Adinegoro, Nama Pemberian Landjumin

-

Selasa, 09/02/2021 07:38 WIB
Ilustrasi detikcom

Ilustrasi detikcom

Adinegoro (nama lengkapnya Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo Sutan) adalah wartawan terkemuka dan salah seorang perintis pers Indonesia. Ia bahkan dijuluki “Bapak Pers Indonesia”.

Djamaluddin termasuk orang Indonesia pertama yang secara formal mempelajari ilmu publisistik di Jerman. Di Eropa ia juga mempelajari geografi, geopolitik, dan kartografi. Maka jadilah ia orang Indonesia pertama yang membuat atlas dalam bahasa Indonesia.

BACA: Landjoemin Datoek Toemanggoeng, Kematian yang Tragis?

Ia lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, 14 Agustus 1904 dan wafat di Jakarta, 8 Januari 1968. Djamaluddin mengawali pendidikan di HIS kemudian Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda dan anak pejabat terkemuka pemerintah Hindia Belanda, di Palembang. Ayahnya, Tuanku Laras Bagindo Chatib, sering berpindah tempat pekerjaan. Oleh karena itu, saat memasuki usia remaja, Djamaluddin diikutkan kepada saudaranya yang tertua yakni Muhammad Yaman Gelar Raja Endah, guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Palembang.

Muhammad Yaman beserta istri berusaha agar anak-anak maupun adik serta kemenakan yang ikut bersama mereka sekalian mendapat pendidikan modern. Selain Adinegoro, keluarga Muhammad Yaman juga menyekolahkan Muhammad Yamin (kelak menjadi ahli hukum/meester, sastrawan, dan beberapa kali menjadi menteri masa Presiden Soekarno) dan Muhammad Amir (kemudian menjadi dokter ahli jiwa terkemuka).

Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO Palembang, Djamaluddin masuk ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, karena ayahnya mengharapkan ia menjadi dokter. Sebagai anak Minangkabau, Djamaluddin lebih dulu membekali dirinya dengan empat kepandaian yakni pandai mengaji, pandai menjahit, pandai memasak dan pandai bersilat untuk membela diri. Rekannya di STOVIA antara lain Bahder Djohan, Ahmad Ramali, dan Mohammad Hanafiah.

Dari kegemarannya membaca, Djamaluddin tertarik ingin mengemukakan pendapat dan buah pikirannya di surat kabar. Tulisannya untuk pertama kali dimuat di Tjahaja Hindia, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Landjumin Datuk Tumenggung. Tulisannya terus mengalir dan selalu mencantumkan Dj, sebagai kependekan dari Djamaluddin.

Selain menerbitkan majalah Tjahja Hindia, Landjumin Datuk Tumenggung juga mencetak Harian Neratja di percetakan De Evolutie miliknya. Harian yang berafiliasi dengan Partai Serikat Islam (PSI) itu menurut ukuran zamannya cukup modern karena merupakan surat kabar milik bangsa Indonesia asli yang memuat foto, sesuatu yang sangat langka pada masa itu. Yang menulis di koran tersebut sebagian besar anak muda asal Sumatera antara lain Bahder Djohan, Siti Danilah Salim, Agus Salim, Abdul Muis, dan Kasuma Sutan Pamuntjak. Sedangkan Muhammad Yamin menerjemahkan Saidjah dan Adinda dan dimuat sebagai kisah bersambung di media itu.

Dalam berbagai kesempatan, sebagai orang yang lebih tua, Landjumin selalu memberi dorongan kepada anak muda yang ada di hadapannya. Jika membuat tulisan, Landjumin selalu mencantumkan nama Notonegoro dengan alasan “untuk menarik pembaca dari kalangan orang Jawa” sebagai penduduk terbanyak di Hindia Belanda. Djamaluddin pun disarankan agar melakukan hal yang sama, dan setelah itu setiap kali mengirimkan artikel ia selalu mencantumkan nama Adinegoro.

Kecanduan menulis, Adinegoro akhirnya keluar dari STOVIA dan melanjutkan sekolah ke Jerman untuk belajar ilmu publisistik. Ia ingin mengikuti jejak Abdul Rivai, seorang dokter bangsa Indonesia, yang selama belajar di Eropa banyak menulis di harian Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap.

Selama melakukan lawatan ke beberapa negara Eropa, Adinegoro secara teratur mengirimkan artikel ke majalah Pandji Poestaka, dan karangannya kemudian dibukukan dengan judul Melawat ke Barat oleh Penerbit Balai Poestaka. Ia juga secara teratur mengirimkan karangan ke Pewarta Deli (Medan) dan Bintang Timoer (Jakarta).

Adinegoro pernah bekerja selama enam bulan di Utrecht, Belanda. Selain menekuni bidang jurnalistik, perhatian Adinegoro juga tertuju terhadap bidang kartografi yang dipelajarinya di Wuerzburg. Sedangkan ketika menetap di Muenchen ia mempelajari geopolitik.

Tahun 1930 Adinegoro kembali ke Indonesia. Setibanya di tanah air, dia segera menerima tawaran untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Panji Poestaka. Akan tetapi, ketika Pewarta Deli mencari tenaga muda terpelajar untuk memimpin harian itu, Adinegoro pun pindah ke Medan dan mengemudikan harian tersebut dari tahun 1932 hingga Jepang masuk ke Indonesia.

Di bawah asuhannya Pewarta Deli mengalami kemajuan pesat. Tulisan Adinegoro dikenal karena analisisnya yang tepat. Rubrik “Pandangan Luar Negeri” yang diasuhnya sangat disukai pembaca. Terlebih-lebih saat pecah Perang Dunia II. Saat itu Pewarta Deli menerbitkan peta perang sendiri, hal yang tidak dilakukan oleh koran-koran lain. Di samping memimpin Pewarta Deli, Adinegoro juga mengemudikan majalah Abad XX, sebuah majalah umum populer yang isinya beraneka ragam.

Menjelang pecahnya Perang Pasifik, Adinegoro sudah mempunyai nama harum di kalangan kaum cerdik pandai di Medan. Atas prakarsanya, pada waktu-waktu tertentu kaum intelektual Indonesia menghadiri pertemuan untuk mendengarkan ceramah dari tokoh-tokoh terkenal saat itu.

Sesudah Proklamasi 1945, Adinegoro diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatera. Organisasi ini bergerak memelopori rakyat di Sumatera melaksanakan komando Presiden guna mengambil alih administrasi pemerintahan dari tangan Jepang. Selain itu, bersama-sama para pemimpin lainnya, Adinegoro akltif mensosialisaikan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Sumatera.

Pada masa revolusi, Adinegoro diangkat menjadi Komisaris Besar RI untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi. Di rumah kediamannya waktu itu berpancangan tiang-tiang bambu yang tinggi, sebagai alat penangkap siaran berita yang dipancarkan kantor berita Antara di Jawa. Ketika Clash I, kantor Antara di Bukittinggi dibom oleh Belanda. Pengeboman itu untungnya terjadi pada hari libur (Minggu) dan kantor dalam keadaan kosong sehingga tidak ada korban manusia. Namun, kantor Antara rusak berantakan.

Di Bukittinggi, dengan bantuan tenaga-tenaga muda, Adinegoro juga mendirikan harian perjuangan Kedaulatan Rakyat. Namun usianya tidak begitu lama karena penerbitannya terhenti setelah datang serangan Belanda. Adinegoro juga ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1946 di Solo. 

Setelah pindah ke Jakarta, yang sudah sepenuhnya dikuasai Belanda, bersama Prof. Dr. Soepomo, Pangeran Mohammad Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Mr. Jusuf Wibisono, Adinegoro ikut mendirikan majalah perjuangan Mimbar Indonesia. Mingguan ini mendapat sambutan hangat terutama dari kaum Republik, karena isinya menyuarakan semangat perjuangan serta bernafaskan republieken. Di samping mengemudikan Mimbar Indonesia, Adinegoro juga membantu harian Waspada yang baru terbit di Medan.

Di akhir Perang Kemerdekaan, bersama beberapa wartawan Indonesia, Adinegoro melawat ke Negeri Belanda untuk meliput Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah penyerahan kedaulatan, Adinegoro kembali ke Nederland untuk membuat atlas dunia. Inilah atlas pertama dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterbitkan oleh Penerbit Djambatan. Dua tahun lamanya dia berada di negeri Belanda untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Kembali ke Tanah Air, tahun 1950-an, bersama tokoh-tokoh masyarakat lainnya, Adinegoro mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta yang berkembang menjadi IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Publisistik). Adinegoro pula yang mengambil prakarsa (bersama PWI Cabang Bandung) mendirikan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran Bandung. Beberapa waktu sebelum Adinegoro meninggal dunia, universitas tersebut menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam ilmu publisistik kepada tokoh wartawan ini.

Bung Karno pernah menawari jabatan duta besar, tetapi Adinegoro menolaknya. Namun ia bersedia ketika ditunjuk menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Pada akhir hayatnya, Adinegoro bekerja di kantor berita Antara setelah cukup lama bekerja di kantor berita PIA. Djamaluddin meninggal dunia pada hari Minggu, 8 Januari 1968 dalam usia 64 tahun. Ia dimakamkan  di Pekuburan Karet. Pada batu nisannya tertulis, “Djamaluddin Adinegoro Gelar Datuk Maradjo Sutan”.

Pada tahun 1972, pemerintah menganugerahi Djamaluddin Adinegoro penghargaan sebagai Perintis Pers. Dan Sejak tahun 1974 PWI Jaya mengabadikan namanya untuk menamai penghargaan bagi karya jurnalistik terbaik yang diselenggarakan setiap tahun. Pada awalnya penghargaan tersebut diberi nama Hadiah Adinegoro, tetapi kemudian diubah menjadi Anugerah Adinegoro.

Setelah kurang lebih 20 tahun  menjadi program PWI Jaya, sejak tahun 1994 Anugerah Adinegoro dialihkan menjadi program PWI Pusat, atas kesepakatan antara PWI Pusat, Yayasan Adinegoro dan PWI Jaya. Namanya juga diabadikan sebagai nama Balai Wartawan (Kantor PWI Cabang Sumatera Barat) di Padang. (Hasril Chaniago)

Diambil dari buku "121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang"



BACA JUGA