
tasiun Muaro atau biasa disebut Stasiun Logas pada tahun 2020 di Muaro Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat Foto Zhilal Darma
OLEH Raja Algais (Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unand)
Kereta api menjadi alternatif penghubung yang sangat digemari pada era saat ini. Tentunya pembangunan ini membutuhkan usaha yang sangat besar baik itu dari biaya maupun tenaga kerja, namun jika pembanguna kereta api berjalan lancar maka keuntungan akan didapatkan.
Hal inilah terlintas di kepala Pemerintahan Hindia Belanda. Peluang inilah yang akan memberi keuntungan jika menggunakan kereta api sebagai pengangkut batu bara. Pada tahun 1920, pemerintahan Hindia Belanda merencanakan pembangunan rel kereta api dari daerah Sawah Lunto yang akan melewati Muaro Sijunjung, tambang emas Logas, Pekanbaru hingga sampai ke Selat Malaka. Namun perencanaan ini menuai hasil nihil hingga Pemerintahan Hindia Belanda menguburkan niatnya untuk perencanaan pembangunan jalur rel kereta api.
Pada pertengahan tahun 1920, NIS (Nederlands Indische Staatsspoorwegen-Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda) melanjutkan kembali perencanaan pembangunan rel kereta api mengingat terjadinya peperangan, jika masih menggunakan jalur Samudera Hindia. NIS mengutus seorang insinyur W. J. M Nivel untuk meneliti dan mengkaji jalur kereta api ke pantai timur Sumatera yang tertulis dalam laporan dokumen Staatsspoorwegen No 19 tahun 1927. Perencanaan ini juga mengalami rintangan yang berat hingga kekuasaan berpindah tangan kepada Jepang,perencaan ini masih menjadi perencanaan terpendam Pemerintahan Hindia Belanda.
Jepang menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati di bawah pimpinan Jendral Imamura, Jepang memberi harapan baru bagi bangsa Indonesia, tentu ini disambut baik oleh masyarakat pribumi. Dengan begitu dimulailah perencanaan rel kereta api dari Muaro Sijunjung menuju Pekanbaru dibekali oleh pengetahuan atau dokumen-dokumen yang tersisa oleh Hindia Belanda dalam perencanaan pembangunan rel kereta api. Hal inilah yang menjadikan Jepang yakin dalam pembuatan rel kereta api tersebut.
Pada penghujung tahun 1942, Jepang merekrut atau mencari pekerja pembuatan rel kereta api. Jepang menawarkan sebuah pekerjaan tetap, diiming-imingkan diberi pelatihan kemiliteran, hingga menawarkan sekolah kepada pemuda-pemuda pribumi. Tentu saja hal ini sangat menjanjikan bagi para warga pribumi. Pada saat itu memang pekerjaan, dan uang sangat sulit dicari hingga para warga pribumi terpikat oleh iming-iming pekerjaan atau uang dari Jepang.
Dari Pulau Jawa, Riau serta Sumatera Barat bahkan orang-orang asing dikumpulkan dalam satu daerah di Muaro Sijunjung. Maka dimulailah perencanaan pembuatan rel kereta api ini. Awal pembuatan rel kereta api ini, para pekerja mengalami kelelahan, dan kelaparan karena para pekerja Romusha harus bangun pukul 04:30 WIB, dan apel pagi pukul 05:30 WIB ditambah kerja pada malam hari sebanyak 2 jam. Hal inilah menjadikan para pekerja Romusha mengalami kelaparan, dan kelelahan, namun tidak hanya berhenti disitu saja. Perlakuan kekejaman Jepang masih berlanjut, prajurit Jepang kerap melontarkan kekerasan fisik terhadap para pekerja, seringkali memamerkan kekejamannya terhadap para pekerja Romusha.
Kekerasan yang membawa mimpi buruk terhadap pribumi terjadi ketika proses pembuatan rel kereta api di terowongan di desa Padang Sawah. Karena banyaknya korban serta para pekerja Romusha yang terjangkit penyakit, para polisi Jepang tetap menyuruh para pekerja Romusha untuk tetap melakukan pekerjaannya,jika tidak, akan mengalami kekerasa fisik seperti : dipukuli, dirotan, bahkan ditusuk dengan puntung kayu yang masih mengeluarkan api, kekejaman dari Jepang tidak ada habis-habisnya. Kekejaman yang masih membekas oleh para korban Romusha ialah ketika para pekerja Romusha sedang bekerja di malam hari. Para pekerja Jepang menggunakan dinamit untuk menghancurkan tebing sedangkan para pekerja Romusha masih melakukan aktivitas bekerja di bawah-bawah tebing gua. Dinamit yang meledak menyebabkan para pekerja Romusha yang di bawah mengalami tertimpa bawahan tebing. Hal ini memicu kepanikan para pekerja Romusha. Adapun yang sempat berhasil melarikan diri ketika dinamit itu meledak, namun tidak semua yang berhasil menyelamatkan diri dari reruntuhan tebing tersebut.
Para korban yang selamat inilah yang mendengarkan rerintihan dan teriakan meminta tolong dari rekan-rekan sepenanggunganya. Bau anyir darah, darah yang bersimbahan di sekitar tebing tersebut berhasil membuat ketraumaan yang mendalam di hati para pekerja Romusha. Tidak hanya kematian saja yang ditakuti, penyakit yang tersebar di kalangan para pekerja Romusha disebabkan dekatnya pembuangan kotoran para pekerja Romusha sehingga para pekerja Romusha sering terjangkit penyakit seperti penyakit malaria, kudis, gatal-gatal, busung lapar, paru, dan masih banyak penyakit lainnya. Dengan pengobatan minim membuat para pekerja Romusha dihinggap berbagai penyakit sehingga banyak dari para pekerja Romusha meninggal secara tragis.
Ketika para pekerja Romusha menganut kepercayaannya masing-masing, seketika mereka akan lupa dengan keagamaanya, mengapa tidak. Kekejama Jepang yang membuat mereka kerja terus-menerus hingga mereka tidak ada waktu untuk beribadah. Adapun waktu beribadah, bagaimana para pekerja Romusha ingin beribadah. Pakaian lusuh yang dibalutkan dengan goni saja disertai penyakit-penyakit kotor yang membuat pikiran semakin kacau ketika hendak beribadah. Bagi agama Islam, tidak akan ada waktu untuk salat lima waktu karena padatnya jadwal bekerja hingga membuat mereka lupa akan waktu. Jangan tanya mereka ada atau tidaknya salat Jumat, hari saja para pekerja sudah tidak mengenal akan namanya hari.
Hal serupa juga dialami oleh agama-agama lainnya. Mereka sudah tidak lagi melaksanakan ajaran agamanya dikarenakan banyak rintangan, dan hadangan yang dihadapi para pekerja Romusha. Kesengsaraan, kekejaman, dan kematian lah yang sering ditemui para pekerja Romusha. Mimpi buruk yang sering terulang tiap harinya membekas di hati para pakerja Romusha. Mimpi buruk yang selalu menghampiri para pekerja Romusha, adakalanya tersirat di hati mereka, mimpi buruk ini hanya sekadar mimpi. “Siapa saja tolong bangunkan saya.”
Kematian para pekerja Romusha ada yang dikuburkan, ada juga yang dilemparkan ke Sungai Kuantan. Hal ini menyebabkan bau bangkai yang sangat menyengat hingga bau tersebut masih tercium satu bulan lebih lamanya. Adapun mayat-mayat yang tergeletak sepanjang pembuatan rel kereta api hilang entah kemana, baik itu meninggal karena reruntuhan tebing atau pohon maupun meninggal karena penyakit yang amat mendalam. Hal apalagi yang membuat pikiran para pekerja Romusha itu kacau. Kejadian-kejadian mengerikan yang terus terjadi.
Kematian yang tidak layak, pengorbanan yang sia-sia, harapan yang tak kunjung datang membuat para pekerja Romusha menyerah akan harapan yang menolong mereka. Pekerjaan yang dihargai sebungkus nasi garam atau bercampur ikan asing kerap membuat mereka bertahan dengan pemberian tersebut. Apalah daya nasi yang dibaluri garam atau ikan asin, tidak akan cukup dengan hal tersebut. Pengorbanan nyawa, penyiksaan yang dilakukan terus-menerus, kematian yang selalu menghampiri para pekerja Romusha. Apa hal itu sepadan dengan sebungkus nasi, pastilah tidak.
Bagaimana bisa melupakan kejadian yang membuat banyak korban, mimpi buruk ini harusnya dihentikan. Hal ini membuat para pekerja Romusha ingin melarikan diri dari jeratan kekejaman orang Jepang. Pelarian ini tentu tidak semudah itu. Dihantui rasa ketakutan karena ancaman dari pelarian tersebut hanyalah kematian. Dengan jarak 220 km sudah menelan korban 280.000 pekerja Romusha. Angka kematian yang sangat besar dengan pengorbanan yang sangat amat besar.
Pembangunan rel kereta api dari Muaro Sijunjung – Pekanbaru terlihat sudah bisa digunakan. Takdir berkehendak lain, Jepang mengalami kekalahan besar setelah pengeboman Hiroshima, dan Nagasaki. Ini menjadikan rel kereta api digunakan hanya untuk mengangkut tentara-tentara Jepang ke Pekanbaru hingga ke Singapura. Rel kereta api ini tidak sempat digunakan untuk keperluan menghantar batu bara. Begitu banyak perngorbanan yang dilakukan untuk pembuatan rel kereta api dari Muaro Sijunjung-Pekanbaru.
Awalnya pembangunan ini membawa harapan banyak orang ternyata pembangunan kereta api ini hanyalah membawa kesengsaraan. Semoga para korban diberi kebahagiaan di alam sana. Pengorbanan yang akan layu oleh umur namun, terpatri dalam hati yang akan selalu diingat oleh generasi yang akan mendatang.