“Ibu Pendidikan” Nagari Kolok

ASMA K, A.MA.PD, BUNDO KANDUANG NAGARI KOLOK

Sabtu, 01/02/2020 12:25 WIB
ASMA K

ASMA K

sumbarsatu membuka rubrik JANO, dalam bahasa Minangkabau berarti pikiran, pangana seseorang tentang sesuatu yang didalaminya,atau profesinya. Rubrik ini membentangkan secara panjang lebar dan mendalam jano seseorang sesuai dengan latar dan kompetensinya.

Penulisannya bisa dengan bentuk wawancara atau deskripsi-naratif. Kehadiran sosok yang ditampilkan tidak berkala. Ia bisa hadir kapan saja. Yang ditonjolkan kepermukaan ialah pikiran atau janonya.

JANO ketiga ini sosok ilmuwan Bundo Kanduang Nagari Kolok, Sawahlunto, Asma K, A.Ma.Pd. Asma lahir di Kolok 12 Agustus 1945, lima hari menjelang proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menamatkan pendidikan di SPG Padang Panjang. Pengabdian panjang sebagai guru di Nagari Kolok, Bundo Asma mendapat julukan “Ibu Pendidikan” Nagari Kolok.

Asma sangat menaruh perhatian pada budaya dan tradisi Minangkabau. Ia sempat gelisah melihat ketidakpedulian anak muda—yang ia sebut puti bungsu dan rang mudo—kepada budaya Minangkabau, terutama di Nagari Kolok. Belakangan gelisah berkurang karena ia lihat puti bungsu dan rang mudo sudah mulai tertarik mempelajari dan mempraktikkan kegiatan alek tradisi, dan  mereka tertarik.    

Untuk seni tradisi Minangkabau, ia pun ikut mengembangkan dan memberdayakan Sanggar Tigo Saayun dan Kelompok Randai Minang Saiyo di Desa Kolok Nan Tuo. Dua wadah para rang mudo dan putui bungsu ini menjadi tempat yang ideal mengajarkan adat dan tradisi Nagari Kolok, khususnya, dan Minang­kabau umumnya. REDAKSI 

----------------------------------------------------------------------------------------

Ia yakin, puti bungsu dan rang mudo di nagari-nagari, terutama di Desa Kolok Nan Tuo, adat dan tradisi Nagari Kolok, Minangkabau umumnya, akan terus lestari dan terawat karena keterlibatan mereka dalam setiap peristiwa adat dan agama Islam.

Sosok bundo kanduang ini masih terlihat segar dalam usia 74 tahun. Namanya Asma K, A.Ma.Pd. Asma lahir di Kolok 12 Agustus 1945, lima hari menjelang proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Ia perempuan pertama dari Nagari Kolok yang menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD). Setamat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1966, Asma rencana ditempatkan di Nagari Guguak Malalo, Tanah Datar, tapi karena jauh, keluarga meminta agar ia mengajar di dekat kampung saja. Maka, penempatan Asma pertama sebagai guru di SD Bukik Godang, di Kecamatan Talawi. Asma menjadi guru di Bukik Godang  ini selama dua tahun, 1967-1969.

Asma mengajar berbagai mata pelajaran termasuk olahraga. Pada tahun 1970, ia pindah mengajar di kampung halaman­nya di SD Kolok. Di SD Kolok ini Asma mengajar selama 30 tahun. Pada 2001 Asma pensiun sebagai guru dengan jabatan terakhirnya Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto.

Kendati sudah pensiun, tenaga dan pikiran, serta pandangan Asma terutama bidang pendidikan, adat, dan budaya Minangkabau masih diperlukan banyak pihak. Pihak Kandepdikbud Kecamatan Talawi acap mengajak dan meminta pendapatnya terkait kemajuan bidang pendidikan, adat dan budaya Minangkabau.

Sesuai dengan bidang pendidikan yang didalaminya di SPG Padang Panjang, Asma tetap konsisten memajukan sektor pendidikan sebagai dasar pembangunan manusia ini. Tujuan utama dan semangat seorang guru yang dididik di SPG Padang Panjang itu ialah melahirkan dan mencetak calon-calon guru yang mandiri, serta menjadi guru yang baik untuk murid-muridnya.

Kini, ratusan murid-muridnya, yang pernah ia sentuh dengan beragam mata ajar yang diajarkan di SR, bertebaran di pelbagai penjuru Tanah Air dengan beragam profesi. Supriadi Mukri, seorang wartawan senior pernah menjabat sebagai Kepala Desa Kolok Nan Tuo (2013-2019) dan  Ir. H. Dahler Djamaris Datuak Pengulu Sati, M.Sc, Ketua LKAAM Sawahlunto merupakan murid-murid Asma saat di SR Kolok.  

Terkait dengan sekolah pendidikan bagi ingin menjadi guru, Khairul Jasmi, wartawan plus sastrawan, sekaligus alumnus SPG Padang Panjang, dengan fasihnya mengisahkan romantika dan dinamika perjalanan murid-murid sekolah ini dalam novel: Lonceng Cinta di Sekolah Guru (2012). Mungkin, inilah satu-satunya karya fiksi berlatar sejarah SPG Padang Panjang yang pernah ditulis dalam bentuk karya fiksi.

Kini, sekolah guru yang mengemban sejarahnya sendiri, telah ditutup atas kebijakan pemerintah pada tahun 1997. Pada masa kolonialisme Belanda, sekolah ini merupakan sekolah pendidikan guru atau Normal School, satu-satunya berada di Minangkabau. Pada perkembangan berikutnya berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan akhirnya menjadi SMAN 1 Padang Panjang saat ini. Bangunan bersejarah ini, kini masuk sebagai benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Asma, salah seorang alumnus sekolah guru ini tentu saja mengalami dinamika kehidupan di SPG Padang Panjang.

Semasa masih aktif mengajar, aktivitas sosial di tengah masyarakat tak pernah padam. Ia bersama dengan bundo kanduang, puti bungsu (sebutan anak gadis yang belum menikah), dan para rang mudo di Nagari Kolok menghi­dupkan tradisi dan adat Minangkabau, terutama yang di Nagari Kolok.

Warisan Lewat Rang Mudo dan Puti Bungsu

Asma pun ikut mengembangkan dan memberdayakan Sanggar Tigo Saayun dan Kelompok Randai Minang Saiyo di Desa Kolok Nan Tuo. Dua wadah para rang mudo dan putui bungsu ini menjadi tempat yang ideal mengajarkan adat dan tradisi Nagari Kolok, khususnya, dan Minang­kabau umumnya.

Di sanggar dan kelompok randai ini, anak-anak mudo berinteraksi belajar randai, silek, tari-tarian, dan juga cara merias pengantin (marapulai dan anak daro), cara memasak dan menghidangkan makanan saat perhelatan, dan lain sebagainya. 

“Pembinaan adat, harus dikembangkan kepada yang muda-muda. Agar tercapai apa yang diinginkan, semua kegiatan harus dijadwalkan. Anak-anak muda itu kita libatkan dalam pengelolaan sanggar dan kelompok randai itu. Karena pada merekalah terletak maju dan mundurnya budaya tradisi dan adat yang kita miliki,” kata Asma. 

Selama bermasayarakat, banyak peran dan posisi yang signifikan yang diamanahkan kepada Asma. Asma pernah sebagai Ketua Bundo Kanduang Talawi selama 10 tahun (1980-1990). Pada 1995-2005 jadi Ketua Bundo Kanduang Kecamatan Barangin, serta selama 1 periode lima tahun (2011-2016) dipercaya sebagai Ketua Bundo Kanduang Kota Sawahlunto. “Kini Bundo sebagai penasihat sajo lai di lembaga Bundo Kanduang,” tambahnya.

Lembaga Bundo Kanduang yang penganggarannya di bawah Bidang Kesra Pemerintah Kota Sawahlunto, maka program dan kegiatan yang akan dijalankan harus disiapkan dengan mengirimkan proposal ke bidang ini setahun sebelumnya.

“Dulu banyak kegiatan lokakarya, bimbingan adat, memasak, dan pendidikan keterampilan dilakukan Bundo Kanduang, baik di tingkat KAN, maupun kecematan, dan kota. Sekarang sudah agak kurang. Mungkin dananya sudah digabung dengan dana bantuan desa (bandes) kali ya,” urai Asma dengan nada agak tinggi.

Bundo yang bersuamikan almarhum Syamsumir Datuak Panghulu Sutan, yang pernah menjadi Ketua Kerapatan Adat Nagari Kolok, tetap merasa prihatin dengan kurangnya semangat kecintaaan generasi muda terhadap adat budaya Minangkabau, khususnya yang ada di Nagari Kolok ini.

Namun demikian—paling tidak tiga tahun terakhir—rang mudo dan puti bungsu di Nagari Kolok sudah mulai tertarik dengan adat dan tradisi yang dimiliki di nagari

“Rang mudo dan puti bungsu, saat ini tak begitu banyak memahami adat dan tradisi kita sehingga memunculkan kecemasan tradisi dan adat kita akan ditinggalkan. Tapi Bundo yakin, jika pendidikan dan mengajak mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan adat, perhelatan, dan lainnya, adat kita tak akan hilang. Kita, terutama Bando Kanduang Kolok, selalu melibatkan anak-anak mudo dan kini mereka telah mulai tertarik dengan adat dan budaya Minangkabau dan Nagari Kolok,” papar Asma.

Menurut Bundo Kanduang yang dikaruniai anak 2 pasang, cucu 10 orang, dan cicit 1 orang ini, pembinaan dan pengenalan adat dan budaya Minangkabau dan kepada anak-anak mudo sekarang ini tentu berbeda dengan cara dan pola pada masa dulu.     

“Saya berharap pemerintah juga memberikan perhatian penuh dan berkesinambungan penganggaran untuk pembinaan serta bimbingan adat dan budaya Minangkabau, dan tentu di Nagari Kolok. Jika anggaran pembinaan sering terputus, maka program-program kegiatan adat dan budaya akan tersendat. Lembaga KAN dan Bundo Kanduang jika dianggarkan secara rutin oleh Bagian Kesra, akan bisa pula membuat kegiatan yang berkelanjutan dengan memperkuat kapasitas orang-orang mudo dalam pema­haman adat dan budaya di Nagari Kolok, dan juga Desa Kolok Nan Tuo,” urai Asma.

Masakan Tradisi Khas Nagari Kolok

Asma menceritakan, selain adat dan tradisi yang begitu bervariasi dan kaya dimiliki Nagari Kolok yang tersebar di tengah masyarakat, termasuk di Desa Kolok Nan Tuo, nagari ini juga memiliki kekayaan masakan yang sangat variatif dan beragam.

Masakan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, hingga saat ini  masih tersebar di tengah masyarakat.

Menurut Asma, masakan khas Nagari Kolok, yang juga Desa Kolok Nan Tuo, yang jenis dan peruntukan serta keha­dirannya sesuai dengan peristiwa agama dan adat setempat, kini sangat diminati kaum muda puti-puti bungsu di Desa Kolok Nan Tuo.

“Mungkin karena dunia masak memasak dekat dengan kaum padusi, maka masakan tradisi khas di Desa Kolok Nan Tuo, kita tak perlu cemas akan ditinggal masyarakat dan berganti dengan masakan lain. Bundo yakin sekali anak-anak gadis di Desa Kolok Nan Tuo pintar memasak, ter­­utama masakan tradisi dan adat,” terang Bundo Kanduang ini.

Dalam kegiatan-kegiatan adat, malewakan gelar adat, perhelatan dan perkawinan, kata Asma, makanan dan masakan khas nagari ini, dihidangkan sesuai dengan tata dan aturan adatnya.    

“Masakan-masakan khas adat itu dimasak dengan melibatkan kesertaan puti bungsu dan anak-anak gadis di Nagari Kolok ini. Mereka sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Begitu cara kami di Bundo Kanduang agar mereka mencintai adat dan budaya yang mereka miliki ini. Jadi soal masakan tradisi, umumnya para puti bungsu itu sudah pandai sejak mereka duduk di bangku SMP. Jika kelak merantau menuntut ilmu, bekal mereka sudah ada,” kata Bundo tertawa lepas. 

Beragamnya masakan khas tradisi di Nagari Kolok, merupakan potensi ekonomi yang masih belum tergarap maksimal. Jikapun ada tergarap sebagai penghasilan dan pendapatan keluarga di tengah masyarakat Kolok Nan Tuo, tapi pengelolaan dan promosinya masih terbatas sehingga permintaan dan pemesanan tidak begitu banyak.

Maka dengan demikian, secara ekonomis belum bisa menopang sebagai penghasilan sebuah keluarga. Butuh sentuhan dan penataan secara serius sehingga potensi kuliner dan makanan khas Kolok bisa menjadi usaha ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jenis makanan khas Desa Kolok Nan Tuo yang bisa dikembangkan jadi usaha ekonomi rumah tangga antara lain, kalamai, pinyaram, wajik, lomang tungkek, nasi lomak, kue bolu besar, kue bolu kecil, agar-agar, lopek bugih, godok beras, godok luwo, goreng pisang, kue panggang, kue talam, dan lainnya.

“Saat ini arahnya sudah ada untuk pengelolaan yang serius tapi dilakukan bertahap. Program Pemerintahan Desa Kolok Nan Tuo sudah diarahkan ke usaha menengah dan industri rumah tangga yang tujuan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kolok Nan Tuo,” sebut Asma.

Apa yang disebut Asma ini, terkonfirmasi dengan program unggulan yang dilaksanakan Pemerintaha Desa Kolok Nan Tuo di bawah kepemimpinan Kepala Desa Kolok Nan Tuo Supriadi Mukri  atau dikenal dengan nama Adeks Rossyie Mukri.

“Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui perbaikan dan peningkatan sektor ekonomi merupakan salah satu dari empat program yang telah, sedang, dan akan kita lakukan dalam gerak percepatana pembangunan di Desa Kolok Nan Tuo. Sektor ekonomi dan pemberdayaaan potensi usaha-usaha rumah tangga menjadi perhatian utama dan prioritas kita, termasuk potensi makanan dan kerajinan,” kata Adeks Rossyie Mukri, yang juga seorang wartawan senior di Sumatera Barat, di tempat terpisah kepada saya, 1 Agustus 2019 lalu.     

Tiga program lainnnya yang dituju pembangunannya di Desa Kolok Nan Tuo, tambah sosok cekatan ini, ialah mengatasi dan memberikan kesempatan mendapatkan pendidikan yang merata (pendidikan dan pembangunan manusia).

Selanjutnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara maksimal (kesehatan), dan pember­dayaan dan pemerataan pembinaan kesadaran hokum bagi masyarakat Kolok Nan Tuo.

Dengan begitu, mengaktifkan Pasar Rakyat Nagari Kolok—yang lokasinya berada di Desa Kolok Nan Tuo—yang selama ini terkesan tak ada aktivitas perdagangan—menjadi program penting Pemerintag Desa Kolok Nan Tuo untuk menstimulan dan mendorong sektor usaha rumah tangga meningkatkan kapasitas produksinya.

“Mengaktifkan kembali Pasar Rakyat Kolok tujuannya agar ekonomi masyarakat bergerak dan aktivitas jual beli berjalan dengan baik. Usaha rakyat pun ikut terdongkrak,” terang Adeks Rossyie Mukri.

Asma juga menerangkan, selain potensi dan kekayaan keragaman masakan khas Kolok, yang juga sangat besar potensi ekonominya, yaitu beragam kerajinan rakyat. Sama halnya dengan kuliner, secara ekonomi sudah digarap di usaha-usaha rumah tangga tapi masih bersifat sporadis dan belum dikembangkan serta direncanakan tata kelolanya.

“Aktifnya kembali Pasar Nagari Kolok diharapkan bisa memicu berkembangnya usaha kerajinan rakyat ini,” harap Asma.

Jenis kerajinan dan konveksi yang berpotensi ekonomi rakyat di Desa Kolok Nan Tuo itu antara lain, kerajinan renda, tudung adat, merangkai bunga, menghias dalamak, menjahit pakaian, menghias kue pesta dan sambal perhelatan, serta kerajinan lainnya. nasrul azwar



BACA JUGA