Silek Minangkabau (Foto Imagala)
Silek Minangkabau atau silat Minangkabau merupakan seni olahraga bela diri yang tumbuh dan berkembang di wilayah Minangkabau sejak dahulu kala. Silek bagi anak Minang merupakan jati diri, yang melekat dalam keseharian mereka, terutama bagi kaum lelakinya. Tetapi bukan tabu bagi kaum perempuan, karena banyak perempuan Minang yang menguasai seni bela diri tersebut.
Dulu, seorang anak yang akan pergi merantau,terlebih dahulu mempelajari silek sampai matang. Hal itu dimaksudkan agar mereka bisa membela diri dari serangan para penyamun, atau melindungi kaum kerabatnya dari angkara murka.
Karena sifatnya untuk membela diri, maka ada aturan dalam silek untuk tidak menyerang bagian berbahaya dari tubuh lawan. Silek juga mengandung hikmah, kalau mereka yang menguasai silek dengan baik, mestinya memiliki kesabran yang tinggi.
Hal itu tercermain dalam langkah yang dimiliki pesilat, yaitu 3 langkah mundur, dan hanya 1 langkah maju. Artinya, seorang pesilat mesti banyak mengalah, bersabar, dan tidak melayani serangan lawan dalam tahap awal. Tiga langkah mundur memberi kesempatan kepada lawan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan serangan.
Silek juga dipelajari anak nagari di Minangkabau untuk mempertahankan nagari dari serangan musuh, misalnya perampok, dan sejenis. Anak lelaki Minang sejak kecil sudah belajar di surau. Biasanya mereka dilatih guru mengaji, yang menguasai ilmu silek. Latihan silek dilakukan biasanya usai belajar mengaji pada malam hari.
Kata pencak silat berasal dari dua kata, yaitu “mancak” dan “silek”. Mancak merupakan bunga gerakan silek. Mamancak berarti memperagakan gerakanbunga silat, berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin dimaksudkan sebagai pertunjukan.
Kata silek merupakan gerakan seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dengan maksud melumpuhkan lawan.
Silek Minang
Para tuo silek mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek di muko musuah (jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh.
Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi Minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan.
Kedua tuo silek itu hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi tuo silek yang "kalah". Dalam praktik sehari-hari, jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya menjawab dengan halus, dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak), padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat).
Inilah sifat rendah hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing, mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan.
Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek pun ada yang menganggap berasal dari siliek, atau si liat, karena demikian hebatnya berkelit dan licin seperti belut. Setiap nagari di Minangkabau memiliki tempat belajar silat atau dinamakan juga sasaran silek, dipimpin oleh guru yang dinamakan Tuo Silek. Tuo silek ini memiliki tangan kanan yang bertugas membantu beliau mengajari para pemula.
Orang yang mahir bermain silat dinamakan pandeka (pendekar). Gelar Pandeka pada zaman dahulunya dilewakan (dikukuhkan) secara adat oleh ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Namun pada zaman penjajahan, gelar itu dibekukan oleh pemerintah Belanda.
Setelah lebih dari seratus tahun dibekukan, masyarakat adat Koto Tangah, Kota Padang akhirnya mengukuhkan kembali gelar Pandeka pada tahun 2000-an. Pandeka ini memiliki peranan sebagai parik paga dalam nagari (penjaga keamanan negeri), sehingga mereka dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman dan tentram.
Pada 7 Januari 2009, H. Fauzi Bahar (kala itu menjabat Walikota Padang) digelari Pandeka Rajo Nan Sati oleh Niniak Mamak (Pemuka Adat) Koto Tangah, Kota Padang. Gelar itu diberikan sebagai penghormatan atas upaya beliau menggiatkan kembali aktivitas silek tradisional di kawasan Kota Padang, ia juga seorang pesilat handal pada masa mudanya, sehingga gelar itu layak diberikan.
Tidak ada bukti tertulis yang menyatakan silek berasal dari mana, dan bagaimana sejarahnya sampai ke Minangkabau. Namun menurut buku berjudul Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa para pendiri silek (Silat) di Minangkabau adalah Datuak Suri Dirajo, dan 4 pengawal kerajaan Minangkabau berjuluk Kambiang Utan, Harimau Campo, Kuciang Siam, dan Anjiang Mualim.
Silek tuo Minang
Datuak Suri Dirajo diperkirakan mendirikan sasaran silek pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan, Padangpanjang, Sumatera Barat. Kambiang Utan diperkirakan berasal dari Kamboja. Harimau Campo berasal dari daerah Negeri Champa, Kuciang Siam diyakini datang dari Siam atau Thailand, dan Anjiang Mualim datang dari Persia.
Di masa Datuak Suri Dirajo inilah silek Minangkabau pertama kali diramu, dan gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut mewarnai silek itu sendiri. Nama-nama mereka memang seperti nama hewan (Kambing, Harimau, Kucing dan Anjing), namun tentu saja mereka adalah manusia, bukan hewan menurut persangkaan beberapa orang.
Asal muasal Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim memang sampai sekarang membutuhkan kajian lebih dalam dari mana sebenarnya mereka berasal karena nama mereka tidak menunjukkan tempat secara khas. Mengingat hubungan perdagangan yang berumur ratusan sampai ribuan tahun antara pesisir pantai barat kawasan Minangkabau (Tiku, Pariaman, Air Bangis, Bandar Sepuluh dan Kerajaan Indrapura) dengan Gujarat (India), Persia (Iran dan sekitarnya), Hadhramaut (Yaman), Mesir, Campa (Vietnam sekarang), dan bahkan sampai ke Madagaskar di masa lalu, bukan tidak mungkin silat Minangkabau memiliki pengaruh dari beladiri yang mereka miliki.
Sementara itu, dari pantai timur Sumatera melalui sungai dari Provinsi Riau yang memiliki hulu ke wilayah Sumatera Barat (Minangkabau) sekarang, maka hubungan beladiri Minangkabau dengan beladiri dari Cina, Siam dan Champa bisa terjadi karena jalur perdagangan, agama, ekonomi, dan politik. Beladiri adalah produk budaya yang terus berkembang berdasarkan kebutuhan di masa itu. Perpaduan dan pembauran antar beladiri sangat mungkin terjadi.
Bagaimana perpaduan ini terjadi membutuhkan kajian lebih jauh. Awal dari penelitian itu bisa saja diawali dari hubungan genetik antara masyarakat di Minangkabau dengan bangsa-bangsa yang disebutkan di atas.
Jadi boleh dikatakan bahwa silat di Minangkabau adalah kombinasi dari ilmu beladiri lokal, ditambah dengan beladiri yang datang dari luar kawasan Nusantara. Jika ditelusuri lebih lanjut, diketahui bahwa langkah silat di Minangkabau yang khas itu adalah buah karya mereka.
Langkah silat Minangkabau sederhana saja, namun di balik langkah sederhana itu, terkandung kecerdasan yang tinggi dari para penggagas ratusan tahun yang lampau. Mereka telah membuat langkah itu sedemikian rupa sehingga silek menjadi plastis untuk dikembangkan menjadi lebih rumit.
Guru-guru silek atau pandeka yang lihai adalah orang yang benar-benar paham rahasia dari langkah silat yang sederhana itu, sehingga mereka bisa mengolahnya menjadi bentuk-bentuk gerakan silat sampai tidak terhingga jumlahnya.
Kiat yang demikian tergambar di dalam pepatah jiko dibalun sagadang bijo labu, jiko dikambang saleba alam (jika disimpulkan hanya sebesar biji labu, jika diuraikan akan menjadi selebar alam).
Secara garis besar, Silek Minang memiliki beberapa aliran, seperti Silek Tuo (Silat Tua), Silek Sitaralak (Silat Sitaralak, Silek Lintau (Silat Lintau), Silek Luncua (Silat Luncur), Silek Kumango (Silat Kumango), Silek Harimau (Silat Harimau), Silek Pauah (Silat Pauh), Silek Gulo-Gulo Tareh (Silat Gulo-Gulo Tareh), Silek Ulu Ambek (Silat Ulu Ambek), Silek Sungai Patai (Silat Sungai Patai), dan Silek Baruah (Silat Baruh).
Silek Ulu Ambek menurut beliau tidak tergolong ke dalam aliran silek, karena lebih menekankan kekuatan batin daripada kontak fisik. Silek sitaralak, Lintau, Kumango, Luncua terkenal sampai ke Malaysia. Silek sitaralak merupakan silat yang beraliran keras dan kuat.
Ada beberapa nama aliran silat lain yang punya nama, yakni Silek Tiang Ampek, Silek Balubuih, Silek Pangian (berkembang di Kabupaten Kuantan Singingi), dan Buah Tarok dari Bayang, Pesisir Selatan. Asal usul dari aliran silat juga rumit dan penuh kontroversi.
Contoh Silek Tuo dan Sitaralak. Silek Tuo ada yang menganggap itu adalah versi silek paling tua, namun pendapat lain mengatakan bahwa silat itu berasal dari Tuanku Nan Tuo dari Kabupaten Agam. Tuanku Nan Tuo adalah anggota dari Harimau Nan Salapan, sebutan lain dari Kaum Paderi yang berjuang melawan Belanda di Sumatera Barat. Hubungan sitaralak dan silek tuo adalah kajian yang menarik untuk dikupas lebih dalam.
Gerakan silek itu diambil dari berbagai macam hewan yang ada di Minangkabau, contohnya Silek Harimau, Kucing dan Silek Buayo (Buaya). Namun dalam perkembangannya, ada sasaran silek, umumnya silek yang berasal dari kalangan tarekat atau ulama menghilangkan unsur-unsur gerakan hewan di dalam gerakan silek mereka, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Orang Minang menganut falsafah Alam takambang jadi guru . Falsafah itu merupakan konsep universal dari budaya alam Minangkabau. Kata "alam", berasal dari bahasa Sanskerta artinya sama dengan lingkungan kehidupan atau daerah. Konsep ini juga diterjemahkan oleh para pendiri silat pada masa dahulunya menjadi gerakan-gerakan silat. Antara silat dan produk budaya lain di Minangkabau adalah satu kesatuan filosofis, jadi untuk menerangkan silat, pepatah-pepatah yang biasa diucapkan dalam upacara adat bisa digunakan.
Setiap nagari memiliki sasaran silek, ini adalah suatu keharusan. Ibarat sebuah negara, tidak mungkin tidak memiliki angkatan perang. Konsep nagari itu sama dengan konsep sebuah negara. Hubungan antara nagari dengan nagari lainnya sama halnya dengan hubungan antar negara.
Alam Minangkabau adalah kesatuan pengikat antar nagari bahwa mereka merupakan satu konsep budaya. Secara budaya, yang dinamakan masyarakat Minangkabau mengaku berasal dari Gunung Marapi, tepatnya dari Nagari Pariangan, Sumatera Barat, yakni suatu tempat yang disebut sebagai sawah gadang satampang baniah (sawah luas, setampang benih).
Dari nagari itulah benih kebudayaan yang setampang digagas, disusun dan kemudian dikembangkan ke wilayah sekitarnya (luhak nan tigo). Oleh karena nagari di Minangkabau tidak ubahnya seperti sebuah republik mini, semuanya lengkap dari wilayah, aparat pemerintah, pertahanan, sampai penduduknya, maka hampir semua nagari memiliki sasaran silek, sehingga variasi dari gerakan-gerakan silat tidak dapat dihindari sama sekali.
Variasi dari gerakan silek terjadi karena rentang waktu yang sedemikan lama dari awal silek itu dirumuskan; Pancarian surang-surang (penemuan baru oleh guru baik disengaja atau tidak); Perbedaan minat; Hasil adu pandapek (hasil diskusi sesama pendekar); dan pengaruh dari beladiri lain
Meskipun demikian ada kesamaan konsep dari gerakan silat di Minangkabau. Oleh sebab itu dapat dibedakan antara silat dari Minangkabau dan silat dari daerah lain di kawasan Nusantara.
Beberapa konsep dari silek Minangkabau itu adalah Tagak jo Langkah (Berdiri dan Langkah). Ciri khas dari permainan silek adalah pola berdiri dan melangkah. Tagak artinya tegak atau berdiri, di mana pesilat berdiri? Dia berdiri di jalan yang benar (tagak di nan bana), dia bukanlah seorang yang suka mencari rusuh dan merusak tatanan alam, dan kehidupan bermasyarakat.
Di dalam mantera sering juga diungkapkan sebagai tegak alif, pitunggua adam, langkah muhammad. Di dalam permainan silat, posisi berdiri adalah pelajaran pertama diberikan, yang dinamakan sebagai bukak langkah (sikap pasang) seorang pemain silat Minangkabau adalah tagak runciang(berdiri runcing atau berdiri serong) dengan posisinya selalu melindungi alat vital.
Kuda-kuda pemain silat harus kokoh, untuk latihan ini dahulunya mereka berjalan menentang arus sungai.
Langkah dalam permainan silek Minangkabau mirip dengan langkah berjalan, namun posisinya pada umumnya merendah. Posisi melangkah melingkar yang terdiri dari gelek, balabek, simpai dan baliak.
Pola langkah yang dipergunakan pesilat Minang antara lain langkah tigo (langkah tiga, pola langkah yang membentuk segitiga). Langkah ampek (langkah empat, pola langkah yang membentuk segi empat).Langkah sambilan (langkah sembilan), yang biasanya untuk mancak (pencak)
Di dalam bersilat perlu sekali memahami garak dan garik. Garak artinya insting, kemampuan membaca sesuatu akan terjadi, contoh seorang pesilat bisa merasakan ada sesuatu yang akan membahayakan dirinya.
Garik adalah gerakan yang dihasilkan oleh pesilat itu sebagai antisipasi dari serangan yang datang. Jika kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menjadi kurang pas, karena di dalam bahasa Indonesia, gerak itu adalah gerakan dan gerik adalah kata pelengkap dari gerakan itu. Sedangkan di dalam bahasa Minangkabau garak (gerak) itu adalah kemampuan mencium bahaya (insting), dan garik (gerik) adalah gerakan yang dihasilkan (tindakan).
Seorang pesilat sejatinya memiliki Raso jo Pareso (Rasa dan Periksa). Raso (rasa) bisa diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu gerakan yang tepat tanpa harus dipikirkan dulu, seperti seorang yang mahir membawakan kendaraaan, dia pasti tidak berpikir berapa centimeter harus memijak rem supaya berhenti dengan tepat tanpa goncangan, tapi dengan merasakan pijakan rem itu dia dapat berhenti dengan mulus.
Pareso (periksa) adalah kemampuan analisis dalam waktu yang singkat atau nalar. Di dalam pertempuran ungkapan pareso ini adalah kemampuan memanfaatkan sesuatu di dalam berbagai situasi pertempuran, dalam upaya untuk memperoleh kemenangan. Misalkan, jika kita bertempur waktu sore, upayakan posisi jangan menghadap ke barat, karena akan silau oleh cahaya matahari.
Jadi antara raso dan pareso itu jalannya berpasangan, tidak boleh jalan sendiri-sendiri. Kita tidak boleh terlalu mengandalkan perasaan tanpa menggunakan pikiran, namun tidak boleh pula berpikir tanpa menggunakan perasaan. Ada pepatah yang mengatakan raso dibao naiak, pareso dibao turun (rasa di baik naik ke alam pikiran, periksa dibawa turun ke alam rasa). Demikianlah kira-kira maksud dari raso jo pareso yang diungkapkan oleh para guru silek.
Alam fikiran Orang Minangkabau memiliki konsep berpasangan. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pepatah yang memiliki isi kalimat berpasangan, contohnya: mancari nan baik manulak nan buruak (mencari hal-hal yang baik dan menolak hal-hal yang buruk), manitiak dari ateh, mambasuik dari bumi (menitik dari atas, membersit dari bumi), tiok kunci ado pambukaknyo (tiap kunci ada pembukanya) dan tiok kabek bisa diungkai (tiap ikatan bisa dilepas).
Hal yang sama berlaku pada silek, setiap gerakan silat ada pemusnahnya, setiap kuncian ada teknik untuk melepaskannya. Oleh sebab itu sepasang pemain silat yang mahir mampu bersilat terus menerus tanpa putus dengan mengalir begitu saja. Mereka baru berhenti kalau sudah letih atau capek. (Disarikan dari berbagai sumber oleh Miazuddin St Marajo)