
OLEH Suswinda Ningsih (Pemerhati Komunikasi Media)
Akhir-akhir ini dunia digemparkan dengan hadirnya virus Corona atau Covid-19. Virus ini bermula di Kota Wuhan, Cina. Menurut situs WHO Covid-19 merupakan virus yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan pada manusia dan akibat fatalnya adalah kematian. Namun tidak sedikit juga penderita Corona yang berhasil pulih.
Akhir tahun 2019 virus ini sudah meresahkan negara-negara yang terjangkit. Seperti di neraga lainnya, virus ini juga mewabah sampai ke Indonesia.
Saat negara lain sudah melakukan antisipasi dan menanggulangi wabah ini dengan berbagai upaya dan antisipasi. Sementara itu, Indonesia sempat mengklam bebas virus Corona. Berbagai opini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pun beredar di tengah media sosial. Mulai dari pernyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki daya tahan tubuh atau imun yang kuat, hingga merebak pada umat muslim tidak terkena corona karena air wudu dan menghafal doa-doa sebagai penangkal virus ini. “Santuy”, itu bahasa milenialnya saat Covid-19 mulai membuat cemas negara-negara di dunia, Indonesia tampil dengan percaya diri.
Meski kasus Corona semakin menyebar ke berbagai negara dengan merenggut korban jiwa terus merangkak naik selama kurun waktu tiga bulan, Indonesia masih tidak bergeming. Tak ada tanda-tandanya antisipasi apapun dari pemerintah jika virus ini berhasil tembus ke Indonesia.
Namun Senin 23 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan ada dua warga Depok yang jadi pasien positif Corona resmi mengumumkan dua warga negara Indonesia asal Depok, Jawa Barat, terpapar Covid-19. Presiden Jokowi megumumkan setelah tim Kementerian Kesehatan mengecek dugaan kedua orang tersebut terjangkit Covid-19.
Efek Berita Media
Pengumuman yang disampaikan Presiden Jokowi pada Senin pagi itu pun berbuah kepanikan. Panic buying terjadi pemborongan sporadis masker, cairan desinfektan, hingga bahan kebutuhan pokok di terutama DKI Jakarta dan sekitarnya.
Saat itulah sebagian mata masyarakat Indonesia terbuka dan mencari tahu tentang apa iu Corona. Dalam hitungan hari sejak pengumnan tersebut media di Indonesi dan juga media sosial gencar menyoroti Corona sebagai berita utamanya. Dengan cepat Corona menjadi topik yang seksi di berbagai media dan sosial media.
Kepanikan di tingkat masyarakat itu tak lepas dari ketidakjelasan pemerintah Indonesia dalam menanggapi wabah virus Corona. Padahal, dalam dua bulan terakhir, setidaknya negara-negara di seluruh dunia melahirkan kebijakan masing-masing yang bisa dikatakan tegas terkait risiko wabah Corona.
Dampak panjangnya masyarakat panik membeli bahan pokok yang berlebihan, kemudian kedua nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok, banyak pengusaha yang rugi juga, perhotelan dan pariwisata.
Kepanikan itu juga dipucu oleh banyaknya jalur informasi yang diterima masyarakat dari berbagai sumber, baik melalui media maupun media sosial. Adanya pengaruh media yang ditimbulkan oleh pesan media menghasilkan perubahan sikap atau penguatan terhadap keyakinan khalayak. Sementara itu, efek media adalah efek yang dapat diukur sebagai hasil dari pengaruh media atau pesan media.
Efek media dapat bersifat positif atau negatif, langsung atau bertahap, maupun jangka pendek atau jangka panjang. Namun perlu dipahami pula bahwa tidak semua efek media menghasilkan perubahan terhadap khalayak. Beberapa pesan media diketahui hanya memberikan efek memperkuat keyakinan yang ada. Hal ini didasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli mengenai pengaruh terpaan media terhadap perubahan kognitif, sistem kepercayaan, dan sikap khalayak.
Menurut Stanley Cohen pemikir yang pertama kali memperkenalkan istilah “kepanikan moral” dalam bukunya Folk Devils and Moral Panic, merujuk pada kondisi/orang/sekelompok orang yang dengan segala perilakunya menjadi suatu ancaman pada nilai-nilai moral dan sosial masyarakat, yang kemudian dipresentasikan melalui media massa.
Menurut Cohen, media tidaklah merepresentasikan secara objektif, namun melakukan konstruksi terhadap kelompok ini, sehingga menimbulkan kepanikan moral pada level sensasional ataupun kekerasan.
Teori kepanikan moral masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan terhadap ketakutan sosial saat ini. Teori kepanikan moral diduga menjadi penyebab atas spiralnya efekmedia dalam dimensi pembentukan opini publik di media massa.
Inti dari konsep “moral panic” adalah bahwa kepanikan publik yang berlebihan (ketakutan masyarakat yang berlebih) atas masalah sosial bisa jadi keuntungan bagi media massa. Media massa memerlukan konten berita yang menggoda untuk menarik para pemirsa atau pembacanya yang ujung-ujungnya akan menarik para pengiklan. Dan, informasi yang dapat melahirkan kepanikan adalah informasi yang sangat menarik yang tentu saja mampu mendatangkan keuntungan.
Masyarakat mulai “aware” akan ancaman virus baru ini. Akibatnya apapun informasi tentang corona diterima mentah-mentah tanpa melihat kebenaran akan informasi tersebut. Media sosial marak dengan info-info virus ini. Mereka yang tergolong selebritas mulai mengunggah tentang Corona. Tak jarang hoaks pun beredar dengan cepat, dan saling “mengoreng” isu serta mencari kambing hitam siapa yang akan dijadikan tumbal dalam kemelutnya Corona.
Sejauh ini masyarakat di Indonesia telah diimbau oleh pemerintah untuk tetap tenang dan tidak panik. Tujuannya agar masyarakat bersama pemerintah mudah mengontrol dan menangani masalah virus dengan baik.
Minggu 15 Maret 2020 Presiden Joko Widodo memerintahkan pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (ASN) bisa bekerja dari rumah guna mengantisipasi penyebaran virus ini dan bertambahnya korban baru. Menindaklanjuti arahan Presiden RI dan pernyataan Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo yang mengizinkan PNS di seluruh Indonesia bekerja dari rumah.
Ajuran working from home/WFH juga didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim. Menteri muda yang akrab dengan sapaan “Mas Menteri” ini merumahkan anak sekolah dan menunda pelaksanaan ujian nasional (UN). Hal itu sebagai langkah mencegah penyebaran Covid-19. Nadiem mengapresiasi langkah proaktif yang dilakukan di semua lini pemerintahan daerah serta mitra di kalangan swasta dalam menerapkan metode belajar online atau dalam jaringan (daring).
Memasuki fase ini respons masyarakat Indonesia seolah terpecah. Sebagian masyarakat mulai serius menanggapi virus yang semakin lama semakin menimbulkan banyak korban jiwa ini. Namun sebagian lainnya terlihat acuh tak acuh dan menganggap enteng dengan adanya Covid-19 ini. Saat sebagian masyarakat mulai mekukan social distancing namun sebagian lainnya malah menjadikan ajang WFH sebagi liburan keluarga atau kumpul-kumpul.
Meskipun media massa dan sosial media gencar mengimbau untuk melakukan social distancing, sepertinya hal tersebut tidak membawa pengaruh yang berarti. Bahkan saat mereka tau di beberapa negara telah memberlakukan lockdown guna mengantisipasi ganasnya virus ini, tetap masih ada saja masyarakat yang berkeliaran dengan santainya, bahkan membiarkan sebagian anak-anak mereka bermin di ruang terbuka.
Dalam kasus ini ada beberapa kelompok yang terbentuk dari wabah Covid-19 ini. Pertama, kelompok yang panik menghadapi Covid-19. Kelopok ini melakukan panic buying, menimbun kebutuhan pokok, biasanya mereka ini orang yang memiliki kemampuan finasial menengah atas. Pilihan menimbun kebutuhan agar saat terjadi hal terburuk akibat Covid-19 dan diberlakukan status lockdown di Indonesia mereka tetap aman.
Kelompok panik ini terus mencari informasi tentang Covid-19 dari semua sumber, untuk mengantisipasi terkena virus tersebut. Kadang mereka tidak bisa membedakan berita real ataupun hoax. Mereka tidak hanya melakukan social distancing saja, namun juga bertahan di rumah dengan ekstra kebersihan agar terhindar dari Covid-19. Kelompok ini bisa dikategorikan minim terkena Covid-19.
Kedua, mereka yang “santuy” menghadapi Covid-19. Seakan ribut-ribut Covid-19 di media dan sosial media seperti ribut-ribut pemilu yang akan sirna begitu saja, jika telah habis masanya. Mereka mengindahkan imbauan pemerintah untuk beribadah di rumah dan tetap melakukan kegiatan sehari-hari dengan kontak langsung dengan siapa saja.
Tidak berusaha mencari informasi tentang Covid-19 dari sumber terpercaya, hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong, karena menganggap Covid-19 bukanlah masalah yang serius. Sebagaian mereka berpendapat Covid-19 merupakan takdir dan santai saja menjalani. Tidak membeli kebutuhan yang berlebihan, namun menyalahkan Covid-19 seebagai melonjaknya harga kebutuhan pokok.
Namun apakah mereka benar-benar santai saat terkena Covid-19? Tentu saja tidak, kelompok yang seperti ini selalu punya alibi untuk salahkan dalam kondisi apapun. Biassanya kelompak ini tidak peduli informasi yang mereka nilai merugikan mereka. Apakah itu pemerintah atau bahkan media yang kurang sosialisasi. Biasanya kelompok ini, mereka dari finansial menengah bawah dan pendidikan menengah bawah juga. Mereka rentan terkena Covid-19
Ketiga, kelompok yang bekerja sebagai pelayan publik. Mereka ini biasanya paham akan bahaya Covid-19 namun terpaksa melakukan kegiatan di luar rumah. Biasanya mereka bekerja sebagai pelayan publik, trasportasi, jurnalis, keaman dan sebagainya. Kelompok ini dari kalangan menengah atas baik dari segi finansial maupun pendidikan.
Mereka melakukan antisipasi diri agar terhindar dari Covid-19 tersebut, mulai dari menjaga kebersihan hingga meningkatkan staminanya. Mencari informasi bagaimana menghadapi Covid-19 berusaha melakukan social distancing dengan menjaga jarak aman. Kelompok ini juga tidak melakukan panic buying. Mereka ini juga rentan terkena Covid-19.
Keempat, mereka yang paham kondisi saat ini. Kelompok ini selain mencari dan mengikuti informasi yang akurat tentang Covid-19. Mereka juga tidak panik dan juga tidak terlalu santai menanggapi kasus wabah Covid-19. Melakukan social distancing dan berusaha untuk melakukan pekerjaan di rumah sesuai anjuran pemerintah. Berusaha menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terhindar dari virus.
Terus memantau perkembangan kasus Covid-19 melalui media terpecaya dan melakukan gerakan sosialisasi tentang Covid-19 melalui media sosial, agar tidak adalagi korban bertambah. Mencoba mencari solusi untuk membantu penggalangan dana bagi mereka yang membutuhkan bantuan akibat wabah Covid-19. Mereka ini digolongkan yang kecil kemungkian terkana virus.
Kelima, mereka yang berada di garda depan atau tim medis. Kelompok ini menjadi penjinak wabah Covid-19 dan mereka rentan juga terkena virus ini. Mereka paham benar tentang virus ini dari keilmuanannya. Mereka berinteraksi dengan orang-orang yang terkena virus unuk disembuhkan. Mereka adalah kelompok orang yang sangat rentan terkena virus.*