
Tuanku Manaro , juru kunci Rimbo Tolang
OLEH Y. Thendra BP (Jurnalis sumbarsatu.com)
Dharmasraya, sumbarsatu.com—Perjanjian magis ratusan tahun yang lampau, antara Kerajaan Koto Besar dengan urang aluih (makhluk halus), telah menjaga kawasan hutan dari kerusakan. Warisan turun-temurun yang masih dipegang teguh hingga saat ini di Nagari Koto Besar, Dharmasraya, Sumatra Barat.
Di jalan tanah, antara ladang karet masyarakat dan Rimbo Tolang, Wali Nagari Koto Besar Eko Noris (30) menuturkan kepada peserta Jurnalis Trip: "Rimbo Tolang adalah hutan adat milik Kerajaan Koto Besar di Nagari Koto Besar, Dharmasraya. Luasnya 18 hektare. Di dalamnya tumbuh berbagai jenis pohon tua dan langka, salah satunya pohon kompe."
Rimbo Tolang telah ditetapkan sebagai hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Mei 2019. Sama halnya dengan Rimbo Ubau yang luasnya 17 hektar. Jadi, total hutan adat di Nagari Koto Besar adalah 35 hektar.
Selain itu, menurut Eko, Rimbo Tolang adalah permukiman urang aluih. Mereka jadi penjaga utama hutan adat itu. Mereka memiliki hubungan batin dengan manusia yang mendiami Koto Besar.
Tak sampai sepeminuman teh Eko Noris memaparkan hal itu, ia mengenalkan Tuanku Manaro (68). Beliau adalah juri kunci Rimbo Tolang dan Wakil Kerajaan Koto Besar.
Kehadiran Tuanku Manaro mempertegas nuansa mistis Rimbo Tolang, hutan hujan tropis yang magis bakal kami masuki.
"Adakah pantangan yang tidak boleh dilakukan saat berada di dalam Rimbo Tolang?" tanya Yose Hendra Chotto, salah seorang peserta Jurnalis Trip.
Eko Noris mengatakan, pantangannya dilarang merusak tanaman, melakukan perkataan dan perbuatan kotor, dan buang air besar ataupun kecil sembarangan.
Selain itu, tertera pula spanduk "Dilarang Merokok" di pondok (gardu jaga) di gerbang masuk hutan adat.
Minggu (27/10/2019) berasak petang. Kami, gabungan jurnalis daerah dan nasional, dipandu oleh Eko Noris dan Tuanku Manaro memasuki Rimbo Tolang.
Kami merupakan peserta Jurnalis Trip, rangkaian Festival Pamalayu Dharmasraya yang berlangsung dari Agustus 2019-Januari 2020. Sebuah iven yang merayakan kembali Dharmasraya, melacak jejak masa lalunya.
Kami jalan beriringan di jalan setapak hutan adat. Tubuh-tubuh menggesau dedaunan dan semak, kadang tapak sepatu menginjak ranting kering, suaranya memekatkan kesunyian hutan.
Kira-kira sepelemparan tombak dari gerbang masuk hutan adat, ruang gerak mulai lapang, semak belukar tak terlalu rapat. Saya lihat kertas label tag maskapai penerbangan yang menggelayut di tas tripod milik seorang perempuan jurnalis berhijab dari Jakarta, bebas bergoyang-goyang.
Kertas itu juga berasal dari pohon di hutan, tapi telah menjadi asing. Seandainya kertas itu jatuh dan membusuk di tanah, tak bakal serupa dengan dedaunan dan rating yang menjadi humus menyuburkan tanaman lainnya.
Lalu, saya lihat Eko Noris berdiri di bawah pohon kompe. Ia tampak jadi kecil. Maklum, pohon tersebut berdiameter sekitar 2,5 meter. Saya pun menghampirinya.
"Pohon yang paling banyak di Rimbo Tolang adalah kompe. Diameternya paling besar 3 meter," terangnya
Tuturnya lagi, ada sekitar 300 jenis pohon dan sekitar 2.700 batang pohon. Di antaranya jenis pohon langka, bahkan hanya ada di kawasan itu.
Eko juga menyebutkan beberapa nama pohon itu, salah satunya kalompang.
Beberapa pohon yang ditemui di hutan larangan itu juga ditempeli seng kecil warna merah tertera nama dengan warna hitam, di antaranya pohon baniin.
"Selain nama daerah, nanti pohon-pohon di sini akan diberi nama Indonesia dan biologi, dan menjadi hutan edukasi," ucap Eko.
Apakah pohon-pohon di Rimbo Tolang yang telah dilabeli layaknya Kebun Raya Bogor kelak juga berangsur-angsur menjadi objek wisata? Bagaimana dengan urang aluih yang mendiami dan menjaga hutan adat dari kerusakan?
***
Saya dekati Tuanku Manaro, bertanya mengenai urang aluih. Mereka biasa juga disebut Bunian di Minangkabau.
Menurut Tuanku Manaro, pemimpin kaum Bunian di Rimbo Tolang adalah Datuk Pangulu Mudo.
"Setiap perhelatan di nagari, baik besar maupun kecil, kami mendatangi Rimbo Tolang untuk memberi tahu kaum Bunian di sini. Selain itu, juga menjaga hubungan batin," ucapnya.
Biasanya, Tuanku Manaro didampingi oleh satu atau dua orang lainnya. Mereka membawa tiga langkok siriah dan tiga batang rokok. Lalu melakukan "prosesi pemanggilan".
"Yang dipanggil adalah Datuk Pangulu Mudo dan Tuan Putiah Rajo Bunian," ucapnya.
Dulunya, tutur Tuanku Manaro, urang aluih dan warga Kerajaan Koto Besar hidup bersama di Bukik Simambang Biru, Kalapo Timbul--sekarang Nagari Koto Besar.
Sekitar 250 tahun yang lampau terjadi kesepakatan, urang aluih pindah dari Bukik Simambang Biru dan mendiami Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau. Sementara warga tetap bertahan. Mereka berjanji tidak saling mengusik. Jaraknya sekitar satu kilometer dari permukiman warga.
Kemudian Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau jadi hutan adat, hutan larangan. Warga dilarang menebang pohon dan merusak tanaman yang tumbuh di situ.
Pohon-pohon pun tumbang dan tumbuh dengan sendirinya dalam musim, dalam persalinan angin.
"Bagi yang melanggar hidupnya tidak berkah. Itulah sebabnya Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau masih terjaga hingga saat ini," kata Tuanku Manaro.
Ikatan alam dan manusia yang dijaga ratusan tahun itu masih jalin berpilin. Alam memiliki kedudukan penting dalam Adat Koto Besar.
Tetua Adat Koto Besar Datuk Rajo Alam, Datuk Suri Dano, dan Datuk Paduko Segar duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Datuk Pangulu Mudo, tetua magis Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau.
***
Pada masa Kolonial Hindia Belanda, Nagari Koto Koto Besar masuk Distrik Batang Hari. Dalam buku De Minangkabausche Nagari (1913) karya L.C. Westenenk disebutkan mengenai hutan adat rimbo larangan di Nagari Koto Besar itu, sebagaimana kutipannya berikut ini:
"Selain sebuah nagari, di Minangkabau juga terdapat sebuah lembaga yang dikelola dengan baik yaitu, hutan lindung dengan tujuan menghindari pantangan, sebagai akibat dari penambangan, dan melestarikan kayu untuk pembangunan rumah. Hutan terlarang atau rimbo larangan, begitu ia disebut. Hutan larangan tersebar di Tilatang Kamang (rimbo oerang nan sapoeloeali, yaitu hutan sepuluh kepala suku dari laras ini) di Fort de Kock, di Baroeh Goenoeng Soeliki, di hulu Batang Hari, dan terutama di negara-negara Kampar dan Mahat, di mana adat mengatur, sehubungan dengan rimbo larangan ini, bahwa penebangan kayu untuk pembangunan rumah hanya dilakukan dengan sepengetahuan sebelumnya dari pemegang ulayat dan bahwa tidak ada pajak adat yang dibayarkan. Rimbo larangan, hutan yang hampir tak tersentuh merupakan ekspresi murni dari persatuan dan semangat demokratis penduduk daerah sekitar hutan tersebut."
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga tidak mengganggu akses nagari hutan adat itu. Mereka mengakui eksistensinya. Sedangkan Rimbo Tolang sebagai hutan adat baru ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Mei 2019.
Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup mencatat hutan yang terbakar lebih dari 857 ribu hektar, dan hutan di Sumatra 168 ribu hektar lebih. Data Direktoral Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengatakan luas lahan sawit mencapai 14 juta hektar lebih. Indonesia telah menjadi produsen sawit nomor satu di dunia. Tentu saja, hutan ditumbalkan untuk pencapaian itu.
Pengakuan eksistensi hutan adat oleh pemerintah adalah salah satu solusi agar tidak semakin berkurangnya kawasan hutan. Apalagi, hutan adat merupakan satu kesatuan yang utuh dari tatanan adat sebuah masyarakat. Kearifan lokal hubungan antara manusia dengan alam.
***
Angin petang mulai bersalin menuju senja. Beberapa jurnalis masih memotret dan merekam suasana Rimbo Tolang, beberapa saling berbagi kata, beberapa lainnya bercakap-cakap dengan Eko Noris dan Tuanku Manaro.
Waktu tak banyak tersisa, sebentar lagi kami akan meninggalkan Rimbo Tolang, sebab tak ada persiapan menjadi malam di hutan.
Saya dekati Hesti, gadis Dharmasraya dan LO (local organization) Jurnalis Trip, yang duduk di atas sebatang kayu mati yang membelintang. Ia tampak manis dalam hutan adat yang mistis. Sungguh "realisme magis".
"Rimbo Tolang ini hutan yang unik. Di sini saya menemukan pohon langka, akar yang besar, dan tak ada bekas kayu yang ditebang atau dicincang. Nuansa mistisnya terasa benar. Saya baru pertama kali ke sini," pengakuannya.
Lalu, seperti cahaya ambang senja menyelusup di antara dedaunan, saya pun memotret Hesti di antara dedaunan. Jepret! *