
Mochtar Naim
OLEH Mochtar Naim (Sosiolog dan Penggagas DIM)
Pertanyaan pertama yang wajar dikemukakan dengan didengungkannya konsep revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo adalah: Dapatkah konsep revolusi mental yang berjalan secara nasional juga berjalan seirama dengan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di bumi Minangkabau dalam konteks Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) ke masa depan?
Jawabnya tentu saja: Kenapa tidak? Kita tahu bahwa dari keduanya itu ada yang sejalan ada yang tidak. Beda yang jelas antara keduanya ialah bahwa yang satu, revolusi mental, sifatnya adalah sinkretik, sementara ABS-SBK, sintetik. Seperti halnya dengan ciri budaya Jawa di mana-mana, semua agama itu dasarnya sama. Jawanya: Sadaya agami sami kemawon. Malah yang satu bisa mengisi yang lainnya. Dan yang satu sama lain saling isi-mengisi. Begitu agama, begitu adat dan budaya lain-lainnya.
Kalau di Minang, tidak. Dengan prinsip ABS-SBK, seperti bunyinya itu: Adatnya bersandarkan Syarak, dan Syarak berdasar Kitabullah. Yang tertinggi adalah Kitabullah Al Qur’anul Karim itu. Syarak berada di bawahnya, sementara adat tidak ada yang boleh bertentangan dengan syarak. Mana-mana adat yang bertentangan dengan syarak, dibuang. Dikatakan: syarak mengata, adat memakai.
Diskrepansi yang terjadi dalam budaya nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah: kendati sila pertama Pancasila mengatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengukuhkan prinsip ketauhidan dari Islam, dan Islam adalah satu-satunya agama berdasar kepada Ketuhanan YME itu, namun dalam pengakuannya semua agama diakui sebagai sama, baik yang Maha Esa (Islam), Tri Esa (Trinitas Kristen), Poli Esa alias politheisme (Hindu), maupun yang tak jelas diakui apakah Tuhan itu ada atau tidak (Budhisme dan Kong Hu Chu). Bahkan di zaman Orde Lama Soekarno, komunisme yang jelas-jelas atheis juga diakui karena Soekarno, katanya, tidak mau menunggangi kuda berkaki tiga: Islam, Sosialisme dan Nasionalisme. Karena itu komunisme-atheismenya PKI juga diakui. Juga, kendati 80% dari penduduk Indonesia adalah muslim, namun Indonesia dinyatakan bukanlah Negara Islam, seperti halnya dengan Malaysia, Brunai, Bangladesh, Pakistan, negara-negara Arab, Mesir, Turki, dsb, yang semua adalah Negara Islam. Indonesia sekarang walau bukan negara Islam, tetapi statistiknya diakui sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar dan terbanyak di dunia ini.
Di DIM sendiri, kendati prinsipnya adalah ABS-SBK, tetapi tidak menghalangi penduduk yang bukan muslim, seperti masyarakat Mentawai, Masyarakat Nias, masyarakat Batak non-muslim, masyarakat non-pribumi Cina, dan sebagainya, untuk tetap menjadi warga Provinsi Sumbar dan nantinya warga Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau itu. Kecuali di dua kota suci, Mekkah dan Madinah, orang Kristen dan Yahudi dan non-muslim lainnya di seluruh dunia Arab diakui sebagai sama dengan warga muslim. Begitu juga di DIM sendiri, warga muslim dan non-muslim diperlakukan sebagai sama, dan hak-hak mereka sebagai warga-negara sebagai sama.
Dikotomi antara revolusi mental dan ABS-SBK makin terasa di mana mental dalam konteks revolusi mental diartikan dalam artian etika dan estetika. Sementara mental dalam konteks ABS-SBK tidak hanya dalam arti etika dan estetika tetapi juga adalah bahagian yang esensial dan tak terpisahkan dari ibadah dan mu’amalah yang diartikan sebagai “akhlâq” dan sempurnanya: “Akhlâqul karîmah.” Tegasnya, Islam akan tiada makna tanpa akhlaq dan akhlaqul karimah itu.
Dalam revolusi mental sebagai contoh, laki-laki dan perempuan yang berduaan dalam ruang tertutup, lalu melakukan praktek hubungan seks, tidak akan diapa-apakan, dan tidak akan diproses secara hukum, jika tidak ada yang mengadukan. Makanya kamar hotel dan penginapan dan tempat-tempat indehoi lainnya di tepi pantai, di daerah resort pariwisata, dan sebagainya adalah tempat yang aman untuk melakukan hubungan mesum antar gender itu.
Dalam Islam, seperti yang juga diberlakukan dalam ABS-SBK, jangankan sampai berhubungan seks, tinggal berduaan dalam ruangan saja, atau jalan berduaan untuk tujuan indehoi saja, sudah dilarang; apalagi kalau dengan tujuan mau gituan pula.
Dalam Islam yang menentukan itu adalah motif atau niat kita melakukan sesuatu itu. Niat yang baik dengan cara yang baik maka ganjarannya akan baik yang akan diterimakan tidak hanya di dunia ini saja, tetapi juga di akhirat nanti. Ganjaran baik sorga tantangannya; ganjaran jelek neraka tantangannya. Dalam revolusi mental tidak ada perhitungan buruk-baik dengan ganjaran surga-neraka itu. Perhitungan revolusi mental hanyalah semata perhitungan untung-rugi secara material saja.
Revolusi mental dengan tujuan untuk mendorong kerja keras, kerja berdisiplin, kerjasama berkelompok yang optimal, saling tolong-menolong, santun-menyantuni, dsb, tentu saja baik, dan sangat baik sekali. Tapi karena ada jarak dan bahkan jurang antara pengusaha yang memiliki badan usaha dan buruh dan pekerja yang menjual tenaga dan keahliannya, apalagi dalam sistem ekonomi yang bersifat kapitalistik, revolusi mental sukar menerapkannya; tidak lain karena motif yang berbeda itu.
Badan usaha yang sifatnya kapitalistik itu menginginkan adanya revolusi mental yang tinggi dengan produktivitas yang tinggi, dan keuntungan material yang tinggi. Sementara badan usaha yang sifatnya syar’i dan islami, kecuali itu, adalah keberkatan yang juga tinggi, yang dinikmati secara bersama, di dunia ini dan di akhirat nanti. ***