OLEH Renita Sari (Akademisi)
SERING kali, dokumen kerja sama antarperguruan tinggi—yang lazim disebut MoU—berakhir rapi di dalam map dan lemari arsip. Ia ditandatangani, difoto, lalu perlahan dilupakan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Universitas Jambi (UNJA) dan ISI Padangpanjang. Kedua kampus ini memilih merayakan MoU dengan cara yang jauh lebih hidup: bertukar energi di atas panggung.
Kolaborasi seni yang digelar di Gedung Pertunjukan Hoeridjah Adam, ISI Padangpanjang, pada 18 Desember 2025, menjadi bukti bahwa kerja sama tidak harus berhenti di atas kertas. MoU diturunkan menjadi praktik, diwujudkan dalam kerja kreatif bersama mahasiswa.
Mas Ngo, Stage Manager dari UNJA, menegaskan bahwa MoU harus memiliki hasil nyata. “MoU harus punya turunan. Salah satunya ya kolaborasi ini,” ujarnya.
Ia datang langsung dari Jambi ke Padangpanjang dengan membawa sekitar 45 mahasiswa Prodi Karawitan dan Sendratasik UNJA, mayoritas angkatan 2024. Kehadiran mereka bukan sekadar kunjungan, melainkan partisipasi aktif dalam proses artistik lintas kampus.
Malam itu, penonton disuguhi rangkaian pertunjukan dengan emosi yang naik-turun. Bunyi khas kalinong membuka suasana, disusul intensitas Monolog Dendam Raja Hindustan yang membuat atmosfer panggung mendadak menegang. Tari Rentak Tak Pecah tampil enerjik, membuktikan bahwa gerak tradisional menyimpan daya yang kuat ketika dieksekusi dengan penghayatan.
Respons penonton pun menjadi bagian penting dari pengalaman kolektif tersebut. Tepuk tangan tidak selalu meledak; ada momen ketika ia tertahan, digantikan oleh keheningan singkat—tanda bahwa apa yang dipentaskan tidak sekadar menghibur, tetapi juga mengajak merenung.
Beberapa karya terasa menggugah bukan karena dramatiknya yang berlebihan, melainkan karena kejujuran rasa yang dihadirkan di atas panggung.
Puncak kolaborasi malam itu hadir melalui karya Eligi Manitiak Ameh, ketika UNJA dan ISI Padangpanjang benar-benar melebur. Karya ini merupakan pengembangan dendang Minangkabau yang diracik ulang secara bersama-sama.
Ia tidak tampil sebagai ajang unjuk kemampuan, melainkan ruang temu dan berbagi rasa. Tradisi Minangkabau dijadikan pijakan, tetapi tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang beku. Ia dibiarkan bergerak, diolah, dan dinegosiasikan. Dari sana lahir kemungkinan bunyi dan rasa yang baru—sebuah penegasan bahwa tradisi bisa bertransformasi dan dikerjakan secara kolektif.
Sorotan lain datang dari komposisi LARA, kolaborasi antara minat penciptaan tari dan minat penciptaan musik. Mengangkat tema pengkhianatan, karya ini menghadirkan kisah Putri Dayang Ayu yang dikhianati Dang Bujang. Kesedihan tokoh terasa personal, mengajak penonton masuk ke dalam luka melalui ekspresi tubuh dan gerak. Namun, jika harus menunjuk “pintu utama” dari keseluruhan kolaborasi ini, Eligi Manitiak Ameh tetap menjadi titik paling kuat—di sanalah dialog dua kampus terdengar paling jernih melalui nada.
Secara personal, kolaborasi ini terasa penting karena berhasil meruntuhkan ego sektoral. Identitas kampus yang biasanya hadir dengan kebanggaannya masing-masing, malam itu melebur di atas panggung. Tak lagi relevan mempertanyakan mana Jambi atau mana Padangpanjang; yang hadir adalah harmoni baru yang segar.
Pertunjukan ini juga menjadi pengingat bahwa seni tradisi tidak harus kaku dan menua. Di tangan mahasiswa, tradisi justru menemukan ruang untuk bernapas, bergerak, dan relevan dengan zamannya.
Ini bukan sekadar pertunjukan mahasiswa atau agenda turunan MoU, melainkan contoh konkret bagaimana dua identitas besar bisa saling melengkapi tanpa merasa lebih unggul satu sama lain—sebuah praktik kolaborasi yang patut dirawat dan diperbanyak di panggung-panggung seni lainnya.*