Etika "Food Vlogger" dan Nasib UMKM Kuliner Kita

Rabu, 14/05/2025 00:16 WIB

OLEH Suswinda Ningsih, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi dan Pemerhati Media Digital)

 

DI era media sosial, siapa pun bisa menjadi penentu nasib orang lain. Termasuk para food vlogger, yaitu pembuat konten ulasan kuliner yang kini menjamur di YouTube, Instagram, hingga TikTok.

Dengan jutaan pengikut dan algoritma yang menguntungkan popularitas, opini mereka bisa memengaruhi persepsi publik dalam sekejap. Dampaknya tidak main-main—bisa mengangkat nama sebuah warung sederhana, atau menjatuhkan usaha kecil yang tengah bertahan hidup.

Food vlogger tak ubahnya seperti kritikus kuliner era baru. Bedanya, mereka bukan bagian dari institusi jurnalistik formal, melainkan individu yang membangun otoritas melalui pengalaman pribadi dan interaksi dengan audiensnya.

Mereka bukan sekadar pencicip makanan, tetapi juga produsen opini yang dipercaya audiens. Personal branding yang kuat memungkinkan mereka menjelma menjadi influencer kuliner, bahkan mitra promosi yang diincar berbagai merek dan pelaku UMKM.

Namun, di tengah euforia konten dan kejar viral, etika sering kali terabaikan. Kritik yang disampaikan dengan nada tinggi atau bahasa kasar sering kali menjelma menjadi vonis sepihak di ruang publik digital. Salah satu kasus yang cukup mencuat adalah food vlogger Codeblu, yang gaya bicaranya blak-blakan dan tanpa basa-basi. Beberapa ulasan kulinernya memang viral, tetapi juga memicu kontroversi karena dinilai menjatuhkan pelaku usaha kecil.

Menurut laporan CNN Indonesia (2024), setidaknya empat UMKM kuliner mengalami penurunan omzet yang signifikan setelah menjadi objek kritik Codeblu. Beberapa bahkan terpaksa menghentikan operasional sementara akibat tekanan sosial yang luar biasa.

Di sinilah letak persoalan etisnya: layakkah kritik kuliner disampaikan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis bagi pelaku usaha?

Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana relasi kuasa di era digital bekerja. Seorang vlogger dengan jutaan pengikut memiliki “panggung” yang jauh lebih besar dibanding warung kecil yang tak memiliki kanal pembelaan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial, jika tidak disertai tanggung jawab sosial, berpotensi menciptakan ketidakadilan baru.

Dosen dan pakar komunikasi Jose Marichal menulis bahwa konten viral sering kali mengejar emosi, bukan akurasi. Ini menjadi tantangan dalam budaya digital saat ini. Apa yang dimaksud sebagai kritik membangun justru menjadi konsumsi hiburan yang menjatuhkan. Kritik tanpa empati tak ubahnya seperti penghakiman di ruang publik tanpa proses klarifikasi.

Di sisi lain, tak sedikit food vlogger yang mampu menjadi agen promosi positif bagi UMKM kuliner. Mereka membantu memperkenalkan makanan tradisional, menjangkau pasar baru, hingga meningkatkan kesadaran terhadap kuliner lokal.

Pendekatan yang ramah, objektif, dan empatik seperti yang diperlihatkan oleh Nex Carlos dan Tanboy Kun patut menjadi contoh dalam menyampaikan ulasan kuliner tanpa merusak reputasi.

Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi komprehensif yang mengatur hubungan antara content creator dan pelaku usaha. Platform digital lebih sibuk mengatur skema monetisasi dibanding memberikan panduan etika komunikasi.

Pemerintah pun masih tertinggal dalam merespons dinamika komunikasi digital ini, padahal dampaknya sangat nyata bagi sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menunjukkan bahwa sekitar 70 persen UMKM kuliner masih bergantung pada promosi mulut ke mulut serta ulasan di media sosial. Dalam ekosistem yang sensitif ini, reputasi digital menjadi aset penting. Sekali rusak, sulit diperbaiki.

Karena itu, perlu ada kesadaran kolektif bahwa menjadi food vlogger bukan sekadar profesi hiburan, tetapi juga tanggung jawab sosial. Etika komunikasi, empati, dan kepekaan terhadap kondisi pelaku UMKM harus menjadi bagian dari praktik food vlogging. Kritik tentu boleh, tapi harus disampaikan dengan cara yang mendidik, bukan menjatuhkan.

Food vlogger adalah bagian dari ekosistem komunikasi publik yang baru. Perannya bisa besar membangun atau menghancurkan. Kita berharap profesi ini terus tumbuh dan semakin matang secara etis maupun sosial, demi mendukung UMKM kita bertahan dan berkembang di era digital.



BACA JUGA