Senin, 11/09/2017 14:21 WIB

Harga Ekonomis Tinggi, Petani Kabupaten Solok Dianjurkan Tanam Pohon Gaharu

Bupati Solok, H. Gusmal, SE. MM, membuka pelatihan budi daya gaharu.

Bupati Solok, H. Gusmal, SE. MM, membuka pelatihan budi daya gaharu.

Arosuka, sumbarsatu.com - Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya.

"Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini Pemerintah Kabupaten Solok," kata Bupati Solok, H. Gusmal, SE, MM, ketika ditemui oleh sumbarsatu di ruang kerjanya, Arosuka, Senin, (11/9/2017). Bupati mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahannya sebagai budi daya gaharu.

Sebagai contoh, pada awal tahun 2017 di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp 600.000 per kilogram. "Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula," tambah Bupati.

Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.

Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu, sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon aquilaria sp.

Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali.

Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya.

Umumnya tambahnya, warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai jualnya.

Hitam pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya.
"Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitasnya," tambah Gusmal.

Kabupaten Solok tambah Bupati, telah melakukan berbagai pelatihan budidaya Gaharu untuk menarik minat masyarakat dalam memproksi gaharu secara lebih.

Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi ujarnya, tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial).

Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar.

Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.

Penyebab timbulnya infeksi pada pohon penghasil gaharu di Kabupaten Solok, tukuknya, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology.

Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian, pungkas Bupati. DW.

Bupati Solok, H. Gusmal, SE. MM, membuka pelatihan budidaya gaharu.

BACA JUGA