Harmoni Unik Dua Etnik Minangkabau-Tionghoa

FESTIVAL BAKCANG DAN LAMANG BALUO 2019

Senin, 10/06/2019 08:30 WIB
Festival Bakcang dan Lamang Baluo di Padang harmoni dan akulturasi Minangkabau dan Tionghoa pecahkan MURI

Festival Bakcang dan Lamang Baluo di Padang harmoni dan akulturasi Minangkabau dan Tionghoa pecahkan MURI

Padang, sumbarsatu.com— Festival Bakcang dan Lamang Baluo di Padang mencatatkan sejarahnya sebagai sebuah kegiatan budaya yang sukses dengan harmoni dan akulturasi etnis Minangkabau dan Tionghoa sembari pecahkan MURI.

Sebanyak 10 ribu bakcang dipamerkan di atas gerobak hias berkepala naga. 10 ribu lagi lamang baluo berada di atas gerobak hias berkepala kerbau. Kedua makanan tersebut dibagikan kepada wisatawan yang datang. Dua kepala binatang itu secara budaya terkoneksi dengan etnis Tionghoa dan Minangkabau. 

Festival Bakcang dan Lamang Baluo yang digelar di Kawasan Kota Tua, Jalan Batang Arau, Padang, Sumatera Barat (Sumbar), dengan memadukan dua etnis ini, sukses memecahkan digelar. Malah memecahkan Museum Rekor Indonesia (MURI).

Raseno Arya, salah seorang anggota Tim Pelaksana Calendar of Event (CoE) 2019 Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menjelaskan, festival kuliner ini sebagai upaya memadukan dua budaya berbeda dalam satu wadah, pertama kalinya digelar di Indonesia.

“Selain mencatatkan rekor MURI, festival Ini diharapkan bisa menjadi contoh keberagaman dalam kerukunan dan menjadi pertama di Indonesia,” ucapnya.

Oleh karena itu, festival yang digelar pada 6-7 Juni 2019 akan diselenggarakan setiap tahun dan masuk ke dalam kalender pariwisata nasional. Ia berharap festival itu mampu mendongkrak kunjungan wisatawan ke Padang setiap tahun.

"Semua ada di sini, ini menunjukkan persatuan dan kesatuan Indonesia dan iven ini akan masuk ke dalam Calender of Event 2020," terang Raseno Arya.

Untuk itu, pihaknya berkoordinasi dengan Pemerintah Kota (Pemko) Padang terkait penyelenggaraannya.

Menurut Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, ke depannya festival akan diselenggarakan bertepatan dengan momentum libur Lebaran agar semakin banyak wisatawan yang berkunjung.

"Festival ini ditargetkan bisa mendatangkan kunjungan wisatawan sebanyak 15 ribu orang baik dari etnis Tionghoa maupun lainnya“ kata Mahyeldi.

Selain menarik wisatawan, tambahnya, festival itu merefleksikan kerukunan antara etnis Tionghoa dan Minangkabau di Ranah Bundo ini, yang sudah lama hidup berdampingan.

Sementara itu, menurut Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, banyaknya perbedaan antara kedua etnis itu justru menjadi kelebihan tersendiri, termasuk soal kuliner.

“Apalagi, kuliner ini bisa menjadi kenangan serta menjadi aset yang harus dijaga karena hasil dari nenek moyang kita yang muncul dari kreatifitas masyarakat," kata Irwan Prayitno.

Festival kuliner yang mencatatkan rekor pembuatan bakcang dan lamang baluo terbanyak untuk dua jenis makanan dari etnis Tionghoa dan Minangkabay masing-masing 10 ribu.

Senior Manager MURI Awan Rahargo mengatakan, keberhasilan Kota Padang dalam mencatatkan namanya dalam MURI.

"Festival budaya di Kota Padang ini telah berhasil meraih rekor MURI sekaligus telah dicatat sebagai rekor atas kreasi atas hasil karya anak bangsa Indonesia,” katanya.

Rekor MURI itu diserahkan senior manager MURI Awang Raharjo di hari puncak kegiatan, Jumat (7/6) sore di panggung utama bawah jembatan Siti Nurbaya. Penerima plakat penghargaan diantaranya Raseno Arya dari Kemenpar RI, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Wali Kota Padang Mahyeldi dan Wakil Wali Kota Hendri Septa serta Ketua Umum Panitia Pelaksana Festival Alam Gunawan.

Dari cacatan redaksi, sejak dimulainya festival ini pada Kamis (6/6/2019), dipadati pengunjung.

Ketua Panitia Alam Gunawan menyebutkan, bacang dan lamang baluo ini akan dibagi-bagikan kepada pengunjung pada siang hari. Selain itu, pengunjung akan disuguhi hiburan dari dua budaya, Tionghoa dan Minangkabau.

"Ide melaksanakan festival ini bermula dari keturunan tionghoa memikirikan apa yang bisa dilakukan untuk Kota Padang Tercinta ini, di mana merupakan panggilan hati kami untuk berbuat kepada Kota Padang," kata Alam Gunawan.

Dikatakannya, untuk pembuatan 10.000 bakcang dan 10.000 lamang baluo, pihaknya sudah meminta tenaga profesional yang sudah terbiasa membuat kuliner khas Tionghoa dan Minangkabau itu.

Selain kuliner juga digelar festival kesenian, antara lain tarian tradisi Minangkabau, silat dan wushu, pentas musik etnis, barongsai naga, dan gamaik serta kolaborasi seni.

"Saat Lebaran tentu banyak perantau yang pulang kampung, sehingga momentum pulang basamo tersebut seharusnya dimanfaatkan dengan menyuguhkan berbagai pertunjukan seni, budaya dan kuliner yang ada di Kota Padang ini,” sebut Mahyeldi.  

Wali Kota menambahkan, dipilihnya bakcang ayam dan lamang baluo ini karena makanan ini merupakan makanan yang rasanya lezat dan banyak digemari ini hampir punah.

"Yang membuat adalah pengusaha UKM dan saya pastikan semuanya halal. Iven ini merupakan bentuk kehidupan masyarakat di Kota Padang,” kata Mahyeldi.

“Persenyawaan antaretnis yang ada terbangun sinergi kolaborasi yang luar biasa pada hari ini kita tampilkan antara budaya Tionghoa dan budaya Minangkabau,” tambahnya.

"Mudah mudahan dengan festival ini akan mengokohkan lagi semangat kebersamaan, kerjasama gotong royong persatuan kesatuan di Kota Padang," sebut Mahyeldi yang sedang menggunakan baju Tiongsam, baju budaya.

Mahyeldi menyampaikan, akulturasi budaya Minang dan Tionghoa di Padang memang terjalin kuat. Masyarakat Tionghoa dan etnis lainnya sudah menjadi bagian dari warga Padang. Dan ia pun memastikan, akan memberikan tempat bagi seluruh warga tidak melihat suku dan agama, selagi warga Padang akan diberi pelayanan terbaik.

Selain itu festival yang berlokasi di Kota Tua Muaro ini juga tersedia beragam kuliner.

Bakcang atau bacang adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa.

Kata 'bakcang' sendiri berasal dari dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di antara suku Tionghoa di Indonesia.

Sementara lamang baluo adalah makanan klasik Minangkabau yang biasanya dibawa ketika hendak mengunjungi rumah mertua. "Makanan ini sama-sama makanan klasik dan rasanya sama-sama enak," papar Alam Gunawan.

Senyawa yang Memesona

Dalam buku Orang Padang TionghoaDima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang yang ditulis Riniwaty Makmur yang diterbitkan Kompas (2018) menyebutkan, masyarakat Tionghoa di Padang mempunyai kekhasan dalam konstruksi kehidupan sosial mereka dibandingkan dengan di tempat lain.

Setelah ratusan tahun hidup di Kota Padang, mereka telah beradaptasi dan membentuk sistem kehidupan dan lingkungan yang unik. Ada dua kongsi yang menjadi pilar masyarakat Tionghoa—kongsi gedang dan kongsi kecik, kelenteng sebagai pengikat moral dan penjaga peradaban, serta interaksi yang erat dengan masyarakat Minangkabau berdasarkan kesamaan bahasa.

“Sebagai hasil dari proses adaptasi itu, kebudayaan mereka kini tampil dengan ciri campuran Tionghoa dan Minangkabau atau mengalami hibriditas kebudayaan,” tulis Riniwaty Makmur dalam buku itu.

Buku yang berawal dari penelitian Program Pascasarjana Doktor Fakultas Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung, ditulis dengan bahasa yang kominikatif oleh Riniwaty Makmur yang memiliki nama Tionghoa Mak Yie Nie ini, menggambarkan bagaimana masyarakat Tionghoa bisa serta-merta diterima dengan baik oleh masyarakat etnis Minangkabau.

“Mereka juga memiliki kekurangan dan kelebihan, tapi yang jelas apa pun yang dilakukan ialah sebagai upaya terbesar untuk bertahan hidup. Indonesia telah menjadi tanah air bagi mereka,” tulisnya.

Beratus tahun di Kota Padang yang merupakan kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatra sekaligus ibu kota dari Provinsi Sumatra Barat, etnis ini mampu beradaptasi dan membentuk sistem kehidupan dan lingkungan yang unik.

“Sebagai hasil dari proses adaptasi itu, kebudayaan mereka kini tampil dengan ciri campuran Tionghoa dan Minangkabau atau mengalami hibriditas kebudayaan,” terangnya.

Dikutip dari tulisan resensi Retno Hemawati di https://mediaindonesia.com terjadap buku ini, melansir di Kota Padang terdapat delapan perkumpulan etnik Tionghoa. Perkumpulan ini tentu saja berdasarkan kesamaan warga yang eksis sepanjang 1800-an hingga 2000-an.

“Perkumpulan marga itu kemudian terbiasa disebut dengan kongsi kecik (kecil) yang menjadi lawan dari kongsi gedang (kongsi besar). Kongsi gedang mencakup kongsi Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT),” kata Retno.

 

Situasi Kota Padang sebagai kota kecil dengan komunitas Tionghoa yang jumlahnya sangat sedikit menyebabkan sosialisasi menjadi kebutuhan dan hiburan. Riniwaty Makmur memadankan bagian ini dengan peribahasa yang apik; dekat mencari induk, jauh mencari suku. Di rantau yang jauh, orang sesuku pun bagai saudara.

Ada juga yang menarik tentang merawat ingatan melalui ragam kuliner di Kota Padang terutama di kawasan Pondok. Melalui kepentingan lidah ini, Riniwaty juga menuturkan dengan apik, bagaimana etnik-etnik yang berlainan mengadu nasib, menjajakan makanan, sekaligus berkerja sama.

Penelusuran literatur lainnya, disebutkan pada tahun 1819 di Padang telah terdapat tak kurang dari 200 orang Tionghoa. Sampai pada tahun 1864, populasi Cina di Kota Padang meningkat tajam. Bahkan kala itu telah diangkat pemimpin kelompok ini dengan julukan Kapitein atau Letnan Chinezen. Tercatat, hingga 1869 lebih dari 300 orang Cina di Kota Padang.

Sementara Sumatera Courant, Niuews en Advertentieblad, 14 Juni 1862 menyatakan Li Thong, seorang pedagang besar telah ada di Padang pada tahun 1862.

Meski dalam konteks budaya Urang Minang (orang Minang) dengan etnis Tionghoa sangat bertentangan. Namun, dalam hal tradisi. Kedua etnis ini banyak kemiripan. Suka berdagang dan merantau misalkan.

Dilansir dari https://merahputih.com, Mochtar Naim, sosiolog Indonesia, pernah mengistilahkan orang Minang dengan sebutan "Minang-kiau", sama halnya dengan istilah "Hoa-kiau" sebutan bagi orang Cina Perantauan.

“Perbauran yang sudah hampir 2 abad jika dihitung dari sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Padang berimbas juga kepada akulturasi budaya. Makanya, tak heran jika ada beberapa kesamaan kesamaan lain dari kedua etnis ini,” kata Zaimul Haq Elfan Habib seperti ditulisnya di https://merahputih.com.  

Menurutnya, asimilasi dan akulturasi antara etnik Minangkabau dengan Tionghoa terlihat dalam beberapa pakaian adat Minangkabau yang hampir mirip dengan baju adat etnis Tionghoa. Seperti tutup kepala Bundo Kanduang (julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin suatu keluarga dalam Minangkabau baik sebagai ratu maupun selaku ibu dari raja), mirip dengan baju yang dipakai oleh etnis Zhuang di negeri tirai bambu sana.

Selain itu, pakaian laki-laki etnis Zhuang juga mempunya kemiripan dengan pakaian laki-laki Minagkabau dengan menggunakan warna hitam dengan aksesori berwarna emas pada lengan dan kaki tetapi polanya berbeda.

Di Kota Padang ada Pasar Pondok Kongsi namanya, yang dominan dihuni oleh etnis Tionghoa. Namun tak begitu dengan pedagangnya yang kebanyakan orang Minangkabau. Dari situlah kita bisa melihat betapa harmonisnya kehidupan atara etnis yang berbeda kebudayaan tersebut.

Pasar Tanah Kongsi memiliki sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Padang. Sejak abad XIV, VOC mulai beroperasi di Indonesia, dan masuk ke Padang melalui Pulau Cingkuak. Pada 1799 muara tersebut menjadi pelabuhan terpenting di Sumatera, dan semenjak saat itu banyak pedagang Cina, India, dan Arab memasuki Muaro. n nasrul azwar



BACA JUGA