
OLEH Syarifuddin Arifin (Sastrawan)
Memilih dan memilah ratusan bahkan ribuan sajak-sajak untuk satu tema yang disesuaikan dengan sasaran pembacanya, ternyata bukanlah pekerjaan yang gampang. Apalagi untuk media pembelajaran antikorupsi bagi siswa sekolah menengah.
Pernah suatu kali, saya dipercaya sebagai salah seorang anggota dewan Juri pada sayembara penulisan puisi se-Indonesia bertemakan “Hijrah ke Jalan Syariah” yang diselenggarakan sebuah harian di Padang. Pesertanya sekitar 600-an orang dengan sajak mencapai 2000-an judul. Meski pun kata kuncinya ‘hijrah’ dan ‘syariah’, namun sesungguhnya yang dimaksudkan tentu bukan berpindah dari hal-hal yang konvensional ke jalan yang diridai menurut hukum Islam, melainkan bagaimana menulis sebuah puisi dengan idiom-idiom islami dengan metafora atau perumpamaan dengan bahasa yang santun.
Judul tulisan ini “Membunuh Korupsi dengan Puisi” dimaksudkan sebagai upaya membunuh (menghilangkan, menghabiskan) penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang oleh seseorang atau lembaga dengan bahasa yang indah, santun, dan puitis. Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Meski pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tegas berusaha terus menerus memberantasnya, namun perilaku korupsi oleh sementara pemegang kebijakan tetap tumbuh.
Sastra (dalam hal ini puisi) sebagai bagian dari kegiatan literasi yang bermuara pada pembentukan karakter dan memperkuat mental seseorang, sesungguhnya sudah ada sejak kita saling berkomunikasi. Literasi dalam arti lebih luas tidak hanya sekadar kegiatan menulis dan membaca, melainkan juga kegiatan bercerita secara oral, berkomunikasi dalam kemasyarakatan. Literasi adalah sebuah upaya praktik dalam hubungan sosial, pengetahuan, bahasa dan kebudayaan (UNESCO, 2003).
Kegiatan literasi menjadi syarat utama dalam membangun peradaban melalui pemikiran-pemikiran baru, yang pada mulanya adalah merupakan imajinasi belaka yang disampaikan dalam bentuk cerita pelipur lara, nasihat-nasihat, kegiatan adat, dan tradisi.
Dalam hal ini, karya sastra menjadi penting sebagai penyumbang utama karena bahasa adalah instrumen inti bagi kebudayaan. Maka untuk melakukan pengurasian, pengelolaan diksi dalam bentuk puisi, saya pernah mencoba dengan teknik dialog. Saya bercerita tentang seorang pegawai negeri yang punya mobil dan rumah mewah, lengkap dengan sopir pribadi yang setia mengantar dan menjemput anak-anaknya ke sekolah. Padahal semua orang tahu, gaji dan tunjangan yang sah dia terima tiap bulannya jelas tidak memungkinkan hal itu bisa terjadi. Ternyata pegawai negeri tersebut nyambi jadi kontraktor di lingkungan kerjanya selain cukup loyal ke atasannya berbagi rezeki. Sementara, di daerah saya adalah sebuah malu keluarga bahkan kaum secara adat dan budaya Minangkabau bila seseorang ketahuan secara tidak sah memiliki sesuatu yang bukan haknya. Apakah sesuatu itu dia dapatkan secara mencuri, menaikkan harga, mar-up, menerima komisi yang tidak masuk akal jumlahnya dan atau gratifikasi. Setelah bercerita (sesungguhnya sih itu fiktif) semua peserta dialog saya beri tugas untuk meringkas kisah tersebut dalam bentuk puisi tidak lebih dari 40 baris. Ternyata hasilnya cukup mengagetkan saya. Bahkan ada yang mengutuk dan menyesali orangtuanya sendiri yang kebetulan seorang pejabat, secara sadar atau tidak telah melakukan penyelewengan, ketidakjujuran dan memelihara sikap buruk dan busuk.
“Saya malu, Pak. Saya malu atas kekayaan orangtua saya, yang ia dapatkan dari hasil korupsi,” kata seorang peserta dengan mata berlinang.
Kecakapan hidup merupakan kecakapan seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, lalu secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya (Depdiknas, 2006 hal. 22).
Puisi sebagai cerminan dari situasi lingkungan penyairnya, mau tidak mau akan selalu berada pada pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif ke dalam bentuk dan struktur bahasanya. Ini disebabkan karena penyairnya hidup bersosialisasi dan bermasyarakat. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Umar Junus (Atmazaki,2005 hal. 59) menyebutkan, bahwa hubungan karya sastra dengan masyarakatnya berasal dari anggapan bahwa karya sastra adalah cerminan keadaan masyarakatnya atau cerminan suatu masa. Karya sastra ialah refleksi sosial serta dianggap membayangkan atau membiasakan kehidupan masyarakat.
Teew (1980, hal. 226) menjelaskan bahwa dalam memahami sebuah karya sastra sebagai cerminan kenyataan perlu juga menganggap bahwa karya sastra adalah karya rekaan. Dengan demikian, puisi atau sajak sebagai bagian dari karya sastra adalah tiruan dari sebuah kenyataan melalui proses kreatif imajinatif penyairnya serta ekspresi kehidupan manusia yang dialaminya.
Semakin jelaslah, bahwa melakukan pengelolaan, memilih dan memilah puisi dengan tema khusus, yakni antikorupsi bagi remaja (baca, pelajar) akan terasa sulit bila si remaja tersebut tidak mengalaminya, baik langsung atau pun tidak langsung.
Peserta dialog remaja tentang antikorupsi yang saya kisahkan di atas adalah bukti yang menguatkan asumsi ini. Bisa saja bila seseorang kita suruh membuat sebuah puisi tentang salju di puncak Mount Everest, sementara seseorang tersebut belum pernah merasakan dinginnya salju, bahkan pengetahuannya tentang gunung tertinggi itu pun masih nol, maka peran dongeng atau berkisah, nembang sangat penting.
Melakukan perumpamaan atau kiasan dari fenomena kehidupan yang ada di lingkungan sangat penting, sebelum seseorang atau penyair menuliskan sebait puisi. Menceritakan kisah-kisah pejabat atau tokoh politik yang terlibat korupsi dengan akal bulusnya yang busuk akan mampu merangsang daya imajinatif. Korupsi sudah ada sejak lama, terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Namun bagaimana kita membuat topik puisi tentang antikorupsi sebagai media pembelajaran bagi siswa?
Sebagai media pembelajaran, para kurator yang melakukan pemilihan dan pemilahan atas karya puisi antikorupsi bagi siswa, sebaiknya melakukan pengelolaan dengan telaten. Bak menarik rambut dalam tepung, untuk menghindari kesan asal jadi. Karena sebagai media pembelajaran bagi siswa, maka tentu saja harus memperhatikan gaya bahasa yang sesuai dengan umur remaja yang masih adolesence, sikap mental dan karakternya yang dalam keadaan puber, berada di tengah persimpangan antara dewasa dan sikap kenak-kanakannya. Daya ungkap yang sederhana dengan perumpamaan yang dekat dengan lingkungannya, seperti bait penutup sajak “Resonansi Buah Apel” karya Ahmadun Yosi Herfanda ini:
Buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya
(Jakarta, 2000)
(PMK jilid 1, hal.30)
Dan baca juga karya Heru Mugiarso yang ia beri judul “Puisi Sapi”, ditutup dengan 6 larik sebagai bait pamungkasnya ini;
Bodoh kau kata sejumlah opini
Bagaimana mungkin engkau lupa
Bahwa tidak ada korelasi antara korupsi
Dan intelegensi sapi
Atau relevansi tahinya yang disumpalkan
Ke mulut ayatayat suci
2013
(PMK jilid I, hal. 202)
Padang, 7 Desember 2017
Tulisan ini dipaparkan pada Diskusi Kelompok Terpumpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PMK pada Kamis, 14 Desember 2017, di Jakarta.
Bacaan/Rujukan:
- Atmazaki, 2005. Ilmu Sastra; Teori dan Terapan. Padang: Citra Budaya
- Buletin Departemen Pendidikan Nasional, 2006
- Leak Sosiawan (ed), 2013. Puisi Menolak Korupsi. Surakarta: Forum Sastra Surakarta
- Teew,A, 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah
- Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011. Jakarta: Dirjen Dikti
Kemendikbud RI
Proses Kurasi Puisiuntuk Media Pembelajaran Antikorupsi bagi Siswa