Edy Utama: Etnofotografi Harus Jadi Objek Kajian Budaya

WAWANCARA

Selasa, 24/08/2021 11:29 WIB
Edy Utama

Edy Utama

Pengantar

Edy Utama akan menggelar pameran etnofotografi sejak 28 Agustus-7 September 2021, bertema “Minangkabau Cultural Landscape”, di Geleri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang.

Ia akan memajang 75 foto yang dipotretnya dalam rentang antara tahun 1997-2021. Foto-foto yang dipamerkan umumnya didominasi lanskap alam budaya MInangkabau. Minangkabau yang tengah mengalami perubahan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk visual yang sempat direkamnya sepanjang 25 tahun terakhir.

"Foto-joto ini jadi saksi perubahan yang terjadi dalam kebudayaan Minangkabau,” kata Edy Utama, yang akrab disapa Bung ini saat bincang-bincang dengan sumbarsatu, Selasa (24/8/2021).

Menurutnya, tidak semua perubahan yang terjadi dalam kebudayaan Minangkabau itu mengembirakan, cukup banyak juga yang menyedihkan, terutama dalam pemanfaatan tata ruang dari bentang alam Minangkabau.

“Bahkan perubahan selera orang Minangkabau pun dapat kita lihat dari indikasi visual yang ada dalam sebuah foto. Misalnya dalam cara berpakaian, atribut yang digunakan serta kekusyukan dari kehidupan budaya itu sendiri. Banyak sekali yang berubah bahkan hilang,” urai Edy Utama.

Persoalan-persoalan kebudayaan seperti ini, menurutnya, telah mendorong dirinya untuk lebih lebih fokus dengan etnofotografi.

“Jadi munculnya etnofotografi dapat dikatakan sebagai penegasan, bahwa foto tidak hanya dianggap sebagai karya seni, tetapi juga sekaligus dapat dijadikan sebagai objek kajian budaya,” jelas pria kelahiran Lubuk Sikaping ini. Berikut petikan wawancara sumbarsatu dengan Edy Utama.

Bung, mengatakan pameran ini sebagai pameran etnofotografie, bisa dijabarkan latar belakangnya mengapa disebut dengan etnofotografi?

Sebuah pameran etnofotografi pada dasarnya merupakan sebuah konsep pameran foto untuk bercerita atau menarasikan tentang kebudayaan dari sebuah kelompok masyarakat etnik, seperti masyarakat Minangkabau, atau masyarakat lainnya yang ada di dunia.

Konsep etnofotografi ini sesungguhnya merupakan bagian dari pendekatan antropologi visual atau etnografi visual yang sudah cukup lama berkembang di dunia.  

Jadi munculnya etnofotografi dapat dikatakan sebagai penegasan, bahwa foto tidak hanya dianggap sebagai karya seni, tetapi juga sekaligus dapat dijadikan sebagai objek kajian budaya.

Saya telah memulai memotret alam dan berbagai aktivitas budaya masyarakat Minangkabau sejak awal tahun 1980-an. Saya beruntung punya sedikit pengetahuan tentang fotografi ketika belajar di Jurusan Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ/IKJ).

Tahun 1982 saya pulang ke Padang, dan menjadi wartawan/redaktur kebudayaan di surat kabar daerah yang terbit di Padang. Sebagai wartawan budaya, saya meliput berbagai peristiwa budaya di Sumatera Barat, sehingga membuat saya harus lebih dekat dengan masyarakat di Sumatera Barat. Akhir tahun 1980-an, saya berhenti sebagai wartawan, namun saya tetap menggulati dunia fotografi.

Kemudian, mengapa diberi lebel sebagai pameran etnofotografi?

Alasannya antara lain, karena saya ingin lebih memberikan fokus pada kerja fotografi sebagai sebuah aktivitas sosial-budaya, dan bukan hanya sebatas sebagai karya seni.

Pengalaman sekitar empat puluh tahun berkubang dalam berbagai kegiatan budaya di Minangkabau atau Sumatera Barat, saya melihat begitu banyak hal yang terjadi, dan menunjukan perubahan yang luar biasa.

Perubahan-perubahan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk visual yang sempat saya rekam. Tidak semua perubahan itu mengembirakan, tetapi juga banyak yang cukup menyedihkan, terutama dalam pemanfaatan tata ruang dari bentang alam Minangkabau. Bahkan perubahan selera orang Minangkabau pun dapat kita lihat dari indikasi visual yang ada dalam sebuah foto. Misalnya dalam cara berpakaian, atribut yang digunakan serta kekusyukan dari kehidupan budaya itu sendiri.

Banyak sekali yang berubah bahkan hilang. Nah persoalan-persoalan kebudayaan seperti ini, telah mendorong saya untuk lebih lebih fokus dengan etnofografi ini. 

Kebetulan tema yang saya pilih sekarang ini adalah bentang alam yang telah diteroka oleh nenek-moyang orang Minangkabau yang disebut dengan Minangkabau Cultural Landscape tersebut atau Lanskap Budaya Minangkabau.

Apakah pameran etnofotografi ini yang pertama kali dilakukan atau sudahpernah dilakukan dengan tema-tema etnis dan budaya Minangkabau?

Sebelumnya saya belum menggunakan lebel pameran etnofotografi, tetapi secara konseptual pameran foto saya sebetulnya secara substantif dapat dikatakan sebagai pameran etnofotografi atau bisa juga disebut dengan etnofotografi visual. Cuma saja saya belum menggunakan lebel tersebut.

Kalau dilihat dari tema-tema pameran saya sebelumnya, misalnya yang digelar di Gallery East_West Centre, Honolulu, berjudul Minangkabau Procession of Sumatra, sebetulnya adalah sebuah pameran dengan pendekatan etnografi visual (etnofotografi). Namun sub-sub tema yang ada di dalam pameran itu begitu luas dan beragam.

Ide dasar pameran di Gallery East-West Centre yang berlangsung antara 27 Februari sampai 29 April 2012 tersebut, adalah mencoba mengungkapkan tradisi budaya masyarakat Minangkabau melalui arak-arakan dalam bentuk prosesi.

Ada lima sub-tema yang ditampilkan, yaitu prosesi dalam perkawinan, prosesi dalam pengangkatan penghulu, prosesi dalam acara Maulid Nabi, prosesi dalam acara silat ulu ambek (seni), serta prosesi dalam upacara kematian yang disebut dengan “Manyaratuih Hari”. Jadi temanya sangat luas, karena di dalam pameran tersebut, tidak hanya foto yang ditampilkan, tetapi juga ada artefak dan atribut dari setiap sub-tema.

Nah sekarang saya hanya menggunakan suatu tema tunggal, yaitu ingin memamerkan karya budaya nenek-moyang orang Minangkabau dalam meneroka alam berbasiskan kearifan lokal Alam Takambang Jadi Guru, yang secara umum dikenal dengan cultural landscape. Artinya temanya lebih fokus, akhirnya saya melebeli pameran ini dengan istilah etnofotografi.

Karya foto-foto yang dipamerkan berapa banyak dan periode foto yang dihasilkan semenjak kapan?

Jumlah fotonya sekitar 75 buah dengan berbagai ukuran, dan itu dibuat dalam rentang antara tahun 1997-2021.

Karena mengambil tema "Minangkabau Cultural Landscape" adakah secara tegas foto-foto yang dipamerkan ini mendikotomikan antara “darek” dengan “pasisia (rantau)”, atau “ranah” dengan “rantau”?

Saya tidak membuat dikotomi antara darek dan rantau. Walau pameran ini lebih terfokus pada bentang alam di pusat pemukiman tradisional Minangkabau, yaitu Luhak Nan Tigo, namun saya juga memajang sejumlah foto tentang daerah pesisir sebagai perbandingan untuk mengambarkan karakternya yang berbeda dengan yang ada di darek.

Sebagian besar foto-foto yang saya pamerkan adalah wilayah dataran tinggi Minangkabau, yang ada di lembah-lembang pegunungan dengan karakter atau tekstur alamnya yang tidak rata. Berada di antara lembah-lembah yang sempit atau kemiringan yang cukup ekstrem sehingga memperlihatkan hasil teroka yang menurut saya luar biasa.

Ada sejumlah pertanyaan yang cukup mendasar untuk kita jawab, misalnya apa alasannya nenek-moyang orang Minangkabau memilih kawasan-kawasan alam yang relatif sulit untuk dijadikan pemukiman dan diteroka. Bagaimana mereka bisa mengatur sistem pengairan yang sumber airnya yang relatif kecil atau sulit, namun dapat terdistribusi secara bak.

Kemudian yang menarik juga adalah keragaman warna dari bentang persawahan atau parak (kebun) karena musim tanam yang berbeda. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari foto-foto yang akan saya pamerkan. Mungkin masih banyak pertanyaan yang akan muncul dari foto-foto yang akan dipamerkan dan saya mencoba menggali jawabannya melalui warisan budaya Minangkabau itu sendiri, meskipun di dalamnya akan ada tafsir yang mungkin bersifat subjektif.

Dari tema "Minangkabau Cultural Landscape", dalam perspektif kultural, apa yang kini tengah berlangsung pada budaya Minangkabau dalam kerangka tema foto yang dipamerkan?

Memandang bentang alam dari apa yang disebut Minangkabau Cultural Landscape ini, baik ketika saya memadangnya secara langsung setelah pemotretan atau ketika mencoba membaca foto-foto tersebut melalui layar komputer, kesimpulan saya sementara betapa dekatnya nenek-moyang orang Minangkabau dengan alam itu sendiri. Mereka berhasil meneroka sesuai dengan karakter alam itu sendiri.

Ini sesuatu yang sangat memukau dan mengagumkan. Sementara apa yang terjadi pada kawasankawasan baru, terutama wilayah pemukiman dan areal lahan ekonomi lainnya, saya kira “kedekatan” manusia Minangkabau masa kini dengan alam yang mengitarinya sudah mulai berjarak. Ada banyak kawasan baru yang sama sekali tidak lagi memikirkan ekosistem lingkungan dan kehilangan rasa estetis dalam mengelola alam itu sendiri. Namun untuk pameran kali ini, saya tidak akan banyak bercerita tentang perubahan atau perkembangan tersebut, karena hal ini juga merupakan sebuah topik kajian visual yang sangat luas dan membutuhkan kerja tersendiri.

Pada pameran yang akan datang, saya lebih banyak memaparkan secara visual foto-foto dari bentang alam Minangkabau yang menurut saya masih cancang latiah (karya budaya) nenek-moyang orang Minangkabau, meskipun di dalamnya mungkin juga ada sedikit perubahan.

Oh iya, pameren etnofotografi "Minangkabau Cultural Landscape"  yang digelar di Galeri Taman Budaya sebagai program kerja sama dengan Disbud-Tambud atau program sendiri?

Program pameran ini tentu saja merupakan sebuah kerja sama. Saya diberi dukungan dalam bentuk menggunakan fasilitas pameran di Galeri Taman Budaya. Sedangkan biaya lainnya sepenuhnya merupakan biaya yang saya cari sendiri. Jadi kerja sama hanyalah dalam penggunaan tempat pameran.

Apakah ada rencana semua karya foto Bung diterbitkan dalam bentuk buku dengan segenap perjalanannya?

Rencananya begitu tetapi menerbitkan sebuah buku foto pada situasi sekarang yang serba digital bukanlah sesuatu yang mudah. Begitu banyak media digital yang menjadi wadah untuk mempublikasikan hasil-hasil karya foto. Namun saya masih akan berusaha menerbitkan, dan tentu dengan suatu pendekatan yang lebih spesifik sehingga buku foto tersebut tetap memiliki daya tarik.

Tapi insyaallah untuk pameran ini saya akan menerbitkan sebuag katalog digital. Selain memuat berbagai catatan saya tentang foto-foto yang dipamerkan, juga sudah ada kesedian dari sejumlah tokoh nasional untuk ikut menulis tentang tema pameran, antara lain Garin Nugroho (budayawan), Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kemenerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), serta termasuk sejumlah peneliti dari luar negeri. Pewawancara Nasrul Azwar

BACA: Pameran Etnofotografi Edy Utama, Saksi Pergeseran Lanskap Minangkabau

Kpu

BACA JUGA