Banjir besar di Pulau Siberut melanda 5 kecamatan, 12 desa
Siberut, sumbarsatu.com— Yayasan Citra Mandiri Mentawai(YCMM) mendesak dan menuntut Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat agar mencabut izin pemanfaatan hutan yang sudah dikeluarkan dan meninjau kembali kelayakan konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Biomas Andalan Energi.
Direktur YCMM Rifai mengatakan, banjir besar yang melanda 5 kecamatan di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Jumat (30/4/2020) hingga baru susut Minggu (3/5/2020) kembali mengkonfirmasi bahwa kebijakan pemberian izin usaha pemanfaatan kayu baik kayu dari hutan alam (HPH) maupun HTI sangatlah tidak pas untuk daerah tersebut.
“Atas pertimbangan itu kami mendesak KLH dan Pemprov Sumbar agar izin perusahaan yang mendapat konsesi di Kepualauan Mentawai dicabut. Selain itu, sebagai wujud pertanggungjawaban perusahaan pemegang izin, juga bisa mengembalikan izin yang sudah diperoleh, sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap alam, lingkungan dan masyarakat,” kata Rifai kepada sumbarsatu, Senin (4/5/2020).
BACA: Konsesi HPH Penyebab Banjir Besar di Pulau Siberut
Berdasarkan data yang dikumpulkan YCMM, banjir di Pulau Siberut akibat meluapnya sungai-sungai yang daerah hulu dan daerah tangkapan airnya yang telah mengalami eksploitasi hutan (kayu) pada kurun waktu yang belum terlalu lama.
Daerah hulu Sungai Siberut (Sarereiket dan Silakoinan) yang menyebabkan banjir di Rogdok/Madobag dan Salappak merupakan bekas konsesi HPH PT CPPS. Pada daerah hulu dan daerah tangkapan air sungai Sikabaluan di Siberut Utara yang menyebabkan banjir di Bojakan, Sotboyak, Monganpoula dan Sikabaluan merupakan daerah konsesi HPH Salaki Summa Sejahtera yang masih beroperasi.
Banjir dari air sungai yang menggenangi Dusun Simoilaklak dan Sirisurak di Desa Saibi, Kecamatan Siberut Tengah merupakan daerah tangkapan airnya merupakan bagian wilayah konsesi HPH Koperasi Andalas Madani.
“Kini bahkan di daerah itu terbit izin baru untuk HTI PT. Biomas Andalan Energi. Sementara di daerah Malancan yang salah satu dusunnya juga mengalami banjir. Dulu bekas konsesi IPK KUD Sikabaluan dan IPK KSU Mitra Sakato dengan luas konsesi IPK 1.200 ha,” urai Rifai lebih detil.
Jika secara alamiah, tambahnya, daerah-daerah tersebut adalah daerah yang rawan banjir, maka curah hujan tinggi akan selalu mengakibatkan banjir. Karena itu mitigasi perlu dilakukan, dengan intervensi yang minimal terhadap alam di daerah-daerah tersebut.
“Pada daerah-daerah tersebut tidak boleh terjadi deforestasi baik karena izin pemanfaatan kayu hutan alam maupun izin pemanfaatan kayu hutan tanaman indistri. Tidak boleh ada bukaan lahan dalam skala yang luas. Karena itu model pemanfaatan alam yang harus didukung di daerah tersebut adalah “Tinungglu” sebagai sistem agro forest khas masyarakat adat Mentawai,” terangnya.
Seperti dilansir sebelumnya, sejak Kamis (30/4/2020) hingga Minggu (3/5/2020), sejumlah desa di Pulau Siberut dilanda banjir cukup besar, rata-rata ketinggian air 2 meter. Berdasarkan data sementara Pusdalops Mentawai, banjir terjadi di 12 desa yang tersebar di lima kecamatan di Pulau Siberut.
Banjir yang terjadi di Pulau Siberut bukan terjadi kali ini saja, namun terjadi hampir setiap tahun. Karena tingginya risiko banjir di Mentawai, dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Mentawai, daerah-daerah yang mengalami banjir saat ini sudah dikategorikan sebagai daerah dengan risiko sedang dan tinggi bencana banjir. Karena itu, selain karena sifatnya yang alamiah, kejadian banjir tersebut tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang yang pernah ada atas daerah-daerah tersebut.
Hal ini juga karena tidak tepatnya model pemanfaatan hutan untuk daerah-daerah tersebut, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah menetapkan dalam RTRW nya bahwa daerah-daerah tersebut dikelola melalui skema perhutanan sosial.
“Namun RTRW ini kandas karena KLHK memberikan izin pemanfaatan kayu hutan alam (HPH) dan hutan industri (HTI) di daerah tersebut,” pungkas Rifai. SSC/MN