Foto areal pembangunan jalan tol Padang-Sicincin-Bisnis-Arief Hermawan P.
Padang, sumbarsatu.com—Gubernur Provinsi Sumatra Barat Irwan Prayitno dinilai arogan dalam menyelesaikan pembebasan tanah masyarakat yang terpakai untuk pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera ruas Padang-Pekanbaru.
Penilaian itu disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat terkait dengan lontaran Irwan Prayitno yang dilansir media daring langgam.id, Senin, 29 Juni 2020 pukul 18:41.
“Sikap Irwan Prayitno yang disampaikan kepada wartawan itu terkesan mengandung arogansi kekuasaan. Dalam analisis Walhi, pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung-jawab dalam pembangunan jalan tol tersebut tidak menerapkan seutuhnya apa yang tertuang dalam peraturan yang berlaku dan kearifan lokal masyarakat di Minangkabau,” kata Yoni Candra, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumatra Barat kepada sumbarsatu, Minggu (5/7/2020).
Dalam pemberitaan itu, Irwan Prayitno mengatakan, memang masih ada penolakan dari masyarakat di sejumlah titik. Namun, juga sudah ada yang telah diselesaikan. Hal itu wajar dan tidak bisa dihindari tapi proses pembangunan tetap terus berjalan.
“Sebagian besar sudah jalan, bagi masyarakat yang menolak itu wajar, kalau tidak bisa damai ya udah kita bawa ke pengadilan, tidak ada cerita tanahnya tidak kita pakai, paham ya,” kata Irwan Prayitno.
“Tidak ada masalah, tapi prosesnya kita lalui dengan cara damai, cocokan harga, diskusi, pakai apraisal dan segala macam, kalau tidak mau damai juga ya sudah uangnya kita taruh di pengadilan dan tanahnya kita garap,” tambahnya.
Menurut Yoni Candra, tanah dan lahan milik masyarakat memang tak begitu luas, tapi pembangunan jalan tol di atas lahan masyarakat telah merenggut ruang-ruang kehidupan masyarakat demi kepentingan pembangunan dengan cara yang mengabaikan eksistensi masyarakat.
“Pernyataan seorang Gubernur seperti itu tentu ini sangat sangat disayangkan. Penentuan lokasi (penlok) I dan II untuk jalan tol itu terlihat semena-mena kepada rakyat kecil dan tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” urai Yoni Chadra.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 secara eksplisit menjelaskan proses pengakuan, mekanisme, peralihan dan pengadaan tanah untuk kepetingan umum. Ditambah lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelanggraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepetingan Umum.
“Wajar jika masyarakat yang menolak cara dan mekanisme penbebasan lahan untuk bangun jalan tol itu,” terang Yoni Chadra .
Dijelaskannya lebih jauh, pada beberapa titik hasil temuan Walhi Sumatra Barat di lapangan, dalam penentuan lokasi dan titik lahan masyarakat yang dipakai untuk jalan tol, tidak ada sama sekali pelibatan masyarakat.
“Ironisnya di beberapa titik tanah-tanah masyarakat dipatok langsung tanpa ada sosialisasi. Ini jelas tak benar karena tak ada persetujuan masyarakat. Padahal lahan-lahan itu merupakan kawasan produktif yang menjadi sumber ekonomi masyarakat.” katanya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Walhi Sumatra Barat, pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang membelah jantung ranah Minangkabau ini melintasi di sawah-sawah, lahan-lahan, dan pemukiman masyarakat. Sebagian besar berstatus tanah pusako. Tanah pusako merupakan tanah yang dimiliki secara komunal yang diwariskan secara turun-temurun di Minangkabau. Sementara, di kawasan perladangan masyarakat yang ada tanaman tuo dan tanaman mudo.
“Pantauan kami, titik perencanaan jalan tol mulai dari Kota Padang, Padang Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Kota Payakumbuh banyak melalui kawasan produktif. Ini menjadi masalah di kemudian hari. Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai masyarakat, apakah berdampak secara ekonomi dan sosial, sehingga menguntungkan masyarakat jangka panjang terhadap pembangunan jalan tol ini,” tambah Tommy Adam, Divisi Riset dan Database Walhi Sumatra Barat.
Tommy Adam mengatakan, pembangunan jalan tol akan berdampak kepada masyarakat yang akan dilalui jalan tol, begitu pun dengan penetapan lokasi yang merupakan wilayah produktif.
“Dari survei lapangan, lokasi jalan tol berada pada kawasan padat penduduk dan di atas lahan produktif. Selain itu, permasalahan soal nilai tanah yang akan bayarkan yang sampai kini belum jelas. Sementara lahan tersebut merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat. Begitu pun dengan minimnya sosialisai yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan jalan tol ini, sementara itu sudah di atur dalam proses pengadaan tanah, tetapi implemntasi di lapangan jauh panggang dari api. Dampaknya warga kebingungan terhadap informasi pembangunan jalan tol tersebut,” urai Tommy Adam panjang lebar.
Melintasi 74 Nagari
Dari hasil analisis Walhi Sumatra Barat, yaitu hamparan (overlay) Rencana Pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru dengan nagari di Sumatera Barat, terdapat sebanyak 74 nagari/desa, 20 kecamatan dan 7 kabupaten-kota yang terdampak dari rencana pembangunan tol ini. Selain itu, jalan tol ini setidaknya melalui kawasan cagar alam Lembah Anai. Jalan di tol ini direncakan akan dibuat terowongan lebih kurang sepanjang 9 km.
Kawasan sagar alam Lembah Anai sendiri adalah hutan yang berfungsi untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem alam dan cadangan kandungan air untuk di sumber air bagi masyarakat Kabupaten Padang Pariaman dan sekitarnya.
“Bila kegiatan ini tetap dilanjutkan tentunya akan menyebabkan keterancaman bagi kawasan cagar alam Lembah Anai,” ujar Tommy Adam.
Yoni Candra menegaskan, proses penentuan lokasi dan pembangunan bersifat top down merugikan rakyat kecil. Seharusnya, pemerintah mengakomodir keberatan-kebaratan penetapan lokasi atau jalur yang akan dilewati jalan tol tersebut begitu juga dengan penentuan nilai tanah yang terpakai.
“Jadi kurang tepat sikap dari Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno terkait cara pembebasan halan masyarakat untuk jalan tol tersebut. Kita di Minangkabau punya mamangan adat: “Bak manatiang minyak panuah, bak maelo rambuik dalam tapuang,” yang seharusnya ini yang dipraktikan Irwan Prayitno,” jelas Roni Candra. SSC/MN