Presiden Jokowi Ingin Hidupkan Pasal Penghinaan, Kritik Pun Mengalir

Rabu, 05/08/2015 10:00 WIB
Ilustrasi

Ilustrasi

Jakarta, sumbarsatu.com—Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan.

Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, mengingatkan pemerintah dan DPR untuk menutup rapat-rapat rencana menghidupkan pasal penghinaan terhadap Presiden.

"Demi menjaga iklim kebebasan berpendapat di era demokrasi saat ini, maka menghidupkan pasal penghinaan dalam KUHP artinya sama saja dengan membunuh demokrasi yang tengah tumbuh," kata Masnur Marzuki seperti dikutip okezone, Rabu (5/8/2016).

Dia menambahkan, tidak pada tempatnya memperpanjang polemik rezim mana yang pertama kali memulai usulan menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP. Sebaiknya adalah mencegah pasal itu hidup kembali.

"Saya kira tidak relevan jika yang diributkan itu rezim mana yang pertama mengusulkan, apakah SBY atau rezim Jokowi. Yang paling utama saat ini adalah mencegah dihidupkannya kembali pasal karet yang dapat membungkam kelompok kritis itu. Aneh jika pemerintah sibuk berwacana siapa yang memulai usulan tersebut," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, dalam draf RUU KUHP kembali diusulkan munculnya sejumlah pasal pemidanaan terhadap tindakan penghinaan kepada presiden dan wakil presiden yang diserta denda tertentu.

"Selain karena amanat Reformasi, putusan MK sebelumnya sudah cukup jadi alasan menutup jalan hidupnya kembali pasal penghinaan itu dalam RUU KUHP. Semua pihak wajib hormati dan tunduk pada putusan MK tersebut," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Unsoed Prof Ade Maman menilai menghidupkan kembali pasal penghinaan tidak terlalu penting.

"Menurut saya hal ini akan menjadi kontroversial karena akan menimbulkan pro dan kontra. Karena semua penghinaan terhadap siapapun tidak diperbolehkan," kata Prof Ade.

"Namun, jika ditanya apakah pasal tersebut perlu diajukan, kalau saya nilainya ada tidaknya pasal ini tidak masalah. Karena secara pribadi Presiden bisa melaporkan terkait penghinaan," sambungnya menegaskan.

Ade mengutarakan, jika konteks menghidupkan pasal tersebut untuk melindungi Presiden sebaiknya harus kembali diperjelas. Jangan sampai nanti pasal tersebut dalam penerapannya menjadi membabi buta.

"Jangan sampai nantinya menjadi tidak sewajarnya dengan sedikit-sedikit main lapor. Untuk itu semua harus kembali diperjelas sistemnya. Bahkan jika MK mau adil semua kitab hukum yang merupakan warisan Belanda diuji kembali termasuk UU Perdata," terang pria yang sedang mengikuti seleksi Capim KPK itu.

Lalu bagaimana dalam membedakan kritik dan hinaan?

"Tinggal melihat kontennya itu masuknya apa dan semua tergantung dari terpenuhi delik itu seperti apa. Semua ada ukurannya," jawab Prof Ade.

Seperti diketahui, meski telah dihapus oleh MK, pemerintahan Jokowi-JK kembali mengusulkan pasal soal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP. Namun ternyata, pasal 263 KUHP tersebut disebut sudah diusulkan sejak pemerintahan Presiden SBY.

"RUU ini sudah diajukan oleh pemerintah yang lalu, secara ini tidak banyak perubahan. Putusan MK kan 2006. Kemudian pemerintah SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah," ujar Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki.

Teten menjelaskan pada pemerintahan saat ini melalui menkum HAM dan DPR diputuskan untuk masuk dalam prolgenas 2015. Menurut Teten secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu.

"Bedanya pasal-pasal yang diusulkan itu berbeda dengan yang diputus MK," kata Teten tanpa merinci pasal yang dimaksud. (SSC) 



BACA JUGA