Pementasan “Anthropodipus" karya Sophocles dengan sutradara Iswadi Pratama oleh Teater Satu Lampung (Foto Dok)
Padang Panjang, sumbarsatu.com—Malam ini, Kamis (22/11/2018) merupakan rangkaian terakhir pertunjukan teater kiwari (kontemporer) dalam Silek Arts Festival (SAF) 2018 dalam platform kebudayaan Indonesiana yang dilaksanakan sejak 19 November 2018 di Gedung Pertunjukan Hoeridjah Adam ISI Padang Panjang.
SAF seni pertunjukan teater kiwari malam ini akan menampilkan dua pementasan: Teater Satu dari Lampung dengan repertoar “Antropodipus” sutradara Iswadi Pratama dan Komunitas Seni Nan Tumpah dari Padang Pariaman mengangkat mitos di Ranah Minang “Alam Takambang Jadi Batu” naskah ditulis dan sekaligus disutradarai Mahatma Muhammad.
Terkait dengan garapan kreatifnya dalam SAF, Iswadi Pratama, pimpinan dan sutradara Teater Satu Lampung, mengatakan “Anthropodus” merupakan karya yang mengaktualisasikan sejumlah konflik dalam bentuk dan bentuk visual yang dinamis dan tradisional dan perkotaan.
“Sisi tradisional dari penampilan ini akan terasa dalam musik, silat dan tari. Sedangkan nuansa perkotaan dan urban akan dinikmati dalam karakterisasi dan desain kostum,” kata Iswadi Pratama, Kamis (22/11/2018) di Padang Panjang.
“Kombinasi dari semuanya itu diharapkan dapat menyentuh setiap lapisan pemirsa dari berbagai budaya dan Negara, khususnya penonton di Padang Panjang,” tambah sosok sastrawan alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.
Dijelaskan lebih jauh, “Antro-Podipus adalah kinerja berdasarkan skrip klasik "Oidipus in Colonus" oleh Sophocles yang disebut "Anthropodipus".
Kami menggabungkan berbagai harta budaya di Indonesia serta Asia. Dan dengan membuat silat, seni bela diri khas Indonesia, sebagai sarana untuk membangun koreografi dan visualisasi berbagai peristiwa dalam naskah,” kata pria kelahiran 8 April 1971 di Lampung ini.
Penampilan “Antropodipus” dalam versi Teater Satu akan menjadi karya panggung yang berbeda dari drama klasik yang pernah ada sebelumnya. Ia tidak lagi terikat pada bentuk teater klasik yang sangat ketat dalam warna Yunani. Tetapi juga tidak hanya mencari kebaruan yang baru saja permukaan.
Semetara itu, “Alam Takambang Jadi Batu”, menurut Mahatma Muhammad, sutradaranya, repertoar ini berangkat dari fenomena kedurhakaan dalam cerita rakyat Sumatera Barat tentang Malin Kundang yang masih populer.
Komunitas Seni Nan Tumpah dari Padang Pariaman mengangkat “Alam Takambang Jadi Batu” naskah ditulis dan sekaligus disutradarai Mahatma Muhammad. (Foto Dok)
“Pertunjukan ini tidak hanya bercerita perihal kutukan yang berulang terhadap tokoh Malin Kundang dari masa ke masa, namun juga terhadap tokoh ibu. Seolah setiap zaman melahirkan Malin Kundang dan seorang ibu yang selalu dikutuk untuk mengutuki anaknya sendiri dalam bentuk yang lain,” kata Mahatma Muhammad kepada sumbarsatu.
Dikatakannya lagi, metode penciptaan yang ia gunakan dalam penciptaan pertunjukan ini adalah metode menumpah. Metode ini memposisikan seluruh orang yang terlibat dalam kerja artistik dan produksi sebagai kreator.
“Berbeda dengan kerangka kerja teater konvensional yang bertolak dari naskah, metode penciptaan menumpah berangkat dari kerangka kerja konseptual yang digagas atau disusun oleh sutradara. Melalui konsepsi penyutradaraan itulah semua personal yang terlibat dalam pertunjukan diposisikan sebagai kreator,” jelas Mahatma, yang baru menyelesaikan Program Pascasarjana di ISI Padang Panjang itu.
Menurutnya, implementasi konsepsi pertunjukan dihadirkan dalam medan seni postmodern dengan melakukan penjelajahan idiom estetik parodi serta pasthice. Selain itu, penciptaan komposisi gerak dan musik dalam pertunjukan ini mengusung eksplorasi seni pertunjukan tradisional Minangkabau, yakni randai, seni bertutur Tupai Janjang dan seni Indang.
“Alam Takambang Jadi Batu” adalah trilogi karya yang KSNT dengan titik berangkat dari persoalan identitas masyarakat Minangkabau sebagai penganut sistem matrilineal,” terangnya.
Bagian pertama karya ini telah dipentaskan dalam Pekan Teater Nasional di Yogyakarta (2017), KABA Festival di Padang (2017), dan Festival Seni Pekan Nan Tumpah di Padang (2017).
Bagian kedua telah dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru (2018) dalam produksi tunggal Komunitas Seni Nan Tumpah sekaligus sebagai ujian akhir magisternya di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. (SSC/NA)
BACA JUGA: “Antropodipus” dalam Versi Teater Satu Lampung di SAF 2018
BACA JUGA: KSNT Padang Pariaman Sajikan “Alam Takambang Jadi Batu” dalam SAF