
OLEH Rahmi Awalina, S.TP.,M.P (Dosen Fateta Unand dan Penggiat Lingkungan)
Seiring perkembangan zaman diikuti dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya pola konsumsi masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan laju produksi sampah terus meningkat tiap tahun. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2020 menaksir adanya timbunan sampah di Indonesia sebesar 67,8 juta ton.
Sepakat dengan tema yang diusung pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2021 yang diperingati beberapa waktu lalu, sampah bisa menjadi sumber bahan baku ekonomi, terlebih pada masa pascapandemi seperti saat ini. Untuk itu perlu diterapkan sistem 3R (reuse, reduce dan recycle). Hal pertama yang harus dilakukan adalah memilah sampah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Sebagaimana diketahui, berdasarkan sifatnya, sampah digolongkan menjadi dua jenis, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik yaitu sampah yang dapat membusuk dan bisa terurai kembali, seperti sisa makanan buah dan sayur, daun kering, dan yang berasal dari tumbuhan. Sedangkan sampah anorganik, sampah yang sulit membusuk dan tidak dapat terurai seperti botol plastik, kertas bekas, karton, dan kaleng bekas.
Pemilahan sampah sebaiknya dilakukan dari masing-masing rumah tangga selaku produsen sampah terbanyak di mana sampah tersebut dihasilkan. Sampah yang sudah dipilah sejak dari level rumah tangga dan ditangani secara terpisah akan sangat membantu mengurangi beban pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang sekitar 70% sampah di dalamnya merupakan sampah organik rumah tangga.
Pengolahan sampah organik di tempat sumber sampah, dapat dilakukan dengan cara konsisten dan terus-menerus diyakini dapat menyelesaikan permasalahan sampah sejak dini. Penumpukan sampah organik di TPA yang biasanya menimbulkan bau tidak sedap dan berpotensi menyebabkan terjadinya ledakan akibat produksi gas metana dari proses penguraian alami serta sumber penyakit, sebenarnya dapat dihindari dengan mengedepankan penanganan sampah dari sumbernya.
Pengolahan sampah organik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengomposan, baik secara aerobik maupun anaerobik, dan dengan membuat eco-enzyme. Salah satu keistimewaan dari pembuatan eco-enzyme adalah tidak memerlukan lahan atau tempat yang luas untuk proses fermentasi seperti pada proses pembuatan kompos. Pembuatan eco-enzyme sangat hemat dalam hal tempat pengolahan dan dapat dilakukan pada rumah tangga dan dapat dilakukan secara sederhana.
Produksi eco-enzyme tidak memerlukan bak komposter dengan spesifikasi tertentu tapi hanya dengan menggunakan wadah-wadah seperti botol-botol bekas air mineral maupun bekas produk lain yang sudah tidak digunakan, dapat dimanfaatkan kembali sebagai tangki proses fermentasi eco-enzyme. Hal ini dapat menjadi nilai tambah karena mendukung konsep reuse dalam menyelamatkan lingkungan.
Eco-enzyme merupakan produk ramah lingkungan yang mudah dibuat oleh siapapun. Pembuatannya secara sederhana hanya membutuhkan air, dan gula sebagai sumber karbon, serta sampah organik sayur dan buah. Eko-enzim adalah hasil dari fermentasi limbah dapur organik, gula (gula coklat, gula merah atau gula tebu), dan air dengan perbandingan 3 : 1 : 10.
Eco-enzyme adalah cairan hasil fermentasi sampah organik yang memiliki berbagai fungsi, termasuk sebagai pembersih lantai, pembersih sayur dan buah, penangkal serangga dan penyubur tanaman. Kasiat eco-enzyme sebagai disinfektan disebabkan adanya kandungan alkohol dan/atau asam asetat yang terdapat dalam cairan tersebut. Alkohol dan/atau asam asetat dihasilkan dari proses metabolisme bakteri yang secara alami terdapat dalam sisa buah dan sayur.
Proses metabolisme anaerobik, atau disebut juga fermentasi, merupakan upaya bakteri untuk memperoleh energi dari karbohidrat dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen) dan dengan produk sampingan (byproduct) berupa alkohol atau asam asetat (tergantung jenis mikroorganisme). Fungi atau jamur dan beberapa jenis bakteri menghasilkan alkohol dalam proses fermentasi, sedangkan kebanyakan bakteri menghasilkan asam asetat.
Pada dasarnya, eco-enzyme mempercepat reaksi proses bio-kimia di alam untuk menghasilkan enzyme yang berguna dalam pemanfaatan sampah buah atau sayuran. Enzyme dari “sampah” ini adalah salah satu cara manajemen pengelolaan sampah yang memanfaatkan sisa-sisa dapur untuk menghasilkan cairan yang bermanfaat dan serbaguna.
Proses fermentasi dalam pembuatan eco-enzyme berlangsung selama 3 (tiga) bulan. Setelah itu cairan yang dihasilkan, yaitu berwarna coklat gelap dan memiliki aroma fermentasi asam manis yang kuat, sudah bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Eco-enzyme dapat digunakan sebagai pupuk cair organik tanaman, campuran deterjen, pembersih lantai, pembersih sisa pestisida, pembersih kerak, dan sebagai bahan spa untuk membantu melancarkan peredaran darah.
Dapat disimpulkan pengolahan sampah dapur menjadi larutan eco-enzyme bisa menghemat pengeluaran rumah tangga dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, rumah tangga sudah membantu penyelamatan bumi dari lingkungan sendiri **