketahanan pangan menguat tentu saja kita tak lagi mengais-ngais dan menadahkan tangan  kemana-mana atas nama kesenian.

Hilmar Farid juga menguraikan, penyebab lambannya membaca perkembangan isu kebudayaan global karena  Indonesia lemah dalam soal tata kelola dan tidak memiliki sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk menguasai berbagai perangkat pendukung dalam kegiatan pemajuan kebudayaan.

Dengan demikian konsentrasi pemajuan kebudayaan masa depan lebih dikedepankan dalam hal peningkatan SDM dengan memperkuat institusi-instusi kebudayaan dalam hal ini termasuk sekolah dan perguruan tinggi.

“Menyekolahkan dan mengirim tenaga potensial untuk belajar pada institusi-institusi kebudayaan yang sudah professional menjadi keniscayaan,” terang Hilmar Farid.

Menanggapi apa yang dikatakan Hilmar Farid, Edy Utama, budayawan Indonesia, mengatakan, Minangkabau hari ini harus membereskan masalah-masalah fundamental semenjak dalam alam pikiran agar pembangunan budaya itu tidak keliru dan membawa kepada kemunduran.

"Orang adat memang harus menjaga adat tapi cerdik pandai tidak harus pula tegak diwilayah yang sama, justru kaum cerdik pandai ini harus membangun anti tesis. Itu yang menjadi kekuatan kebudayaan yang menjadi ciri khas Minangkabau. Hari ini dinamika pemikiran itu mandeg. Semua mau menjaga adat dan takut berdialetika," jelas Edy Utama, yang juga seotang kurator seni ini.

Edy Utama menyebutkan, Indonesia ternyata masih berada dalam situasi kultural, yang membutuhkan langkah-langkah besar dan strategis dalam menjadikan kebudayaan sebagai basis dari kehidupan bersama.

Semnetara itu, Ka’bati, Direktur Ruang Kerja Budaya mengatakan, kunjungan Dirjen Kebudayaan ke RKB ini sebuah support mental yang luar biasa bagi komunitas RKB. 

“Sejauh yang kita kerjakan selama ini sudah sejalan dengan gagasan besar membangun kebudayaan bangsa walaupun kelihatannya sederhana semisal mengumpulkan arsip-arsip lama, melakukan riset dan publikasi tentang seni tradisi ataupun workshop penulisan,” kata Ka’bati.

Untuk itu, RKB mengucapkan terima kasih atas kesediaan Dirjen Kebudayaan singgah ke lembaga kecil ini, juga terima kasih kepada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) serta semua kawan-kawan budayawan, seniman, akademisi yang sudah datang.

Berpartisipasi aktif dan hadir dalam diskusi budaya itu, antara lain Rijal Tanmenan (pegiat seni/penulis/seniman), Pramono dan Sri Setyawati (akademisi), dan lainnya. SSC/NA/HEN



BACA JUGA