
OLEH Zakirman Tanjung
Kebiasaan seseorang yang tidak peduli pada orang lain dan lingkungan sekitar bisa dikategorikan termasuk penyakit jiwa. Orang seperti itu cenderung memiliki egoisme yang besar.
Mengapa penulis katakan masuk kategori penyakit jiwa? Sebab, sikap dan perilaku serta perbuatan orang semacam itu menunjukkan betapa jiwanya kotor dan tidak stabil. Ibarat pengendara, dia memakai kacamata kuda; tak punya kaca spion, bahkan enggan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang semacam itu bisa dilihat dengan mudah tingkah-polahnya, baik ia melakukannya dengan sengaja maupun tanpa menyadarinya. Di antara hal yang sering penulis temukan adalah sikap oknum-oknum makmum dalam pelaksanaan salat berjamaah; di masjid, surau atau mushala yang memiliki keterbatasan ruangan.
Lantaran ruangan terbatas, pengurus masjid, surau atau musala biasanya membentangkan tikar salat (sajadah panjang) secara berdempetan; dengan kata lain, kedua sisi tikar bersentuhan dengan tikar di depan dan di belakangnya. Entah sebagai akibatnya; banyak makmum yang penulis dapati menjejakkan tumit di sajadah belakang. Perilaku yang mungkin terlakukan secara tidak sengaja itu bisa mengganggu jamaah yang salat di shaf belakang.
Perbuatan demikian - boleh jadi - memang tidak disengaja. Motivasi makmum yang menjejakkan kedua tumit atau bahkan hingga separoh telapak kaki di atas sajadah di belakangnya barangkali perbuatan reflek dengan pertimbangan untuk mencukupkan ruang ketika nanti melakukan sujud. Akan tetapi, apapun alasannya, perbuatan itu tetap tak bisa dibenarkan.
Jika memang lebar sajadah terbatas, semestinya makmum bersangkutan mencukupkannya walau ketika sujud agak menekuk pinggang. Apa boleh buat, bukan? Kita tak dibenarkan mengambil hak orang lain guna mencukupkan kekurangan yang kita alami; ini suatu keniscayaan.
Meskipun - sekali lagi, makmum tersebut melakukannya secara tanpa sadar, perbuatan dimaksud bisa dikategorikan sebagai korupsi. Korupsi tikar salat! Hal itu menunjukkan bentuk ketidakpedulian terhadap kepentingan orang lain; ketidakpedulian yang kerap terlakukan dalam aspek kehidupan yang lain, bahkan di luar shalat, apalagi oleh orang-orang Islam baligh yang tidak pernah menunaikan kewajiban salat.
Dalam berbagai aspek kehidupan kita terlalu sering menemukakan hal-hal seperti itu; adakalanya oleh banyak orang dianggap sebagai hal biasa. Beberapa di antara contohnya adalah membuang sampah ke selokan atau saluran air yang mengakibatkan terjadinya penyumbatan di bagian hilir. Ada juga orang yang tidak peduli pada kebersihan kakus setelah dia gunakan, misalnya dalam perjalanan seperti di SPBU, masjid atau rumah makan. Orang itu berasumsi tak terlalu perlu menyiramnya hingga bersih karena takkan menggunakan lagi.
Sikap seperti itu, lebih-lebih jika melakukannya dengan sadar, menunjukkan egoisme kronis yang didorong oleh kekotoran jiwa. Bagi orang-orang seperti itu, asal kepentingannya terpenuhi ia tak peduli apakah kepentingan orang lain terganggu atau bahkan terampas. Orang-orang seperti itu sepertinya tidak mau tahu pada hukum sebab-akibat. Bahwa, siapa yang menabur angin suatu ketika akan menuai badai. Sebaliknya, siapa yang menebar bibit dengan ikhlas akan memanen buah.
Peduli terhadap orang lain dan pada lingkungan sesungguhnya adalah investasi penting sebagai wujud peduli pada diri sendiri. Hukum sebab-akibat itu pasti terjadi jika kita percaya bahwa hanya Tuhan-lah Yang Mahakuasa dalam kehidupan ini, bukan akal, logika atau kemampuan ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Hukum sebab-akibat dimaksud tidak selalu berbanding lurus. Tidaklah selalu berarti di mana atau kepada siapa kita menabur kejahatan atau menebar kebaikan di tempat atau dari orang itu pula kita menerima balasannya. Dalam hal waktu begitu pula; bisa di dunia ini, cepat atau lambat, atau justru kelak di akhirat. Malah, tak sedikit orang yang mengaku (penulis pun pernah mengalami); segera setelah melakukan perbuatan baik atau jahat langsung menerima balasannya. Semua tergantung pada kehendak Allah Subhannahu Wa Ta’ala.
Itulah sebabnya mengapa menjaga sikap, ucapan dan perilaku agar tidak merugikan kepentingan orang lain dan keseimbangan alam (meski sesepele apapun; bahkan ketika salat!) merupakan keharusan mutlak. Kuncinya kita dituntut selalu sadar diri, posisi dan waktu. Kebebasan dan kemerdekaan yang kita miliki hendaklah dengan memperhatikan plus menghargai kebebasan dan kemerdekaan orang lain. Menaati Allah dan Rasul-Nya serta mematuhi norma, ketentuan dan aturan yang berlaku merupakan sikap dan perbuatan terpuji.
Bahasan di atas barulah menitik-beratkan pada sikap, ucapan dan perbuatan yang kurang terjaga alias kurang memedulikan kepentingan orang lain dan keseimbangan alam. Bagaimana pula dengan sikap, ucapan dan perbuatan yang disengaja menyakiti atau merusak? Akibatnya tentu lebih fatal lagi! Islam menyebut pelakunya sebagai orang dzalim dan terkutuk.
Wallahu’alam bish shawab wana’udzubillahi mindzalik!!!
Penulis adalah wartawan sumbarsatu.com – email: tzakirman@gmail.com