“Alam Takambang Jadi Batu” dalam Pekan Nan Tumpah, Sabtu, 23 September 2017 naskah/sutradara Mahatma Muhammad). di Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, Padang.
Padang Panjang, sumbarsatu.com—Selama 4 hari sejak 19-22 November 2018, 7 kelompok teater dari pelbagai kota di Indonesia akan tampil dalam Silek Arts Festival (SAF) di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang.
SAF 2018 merupakan platform Indonesiana yang diinisiasi Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kerja sama dengan Dinas Kebudayaaan Sumatera Barat, didukung ISI Padang Panjang dan Komunitas Seni Hitam Putih sebagai penyelenggara akan menyajikan 7 kelompok seni teater dari pelbagai kota di Indonesia.
SAF 2018 yang sudah dimulai sejak 7 September lalu dan akan ditutup pada 30 November 2018 di Kota Bukittinggi, dua pekan ke depan menghadirkan seni panggung. Untuk seni teater digelar di ISI Padang Panjang, musik di UNP, dan tari di Ladang Nan Jombang Padang.
Adapun 7 kelompok teater yang akan tampil di panggung SAF 2018 itu ialah Potlot (Palembang), Teater Salembayung (Pekanbaru), Payung Hitam (Bangdung), Teater Satu (Lampung), Studio Taksu (Surakarta), Indonesia Performance Sindydicate (Padang Panjang), dan Teater Nan Tumpah (Padang).
Berikut akan kami turunkan secara berkala profil dan perjalanan kreatif kelompok-kelompok teater yang akan dipanggungkan pada SAF 2018.
Komunitas Seni Nan Tumpah
Teater “Alam Takambang Jadi Batu” naskah ditulis dan sekaligus disutradarai Mahatma Muhammad dengan durasi pertunjukan lebih kurang 85 menit.
Pada “Alam Takambang Jadi Batu” sebagai peñata panggung ialah Karta Kusumah, Ismail Idola, dan Halvika Padma dengan penata cahaya Budi Kurniawan sedangkan penanunggjawab pentas Srikandi Putri.
Pementasan “Alam Takambang Jadi Batu” pada SAF 2018 ini dimainkan aktor-aktor Fajry Chaniago, Yunisa Dwiranda, Emilia Dwi Cahya, Desi Fitriana, Tenku Raja Ganesha, Ivan Harley, Farhan Ramdevis, dan Dinda Alhumaira.
Untuk pimpinan produksi dipercaya kepada Muhammad Rizki Asrul dengan timnya Syukri Ananda, Zulia Agustin, Novi Delviana, Suci Dwi Cintia Murni, Windi Fidia Arisanti, M. Ikhwan, dan diperkuat dengan dokumentator Ijul Zulfikar.
Konsep Karya
Pertunjukan “Alam Takambang Jadi Batu” berangkat dari fenomena kedurhakaan dalam cerita rakyat Malin Kundang. Pertunjukan ini tidak hanya bercerita perihal kutukan yang berulang terhadap tokoh Malin Kundang dari masa ke masa, namun juga terhadap tokoh ibu. Seolah setiap zaman melahirkan Malin Kundang dan seorang Ibu yang selalu dikutuk untuk mengutuki anaknya sendiri dalam bentuk yang lain.
Sebagai lelaki Minang, identitas Malin adalah kaba, tidak punya rumah, hanya punya kata sebagai pusaka. Malin adalah lelaki rasa nasi Padang, rasa rendang, selalu ada dimana-mana. Ia tumbuh dan berkembang dalam perubahan-perubahan.
Pada suatu waktu, ia banyak belajar dari alam, sangat terbuka, belajar dengan pedoman di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Pada waktu yang lain, Malin jad sentimen, tertutup, belajar dengan pedoman di mana bumi dipijak, di situ mulutmu harimaumu. Dengan alam takambang jadi guru falsafah hidupnya, bukan tidak mungkin alam takambang jadi batu jadi buah pikirnya.
Dalam sastra lisan, Malin Kundang merantau dari mulut ke mulut ibu pencerita. Dalam sastra tulis, ia lahir dari banyak tangan sastrawan. Malin Kundang besar dan tumbuh jadi puisi, jadi drama, jadi esai atau novel dan cerpen.
Ia menjadi lelaki yang rumit, selalu dikutuki, dipertanyakan, dieksploitasi hingga tercemar oleh banyak identitas, oleh alam, terpolusi, tidak murni, terkontaminasi, kacau, tidak jelas, suka amuk,suka mencemooh, salah format. Ia menjadi bagian dari banyak identitas yang dijual dalam ruang, di galeri dalam kota, atau bahkan dalam kotak. Hal ini membuat ia tak mudah dipahami dan dimengerti.
Sebaliknya, ia sendiri sulit untuk memahami dan mengerti, sebagaimana orang-orang tua dan siapa saja, tentang diri, sosial dan lingkungan yang dengan mudah memberi cap atau merek dagang kedurhakaan. Malin sulit mengerti kenapa pada saat pulang dari perantauan ke tanah ibunya, ia dipaksa untuk memahami bahwa menjadi berbeda berarti durhaka, memberontak berarti terpinggir, dikutuk dan dibatukan.
Ia menjadi asing dan terasing meski orang-orang ramai mengunjunginya dengan alasan amanat, moral atau wisata. Ia tenggelam dalam sumpah serapah dan ragam kutukan, meski ibu-ibu terus menulis dan membaca keberadaannya.
Metode penciptaan yang digunakan sutradara dalam penciptaan pertunjukan ini adalah metode menumpah. Metode ini memposisikan seluruh orang yang terlibat dalam kerja artistik dan produksi sebagai kreator.
Berbeda dengan kerangka kerja teater konvensional yang bertolak dari naskah, metode penciptaan menumpah berangkat dari kerangka kerja konseptual yang digagas atau disusun oleh sutradara. Melalui konsepsi penyutradaraan itulah semua personal yang terlibat dalam pertunjukan diposisikan sebagai kreator.
Implementasi konsepsi pertunjukan dihadirkan dalam medan seni postmodern dengan melakukan penjelajahan idiom estetik parodi serta pasthice. Selain itu, penciptaan komposisi gerak dan musik dalam pertunjukan ini mengusung eksplorasi seni pertunjukan tradisional Minangkabau, yakni Randai, Tupai Janjang dan Indang.
Pengkarya melakukan pembacaan restrospektif dan pembacaan prospektif terhadap beragam teks Malin Kundang, teks-teks pertunjukan yang idenya berangkat dari cerita rakyat Malin Kundang, serta teks-teks pertunjukan tradisi, yakni Randai, Tupai Janjang dan Indang.
Melalui pembacaan tersebut dilakukan kerja rekombinasi seni tradisi. Pertunjukan ini tidak hanya merayakan seni tradisi sebagai sesuatu yang diapresiasi, tapi juga sebagai objek untuk mengkritisi dan refleksi.
Sinopsis
telah kutemukan sejumlah kaba, setumpuk pakaian lama dan dendang sakit. aku belajar dan membatu dalam sejarah, dipaksa mengeras untuk menjadi lebih malinkundang daripadamu. telah aku relakan kutukan yang membenam dalam mitos. siapa yang masih merantaukan rindu ke negeri seberang, saat aku telah memperumahkan diri dengan bisu? siapakah yang memperbanyak kedurhakaan dan lelahpayah mencari nama ibu?
Deskripsi Tata Panggung
Pertunjukan “Alam Takambang Jadi Batu” naskah/sutradara Mahatma Muhammad yang diproduksi oleh Komunitas Seni Nan Tumpah dalam kesempatan pertunjukan teater Silek Arts Festival 2018: Platform Indonesiana yang diselenggarakan Komunitas Hitam Putih di ISI Padang Panjang akan berlangsung di atas panggung procenium berukuran sekira 15 m x 10 m, dengan kelengkapan sett/properti sebagai berikut:
- Tiga buah kereta dorong yang berukuran 120 cm x 60 cm x 100 cm,
- Tiga buah patung semi-batu dengan tinggi masing-masingnya: 160 cm, 170 cm, dan 175 cm,
- Trap/level dengan ukuran 100 cm x 100 cm x 20 cm sebanyak 12 (dua belas) buah.
- Kain berwarna abu-abu dengan ukuran 100 cm x 1000 cm.
Panggung di dominasi warna abu-abu dan kombinasi warna-warna cerah yang dihasilkan dari warna kostum pemain serta warna putih terang yang dihasilkan dari pencahayaan dan efek tambahan menggunakan lampu LED yang diletakkan di bawah kereta dorong dan patung serta beberapa bagian panggung.
Tentang Komunitas Seni Nan Tumpah
Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) adalah lembaga seni independen yang berdiri di Padang pada tahun 2010. Bergerak di bidang Seni Pertunjukan baik tradisi maupun modern/kontemporer (teater/randai, tari, musik), seni rupa, sastra, serta mengelola Ruang Baca Masyarakat di sekretariatnya di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
KSNT mempunyai program tahunan untuk mengaplikasikan kerja tata kelola seni dalam bentuk produksi seni pertunjukan, produksi album musikalisasi puisi, diskusi, pelatihan, pameran dan penerbitan beberapa karya tulis dan buku-buku sastra.
Program rutin tahunan KSNT meliputi program empat bulanan Ke Rumah Nan Tumpah yang diselenggarakan bersama masyarakat di sekitar sekretariatnya, Korong Kasai, Kasang, Padang Pariaman, program tahunan Nan Tumpah Masuk Sekolah sejak tahun 2011 yang merupakan kegiatan pelatihan, diskusi dan pertunjukan di sekolah-sekolah menengah di Sumatera Barat, serta program festival seni dua tahunan Pekan Nan Tumpah yang telah terselenggara sejak 2011.
Dalam delapan tahun perjalanannya, tercatat Komunitas Seni Nan Tumpah sebagai Komunitas Seni terproduktif dalam menghasilkan karya seni pertunjukan di Sumatera Barat.
Sejak tahun 2010, komunitas ini telah memproduksi 31 karya seni pertunjukan berskala besar, dan puluhan pertunjukan berskala kecil di ruang publik secara umum.
Tentang Mahatma Muhammad
Mahatma Muhammad adalah pendiri dan pembina Komunitas Seni Nan Tumpah. Pekerja seni budaya Pariaman. Sejak tahun 2003, aktif bermain dan menyutradarai puluhan pertunjukan pertunjukan teater yang telah dipentaskan di berbagai kota di Indonesia.
Aktif memberikan pelatihan seni pertunjukan, memusikalisasikan puisi, menulis naskah drama, puisi dan esai. Memenangkan beberapa sayembara penulisan lakon dan puisi tingkat nasional.
Terlibat dalam berbagai kegiatan seni budaya dengan sejumlah komunitas di Yogyakarta (2003-2010) dan di Sumatera Barat. Diundang mengikuti berbagai pertemuan/kegiatan teater dan sastra nasional maupun internasional.
Akhir tahun 2016 menjadi utusan Kemdikbud RI untuk residensi seniman dan pegiat budaya di New Zealand. Terakhir, Juli-Agustus 2018 lalu, terpilih sebagai salah satu seniman dalam program Seniman Mengajar Kemendikbud RI di Karimunjawa, Jawa Tengah.
“Alam Takambang Jadi Batu” adalah trilogi karya yang digarapnya dengan berangkat dari persoalan identitas masyarakat Minangkabau sebagai penganut sistem matrilineal.
Bagian pertama karya ini telah dipentaskan dalam Pekan Teater Nasional di Yogyakarta (2017), KABA Festival di Padang (2017), dan Festival Seni Pekan Nan Tumpah di Padang (2017).
Bagian kedua telah dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru (2018) dalam produksi tunggal Komunitas Seni Nan Tumpah sekaligus sebagai ujian akhir magisternya di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. ***